Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - FOOTBALL ENTHUSIAST

Learn Anything, Expect Nothing

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Bagaimana Thiago Motta Bisa Memimpin Disrupsi Strategi di Italia?

4 April 2024   23:13 Diperbarui: 5 April 2024   17:53 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thiago Motta berhasil membawa Bologna menang 4-2 atas Sassuolo, Sabtu (3/2/2024). (AFP/PIERO CRUCIATTI) via kompas.com

Serie A mungkin bisa dikatakan "usai" karena Inter Milan jauh mengungguli pesaingnya di puncak klasemen. Raihan luar biasa skuad Simone Inzaghi melanjutkan kegemilangan musim lalu, dimana bisa menembus Final UEFA Champions League (UCL). Tetapi anehnya, publik sepakbola Italia saat ini tidak terlalu tertarik membahas Nerazzuri dengan segala hegemoninya. 

Ada satu tim yang menjadi primadona baru, pemimpin era disrupsi strategi di Italia. Ditukangi oleh peraih dua gelar UCL Thiago Motta, klub ini sekarang bercokol di peringkat empat klasemen Serie A. Mamma mia, questa Bologna.

Bologna, yang bermarkas di Stadion Renato Dall'Ara tampil sangat mengejutkan musim 2023/2024. Ketika mereka sempat berada di tiga besar periode November-Desember lalu, banyak pihak memprediksikan mereka akan kembali ke habitatnya lagi di papan tengah.

Sesuai prediksi awal, memang Rossoblu sempat alami up and down di pergantian tahun. Tetapi mereka berhasil bounce back lagi lewat enam kemenangan beruntun, sebelum ditekuk Inter Milan 0-1 (10/3/24). Kini di posisi empat, mereka berpeluang besar tampil di UCL musim depan. 

Bagaimana bisa Thiago Motta yang hanya berpengalaman melatih PSG U-19, Genoa dan Spezia bisa menyulap skuad semenjana ini menjadi tim paling atraktif di Serie A? Lalu apa formasi yang ia terapkan sehingga bisa menjadi pemimpin disrupsi strategi di Italia ? Mari kita bahas.


Italia Gudangnya Pelatih "Keras Kepala", Tetapi Bukan Thiago Motta

Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang Italia adalah suku bangsa yang sangat bangga akan dirinya sendiri. Ini bukanlah suatu hal yang negatif, karena merupakan identitas yang sudah turun menurun. Mereka toh pernah menguasai dunia dengan pasukan Romawi-nya.

Kembali ke dunia sepakbola, hal ini juga berlaku untuk pelatih-pelatih sukses Italia dari masa ke masa. Pada era 1990-2000 kita mengenal Arrigo Sacchi, Giovanni Trapattoni, Marcelo Lippi dan Fabio Capello sebagai inventor catenaccio atau sepakbola "pertahanan gerendel".

Kemudian lahirlah pelatih-pelatih hebat lain di generasi berikutnya macam Carlo Ancelotti, Maurizio Sarri, Luciano Spalletti, Max Allegri, Antonio Conte, Roberto Mancini, hingga Simone Inzaghi yang mencoba meraih prestasi di tengah menurunnya kompetisi Italia. Akhirnya beberapa coba mencari kejayaan di luar negeri, seperti Ancelotti, Spalletti, Mancini dan Conte.

Mereka mayoritas tetap berhasil berprestasi di luar Italia, karena memang punya kualitas dengan segudang ilmu kepelatihan ala Italia. Menurut saya, Italia masih merupakan tempat terbaik untuk mempelajari strategi sepakbola. Pep Guardiola pernah mengatakan hal tersebut kala berguru ke Carlo Mazzone di Brescia.

Jerman dan Spanyol boleh berbangga dengan pelatih-pelatih yang sekarang sedang menguasai klub besar dunia seperti Jurgen Klopp, Hansi Flick, Pep Guardiola ataupun Mikel Arteta. Tetapi basis pengetahuanstrategi sepakbola dari negara mereka itu leterlek, berdasarkan blueprint sepakbola nasional. 

Spanyol misalnya dengan tiki-takanya. Pelatih-pelatih asal Spanyol kebanyakan menggunakan formasi sama 4-3-3 dengan pendekatan menguasai ball-possesion. Demikian pula di Jerman yang menggunakan 4-2-3-1 dengan pressing ketatnya. Ilmunya menurun dan sedikit dimodifikasi.

Di Italia, para pelatih lokal berlomba menciptakan formasi ataupun strategi yang menjadi trademark atau jati diri mereka, sehingga akan terkesan "keras kepala".

