Kompasiana -Masih segar dalam ingatan kita bagaimana tim nasional Indonesia harus menelan pil pahit hukuman dari FIFA.Â
Teriakan rasis dan xenofobia dari segelintir suporter di laga melawan Bahrain berujung pada sanksi denda dan pengurangan slot suporter.Â
Dalam kasus semacam ini, prinsip totem pro parte --- bahwa keseluruhan menanggung sebagian --- masih menjadi acuan.Â
Seluruh entitas, dalam hal ini tim dan federasi, yang menanggung akibat dari ulah segelintir oknum.Â
Mirisnya, para pelaku rasisme dan xenofobia itu sendiri, hingga kini, masih belum tuntas diburu oleh PSSI. Secara gamblang, mereka bakalan bebas dari konsekuensi langsung atas tindakan tercela mereka.
Inilah realita pahit sepak bola modern saat ini, apalagi dengan media sosial yang kini menjelma menjadi arena berikutnya setelah lapangan hijau.Â
Fans, sebagai elemen tak terpisahkan dari ekosistem sepak bola, mau tak mau harus menjadi bagian dari tanggung jawab klub atau bahkan negara.Â
Jika mereka melakukan aksi terpuji, seperti fans Jepang yang selalu membersihkan sampah usai laga, nama baik negara akan terangkat.Â
Namun, jika berulah seperti contoh di atas, maka klub atau negara yang menanggung getahnya.
Namun, di wilayah Portsmouth, Inggris, ada satu kejadian yang bisa dijadikan bahan pembelajaran berharga. Pengadilan setempat baru saja memberikan contoh konkret, menunjukkan bahwa sebuah tindakan rasisme oleh fans bisa dihukum secara personal.Â