Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - FOOTBALL ENTHUSIAST

Learn Anything, Expect Nothing

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mengapa Formasi Tiga Bek (Masih) Paling Cocok Buat Timnas Indonesia?

26 Maret 2024   13:06 Diperbarui: 26 Maret 2024   14:54 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Elkan Baggott dan Rizky Ridho merayakan seleberasi saat Timnas melawan Burundi (25/3/23), Sumber (KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Banyak pundit dan pakar sepakbola Nasional berpendapat, "Daripada bermain dengan tiga bek, Timnas akan lebih baik lagi jika main dengan empat bek?" Sebenarnya tidak ada yang salah dengan saran tersebut, tetapi jika mencoba memahami mengapa Coach Shin Tae-yong (STY) lebih memilih dengan skema 3-4-2-1 atau 3-4-3, tentu ada alasan dibaliknya.

Selama tahun 2023 lalu, tercatat pernah lima kali Timnas Indonesia menggunakan pakem empat bek. Pada AFF Cup 2022 melawan Filipina, Timnas memakai formasi 4-2-3-1 dan menang dengan skor 2-1 di Manila. Empat bek yang dipasang di depan Nadeo Argawinata adalah Asnawi Mangkualam, Fachruddin Arianto, Rizky Ridho dan Pratama Arhan.

Pada 28 Maret 2023, usai menang di leg pertama friendly match kontra Burundi 3-1 (25/3/2023) dengan skema tiga bek, Coach STY mencoba bermain dengan empat bek di leg kedua. Hasilnya Timnas memperoleh hasil imbang 2-2 dengan starter empak bek Yance Sayuri, Jordi Amat, Elkan Baggott dan Edo Febriansyah di depan kiper Syahrul Tisna. 

Berikutnya pada partai persahabatan melawan Palestina di Surabaya (14/6/2023), Syahrul Tisna dikawal Asnawi, Rizky Ridho, Elkan Baggott dan Arhan pada laga yang berakhir imbang tanpa gol.

Lalu ada dua partai home and away melawan Brunei pada babak pertama Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, dimana dimenangkan Timnas dengan skor identik 6-0. Di leg pertama Asnawi, Rizky Ridho, Elkan dan Arhan yang jadi starter di depan Nadeo. Sementara pada partai kedua di Brunei giliran Sandy Walsh, Fachruddin, Rizky Ridho dan Shayne Pattynama berada di depan gawang Ernando Ari.


Ya, akhirnya ada nama Ernando Ari di depan gawang pada partai yang kurang menentukan lagi bagi Timnas Indonesia. Padahal Ernando bisa dibilang menjadi kiper nomor satu timnas bersanding dengan Nadeo Argawinata. Ernando juga menjadi starter kala melawan Argentina di SUGBK pada 19 Juni 2023.

Berikut ulasan lebih lanjut, tiga alasan terkuat Coach STY menggunakan formasi tiga bek.

Kiper Timnas Kurang Mumpuni Dalam Memotong Bola Crossing

Ernando Ari, sama seperti Adi Satryo adalah kiper yang bertipe shoot-stopper dan kerap stay di bawah gawang. Mereka berdua sangat tangguh dalam duel one-on-one dan juga meredam tembakan jarak dekat ataupun jarak jauh. 

Sedangkan Nadeo dan Syahrul Tisna lebih terlihat lebih aktif, memanfaatkan betul areanya sejauh kotak penalti dan kerap menjadi ball-playing-goalkeeper. 

Dari keempat kiper langganan timnas tersebut memang berbeda tipe. Perlu diingat ya, beda tipe bukan berarti lebih baik atau buruk. Tergantung pada kebutuhan lini belakang tim, ataupun jika lawannya relatif di bawah (seperti kontra Brunei), bisa menjadi pemain yang membantu proses penyerangan.