Sebagai contoh, Marcelo Lippi tidak akan meninggalkan 4-4-2 flat. Carlo Ancelotti dengan formasi pohon Natal  4-3-2-1, lalu Maurizio Sarri dengan 4-3-3 ala Sarriball-nya. Bahkan ada pelatih bernama Gian Piero Ventura yang sempat menangani Gli Azzurri, memperkenalkan formasi nyeleneh 4-2-4.

Generasi berikutnya, ada Antonio Conte dengan 3-4-3 dan kini Simone Inzaghi yang berjaya dengan 3-5-2 nya. Semua pelatih Italia ini dikenal "kepala batu" karena tidak akan mengganti strateginya. Pemainlah yang harus bisa fit-in masuk kedalam formasi racikannya. Ya bagaimana lagi, ini merupakan wujud Italian-proud.

Berbeda dengan mereka, Thiago Motta mempunyai asimilasi yang kuat dari empat negara sepakbola. Ia merupakan pria berdarah Brasil yang berkarier di Spanyol pada masa mudanya. Kemudian berlanjut ke Italia hingga memperoleh kewarganegaraan, dan akhirnya menutup karier di Prancis.

Jadi bisa dibayangkan bagaimana ia menyerap semua keilmuan sepakbola itu, dan mulai memimpin sepakbola Italia menjadi lebih adaptif terhadap perubahan.

Racikan Motta Mencampur Tiga Bumbu : Peran, Kreativitas dan Keberanian

Sudah banyak pundit lokal maupun internasional, menganggap Thiago Motta mencampur strategi Jose Mourinho, Pep Guardiola dan Gian Piero Gasperini. Sebenarnya tepat juga, karena Motta pernah dilatih pelatih-pelatih tersebut selama karier nya di lapangan hijau.

Tentu kita tidak akan lupa bagaimana Thiago Motta menjadi bagian integral strategi serangan balik Mourinho untuk meraih gelar treble 2009/2010 bersama Inter Milan. Meski melewatkan final UCL gegara "kelicikan" Sergio Busquets, ia merupakan penopang utama lini tengah Nerazzuri kala iitu.

Menarik memang melihat bagaimana pemain yang berposisi sebagai gelandang bertahan sepertinya, punya kemungkinan sukses yang tinggi di bidang kepelatihan. Sebut saja Pep Guardiola, Diego Simeone, Mikel Arteta dan Xabi Alonso ada di antaranya. Banyak berpendapat, karena mereka yang diposisi nomor 6 inilah yang melihat lapangan paling luas!

Saking luasnya yang mereka lihat, Thiago Motta pernah memberikan pandangan unik tentang rencana strategi sepakbolanya kala masih menukangi PSG U-19. Ia mengimajinasikan timnya akan menggunakan seorang penjaga gawang, yang juga akan berfungsi sebagai gelandang di formasi 2-7-2. 

Apa betul ia menggunakan formasi ini? Nyatanya sampai sekarang belum pernah! 

Formasi dasarnya adalah 4-2-3-1 dengan modifikasi spesial ala-Thiago Motta. Seorang penjaga gawang yang dibutuhkannya adalah yang bisa mengalirkan bola dengan baik, ball-playing Goalkeeper.

Kemudian empat bek belakang menjalankan peran yang sangat krusial. Bek kanan dan kiri harus bisa memainkan peran fullback sekaligus bek tengah. Lykogiannis dan Stefan Posch adalah andalannya. 

Hal ini dikarenakan, ketika Bologna melakukan build up serangan, salah satu center-back nya naik ke tengah seperti John Stones di Manchester City musim lalu. Peran ini biasanya diambil Sam Beukema atau Riccardo Calafiori.

Jika salah satu dari bek tengah ini naik, maka formasi seketika berubah menjadi 3-3-3-1. Kreativitas dituntut dari para pemainnya untuk membongkar pertahanan lawan. 

Dengan enam pemain di horizontal tengah lapangan, mereka punya banyak banyak opsi melakukan umpan pendek guna melepaskan diri. Apalagi striker utama Bologna, Joshua Zirkzee juga kerap mundur untuk meminta bola, plus ia mempunyai kemampuan ball-covering di atas rata-rata.

Lalu dua pemain sayap yang biasanya diisi Riccardo Orsolini dan Alexis Saelemaekers cenderung melakukan cut-in ke dalam kotak penalti. Alhasil banyak pula gol yang mereka lesakkan musim ini imbas kebebasan kreativitas dari Thiago Motta dalam menyerang.

Ini mengingatkan saya pada tim Atalanta-nya Gian Piero Gasperini musim 2020-2021 yang bisa cetak banyak gol di sebuah pertandingan. Thiago Motta melakukan copy-paste peran Josip Ilicic melalui Orsolini.

