Dentuman tuntutan 17+8 yang menggema di depan gedung DPR seolah menjadi lonceng keras yang membangunkan para boomers dan Gen X di pemerintahan. Mereka, yang mungkin sempat merasa nyaman di singgasana kekuasaan, kini dihadapkan pada kenyataan bahwa generasi di bawahnya, Generasi Z (Gen Z), tidak lagi berdiam diri.Â
Aktivisme mereka bukan lagi sekadar bising di linimasa media sosial, karena ini adalah gong awal untuk ikut serta dalam percaturan politik Indonesia.
Sebenarnya, pola ini bukanlah hal baru. Jauh sebelum kemerdekaan, para pemuda sudah membuktikan diri sebagai penggerak perubahan. Mulai dari pergerakan Budi Utomo sebelum kemerdekaan, hingga gerakan-gerakan pemuda di era reformasi, sejarah mencatat bahwa kaum muda adalah pionir yang tak kenal lelah.Â
Namun, ada satu tantangan baru yang kini dihadapi Gen Z, yakni bagaimana memastikan suara mereka tidak dicap sebagai rebelist atau bahkan dianggap nggedabrus (hanya banyak omong tanpa tindakan)? Jawabannya, menurut saya, terletak pada satu muara: partai politik.
Kekuatan Angka dan Tantangan Baru
Pemilu 2024 menjadi bukti nyata kekuatan Gen Z. Dengan 25,69% dari total suara pemilih, mereka menguasai seperempat lanskap politik Indonesia. Angka ini adalah potensi yang luar biasa, sebuah kekuatan massa yang bisa menggerakkan perubahan.Â
Terlebih lagi, Gen Z memiliki alat yang lebih canggih untuk menggerakkan massa melalui media sosial. Tidak perlu lagi metode konvensional seperti door-to-door atau iklan di media cetak. Cukup satu unggahan, satu video, atau satu tagar, dan isu bisa menyebar bagai nyala api.
Namun, potensi besar ini juga diiringi dengan rintangan yang tak kalah besar. Pertama, dan yang paling krusial, adalah mahalnya biaya politik. Riset dari The Conversation menunjukkan bahwa seorang calon legislatif (caleg) bisa menghabiskan antara Rp 200 juta hingga Rp 5 miliar untuk bertarung di Pemilu 2024 lalu.Â
Bayangkan jika angka itu dikalikan untuk sebuah partai baru, biayanya bisa mencapai triliunan rupiah! Ini adalah tembok raksasa yang bisa membuat para aktivis muda berpikir dua kali untuk mendirikan partai baru.
Kedua, ada tantangan yang lebih subtil, yaitu potensi disintegrasi suara. Kita bisa belajar dari pengalaman Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang sejak awal berdiri menjanjikan diri sebagai wadah bagi anak muda.Â
Namun, hingga kini, partai yang berdiri pada 16 November 2014 ini belum berhasil mengirimkan wakilnya ke parlemen. Ini menunjukkan bahwa meskipun secara finansial dan prosedural mampu, berada di papan catur politik membutuhkan lebih dari sekadar idealisme.Â