Kita bandingkan tinggi badan mereka berempat. Ernando Ari 1.79 meter, Adi Satryo 1.79 meter, Nadeo Argawinata 1.87 meter, Syahrul Tisna 1.80 meter. Jadi secara rentangan tangan plus melompat, hanya Nadeo yang mempunyai statistik baik menghalau crossing. Sebagai catatan, kiper klub besar dunia biasanya memiliki tinggi badan minimal 185 meter plus lompatan tinggi.

Sebagai contoh ada Alisson (1.93 m), Thibaut Courtois (2 m) dan Donnarumma (1.96 m). Mereka bertiga bertipe kiper shoot-stopper klasik dengan keunggulan memotong bola lambung. Rentangan tangannya ketika melompat vertikal bisa mencapai 3 meter lebih.

Nah, jadi wajar saja bila tim yang akan melawan Timnas Indonesia cenderung mengandalkan bola lambung atau crossing sebagai strategi menyerangnya. Mereka melihat celah ini sebagai kelemahan di kubu Timnas.

Aktual yang masih sering terjadi di Timnas Indonesia ketika menghadapi crossing, pemain belakang dan kiper masih "saling menjagakan". Kiper berharap bek berhasil menyundul bola, sedangkan bek berharap kiper menyergap bola di udara. Ini terjadi pada beberapa momen laga Timnas, terutama saat menghadapi tim dengan penyerang tinggi seperti Irak yang punya Aymen Hussein (1.89 meter)

Sebenarnya ada strategi untuk mengandalkan kiper-kiper Timnas meredam bola atas ini, yakni harus fasih berkomunikasi dengan pemain belakang. Bila bola lambung yang datang relatif pendek, maka itu menjadi tanggung jawab bek di tiang dekat. Sedangkan bila bola lambung cukup tinggi, seharusnya kiper mengambil inisiatif terhadap bola karena rentangan tangannya pasti lebih tinggi dari penyerang lawan.

Tapi pada prakteknya tidak semudah itu. Di Timnas yang sering gonta-ganti personil, juga minimnya kesempatan bertemu dibandingkan di klub, tentu komunikasi menjadi lebih sulit. 

Maka keputusan diambil Coach STY pun akhirnya memilih kiper yang lebih baik secara shoot-stopper, dan menambah orang di lini belakang menjadi tiga bek.

Bek Sayap Timnas Bertipe Agresif, Malah Rentan Crossing

Ini adalah tombak bermata dua bagi Timnas Indonesia. Di satu sisi pemain seperti Asnawi, Yakob Sayuri dan Pratama Arhan mempunyai agresivitas, kecepatan dan transisi yang bagus. Sisi lainnya, mereka terlalu sering membiarkan umpan crossing terkirim ke depan gawang Timnas.

Baik karena mereka cukup mudah dilewati secara set-play (umpan satu-dua sentuhan), dan juga pelanggaran yang kerap mereka lakukan akan berbuah tendangan bebas di sisi sayap.

Tentu tidak adil jika hanya membahas kekurangan wingback atau fullback Timnas. Kelebihan mereka tentu jika menghadapi winger lawan bertipe cut-inside atau jago drible. Asnawi, Yakob Sayuri maupun Pratama Arhan dengan baik bisa menghentikan aksi individu mereka. Contoh saja Alejandro Garnacho yang di beberapa kesempatan kalah duel dengan Asnawi.  

Lalu ada pula pemain abroad yang datang melengkapi skuad. Mereka adalah Sandy Walsh, Shayne Pattynama dan Nathan Tjoe-A-On. Di klub masing-masing, mereka bertipe fullback murni dalam skema empat pemain belakang. Cirinya jelas, mereka tidak terlalu cepat, tetapi disiplin dalam menjaga ruang.

Nah, disini Coach STY tentu dihadapkan pada pilihan-pilihan taktikal. Di satu sisi bisa saja memainkan Asnawi dan Arhan sebagai dua dari empat bek sejajar, tetapi rentan kena crossing. Pilihan berikutnya ada Sandy dan Shayne yang bisa dipasang, tetapi akan kehilangan kecepatan dalam transisi. 