Lalu aspek keberanian ada pada di setiap transisi. Dirigennya adalah sang kapten Lewis Ferguson. Posisinya tepat di belakang Joshua Zirkzee sebagai gelandang menyerang, tetapi ia bisa turun ke bawah saat timnya bertahan, ataupun memulai counter-pressing saat kehilangan bola sewaktu menyerang.

Hampir pasti di setiap tendangan gawang, Bologna akan melakukan umpan pendek. Disini lawan pasti akan menekan mereka dengan high-press, sehingga Ferguson akan drop ke bawah. Kesalahan passing tentu masih sering Rossoblu lakukan, tetapi Thiago Motta jarang terlihat marah bila timnya kehilangan bola, karena ia memang menuntut keberanian dalam melakukan umpan.

Ketika bola sudah melewati lini tengah, para pemain bertahan akan membentuk trio dengan garis pertahanan tinggi. Tujuannya mengunci serangan balik lawan jika mereka kehilangan bola. Lewis Ferguson, Remo Freuler ataupun Giovani Fabbian yang posnya di lini tengah juga tidak segan-segan melakukan pelanggaran dalam counter-pressing, khas timnya Jose Mourinho. 

Dengan gambaran ini, bisa disimpulkan makna tersirat dari formasi 2-7-2 yang pernah dilontarkan Motta bukan dilihat secara vertikal dari lini belakang ke depan. Tetapi dari kiri ke kanan.

Dua pemain menyisir di sisi kiri, tujuh pemain (termasuk kiper) berada di rusuk lapangan, dan dua pemain ada di sisi kanan. Musim ini Bologna memang jarang melakukan serangan melalui pinggir lapangan. Kemampuan mereka mempertahankan bola patut diacungi jempol, karena bukukan statistik 58.3 persen. Salah satu yang tertinggi di Serie A.

Masa Depan Thiago Motta, Bologna dan Sepakbola Italia

Peran sebagai pemimpin disrupsi strategi di Italia tentu akan bisa dijalankan Motta jika ia tetap berkompetisi di Serie A. Sejauh ini hanya Manchester United, klub luar Italia yang sempat dihubungkan dengannya di awal musim depan.

Menjadi baik baginya jika bertahan semusim lagi di Bologna, untuk merasakan atmosfer Champions League musim depan. Tentu jika ini terjadi, namanya akan termashsyur di Bologna yang terakhir pernah merasakan aroma Piala Champions di medio tahun 1960-an.

Tetapi cukup baginya hingga akhir musim depan, lalu naik kelas dengan menangani klub top Italia. Pasalnya, Bologna hingga sekarang masih menjadi klub dengan finansial pas-pasan. Pemain intinya sendiri banyak yang merupakan pinjaman seperti Remo Freuler, Saelemaekers dan Victor Kristiansen.

Rekrutan emas seperti Calafiori, Fabbian dan Zirkzee merupakan upaya pribadi Motta mengembangkan pemain murah ini dengan strategi bermainnya. Jika mereka mengkilap, manajemen Bologna pasti akan luluh dengan tawaran harga mahal. Thiago Motta butuh kondisi yang stabil untuk tunjukkan kapasitasnya.

Agen Motta, Dario Canovi, sempat membuat pernyataan bombastis kala mengejek Aurelio Di Laurentiis (Presiden Napoli) dengan mengatakan kliennya tidak akan pindah ke Napoli karena presidennya terlalu ikut campur. Tetapi jika tawaran tersebut datang di kemudian hari, why not?

Napoli punya kestabilan finansial yang lebih baik dibandingkan Bologna, dan Thiago Motta membutuhkan itu untuk lonjakan kariernya. Jika tidak, mungkin ia bisa menunggu AC Milan atau Juventus memecat Pioli dan Allegri.

Jika ia bisa membuktikan strategi-asimilasinya dengan gelar domestik, pasti pelatih lokal lainnya akan mengikuti jejaknya. Sebab yang Motta lakukan benar-benar up-to date. Strategi sepakbola bukan hanya sebuah formasi, tetapi seni peran!

Barulah setelah menangani klub top Italia dan sukses, Thiago Motta bisa meninggalkan legasi atas perubahan besarnya di Italia dengan menerima tantangan klub besar Eropa lainnya.

Jalan memang masih panjang bagi Thiago Motta. Namun ada secercah cahaya yang bisa membuat prediksi di atas terwujud nyata pada masa depan, karena Motta adalah pembelajar yang baik. Ia tidak menolak adanya perubahan, cukup berbeda dengan pelatih Italia lainnya.

Buona fortuna (semoga sukses), Thiago Motta.

Salam olahraga 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun