Kompasiana - Duel Inter Milan kontra Barcelona di leg kedua semifinal Liga Champions bukan sekadar pertandingan sepak bola biasa. Ini adalah pertarungan harga diri, ambisi Eropa, dan potensi deja vu yang bisa membuat bulu kuduk merinding.Â
Hasil imbang 3-3 di Camp Nou memang menghapus keuntungan gol tandang, tapi justru menambah bumbu drama di Giuseppe Meazza.Â
Inter, sang Ular yang terluka usai mimpi treble winner ambyar di kompetisi domestik, jelas akan menjadikan Liga Champions sebagai pelarian dan pembuktian. Catatan 15 laga kandang tak terkalahkan di Eropa jelas bukan isapan jempol belaka.
Sementara Barcelona, di bawah komando Hansi Flick yang berpotensi meraih quadruple musim ini, datang dengan kepercayaan diri tinggi. Namun, mereka harus ingat betul siapa lawannya. Inter di kandang sendiri adalah monster yang sulit dijinakkan.Â
Apalagi, kenangan semifinal Liga Champions 2010 masih segar dalam ingatan Interisti, di mana Barcelona-lah yang menjadi korban keganasan La Beneamata kala itu.Â
Lamine Yamal memang menjadi momok di leg pertama, namun Simone Inzaghi tentu sudah menyiapkan ramuan khusus untuk meredam si bocah ajaib. Pertandingan ini bukan hanya soal taktik di lapangan, tapi juga mentalitas dan sejarah yang saling berbenturan.
Barcelona butuh lebih dari sekadar "pawang ular" untuk menaklukkan Inter di sarangnya. Jika lengah, mimpi final Munich bisa berubah menjadi mimpi buruk di kota mode.
Luka Domestik Jadi Bahan Bakar Eropa?
Inter Milan datang ke laga ini dengan luka yang cukup menganga di kompetisi domestik.Â
Tersingkir dari semifinal Coppa Italia oleh rival sekota AC Milan dan terpeleset di liga hingga tertinggal dari Napoli jelas bukan modal yang ideal. Namun, dalam dunia sepak bola, luka terkadang bisa menjadi bahan bakar yang dahsyat.Â
Desakan dari para Interisti untuk mengalihkan fokus ke Liga Champions yang lebih prestisius bisa jadi suntikan semangat tambahan bagi Nerazzurri.