Maka untuk menengahi masalah di belakang, Coach STY merelakan kehilangan pemain tengah untuk menjadi penambal di posisi bek tengah. Asnawi, Yakob dan Sandy di wingback kanan, ataupun Arhan, Shayne dan Nathan di wingback kiri menjadi menjadi pilihannya. Tipikal agresif mereka tidak dihilangkan, dengan resiko mendapat crossing akan dimitigasi dengan kehadiran tiga bek.

Masih Mencari Palang Pintu Kembar Andalan

Kembali kita membahas pendapat para pundit yang menginginkan Timnas main dengan empat bek, atensi mereka adalah supaya Timnas tampil menyerang. Inilah yang ingin dimunculkan kembali di era Coach STY, dimana di era Indra Sjafri dan Luis Milla sebenarnya sudah terpatri pakem menyerang ini, bahkan sempat menjadi blueprint sepakbola nasional.

Coach Indra Sjafri mempraktekan gaya Spanyol-nya Luis Milla di kategori umur, dengan jargon "pe-pe-pa" atau pendek-pendek-panjang. Jadi proporsi umpan panjang benar-benar direduksi, dan Timnas kala itu tampil cukup agresif dalam menyerang.

Lalu datanglah Coach STY yang mengevaluasi tim dari sektor pertahanan. Ia menemukan fakta bahwa Timnas belum mumpuni untuk menopang serangan agresif tersebut di lini belakang. 

STY sendiri bukanlah penggemar fanatik tiga bek, karena saat membesut Korea Selatan di Piala Dunia 2018, ia menerapkan formasi 4-3-3 dan 4-4-2. Kala itu duet andalannya adalah Jang Hyun-soo dan Kim Young-gwon, dengan Yun Young-sun sebagai backup nya.

Jika hendak berpindah ke formasi empat bek, maka Timnas Indonesia harus segera menemukan duet palang pintu andalan. Syaratnya tentu harus kompak dan mampu bekerjasama dengan kiper.

Kini stok di posisi bek tengah sangatlah melimpah. Ada Jay Idzes, Rizky Ridho, Justin Hubner, Jordi Amat, Elkan Baggott dan Wahyu Prasetyo. Bisa saja dikemudian hari Coach STY menduetkan Idzes-Rizky ataupun Idzes-Hubner jika memang ingin menguji taktik empat bek. Apalagi jika kiper Marteen Paes sudah selesai di-naturalisasi!

Di klub masing-masing, para bek Timnas ini sebenarnya dimainkan dalam formasi empat bek. Jadi jika suatu saat akan dicoba di Timnas tentu bukan menjadi barang baru.

Untuk pertimbangan terakhir, adalah bek-bek Timnas Indonesia mayoritas bergaya Eropa. Jordi, Elkan, Hubner dan Idzes tentu sangat menguasai bola-bola daerah dan duel udara. Ini bisa ditunjukkan dalam Piala Asia 2023 kemarin, pertahanan Indonesia kala melawan Australia bisa tampil dominan di areal pertahanan.

Tetapi dengan gaya lawan kawasan Asia yang lebih cepat dan direct, Elkan dan Jordi Amat kerap terlihat kalah cepat pada proses transisi. Ya, inilah resiko jika mengkombinasikan pemain abroad dengan lokal. Di satu sisi ada kelebihan, di satu sisi ada kekurangan. 

Maka dari itu, sejauh ini formasi yang masih terbaik bagi Timnas Indonesia adalah dengan tiga bek. Di sisa laga Kualifikasi Piala Dunia 2026, maupun di Piala Asia U-23 Qatar nanti tampaknya Coach STY tidak akan mengubahnya.

Semoga sepakbola Indonesia terus maju secara persisten, dan meraih prestasi-prestasi ke depannya!

Salam olahraga 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun