Lebih jauh lagi, dalam era keterhubungan global, bisnis justru dituntut untuk memiliki standard of governance yang lebih kuat, bukan lebih longgar. OECD (2015) melalui Principles of Corporate Governance menekankan bahwa tata kelola yang baik (good governance) adalah prasyarat keberlanjutan dari ekonomi. Kejelasan peran, transparansi laporan, dan akuntabilitas bukanlah penghambat kreativitas, tetapi syarat agar kolaborasi lintas organisasi dapat berjalan sehat.
Secara psikologis dan manajerial, fleksibilitas tanpa struktur juga memicu stres dan ketidakpastian bagi pekerja maupun mitra bisnis. Tanpa SOP dan tujuan yang jelas, keputusan bisnis menjadi bergantung pada intuisi individu atau kekuasaan pemilik modal, yang belum tentu memiliki perspektif tajam di lapangan.Â
Katz dan Kahn (1978) menyebut kondisi ini sebagai organizational ambiguity yang mengganggu motivasi dan efektivitas tim. Dalam jangka panjang, sistem kerja semacam ini menurunkan produktivitas dan meningkatkan turnover tenaga kerja.
Dengan demikian, pernyataan "tidak ada aturan baku dalam bisnis" seharusnya dipahami secara proporsional. Pernyataan ini benar sejauh menyangkut kreativitas, inovasi, dan adaptasi terhadap konteks yang terjadi di lapangan. Namun, pernyataan ini akan menjadi salah jika digunakan untuk menolak fundamental struktur, perencanaan, dan etika profesional.Â
Seperti ditegaskan Schumpeter (1942), inovasi memang lahir dari disrupsi terhadap kebiasaan lama, tetapi disrupsi itu tetap berada dalam kerangka tanggung jawab sosial dan ekonomi. Tanpa prinsip, kebebasan hanya menjadi bentuk lain dari kekacauan.
Pada akhirnya, bisnis yang sehat bukanlah bisnis yang bebas tanpa aturan, melainkan bisnis yang mampu menyeimbangkan antara kebebasan berinovasi dan disiplin berorganisasi. Prinsip-prinsip universal yang telah terbaku dalam buku-buku teori manajemen bisnis seperti:Â
1. Perencanaan strategis (Drucker, 1954)
2. Kejelasan peran (Fayol, 1916)
3. Komunikasi efektif (Barnard, 1938)
4. Pengendalian (Anthony, 1965),Â