Mohon tunggu...
Gregorius Aditya
Gregorius Aditya Mohon Tunggu... Brand Agency Owner

Pengamat Industri Kreatif. Pebisnis di bidang konsultan bisnis dan pemilik studio Branding bernama Vajramaya Studio di Surabaya serta Lulusan S2 Technomarketing Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Saat ini aktif mengembangkan beberapa IP industri kreatif untuk bidang animasi dan fashion. Penghobi traveling dan fotografi Landscape

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Benarkah "Bisnis Tidak Punya Aturan Baku"? Boleh Semau Sendiri?

5 Oktober 2025   21:30 Diperbarui: 6 Oktober 2025   06:05 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerjasama bisnis. Sumber: pngtree.com

Seorang rekan saya yang adalah orang profesional lulusan luar negeri mengeluhkan pada saya dan sahabat saya mengenai bagaimana ia dikontrak oleh oknum dari satu kelembagaan level provinsi dengan tidak transparan. Ia diundang mengisi di lembaga tersebut untuk suatu acara selama beberapa hari bersama beberapa narasumber lainnya, namun ia tidak mendapat teknis detail apa yang bakal menjadi agendanya di luar hari H acara puncak sampai menjelang acara. 

Segala transportasi diatur oleh panitia dan panitia menjelaskan brief kegiatan baru ada ketika H-1 saat rekan saya datang ke kota di mana acara diadakan. Ternyata, oknum yang adalah pengurus utama acara tersebut memberi tahu bahwa ia telah membuat pengaturan sendiri supaya selama acara terdapat acara tambahan lain yang tidak pernah ada kesepakatan tentang rate harga dengan rekan saya. 

Rekan saya ini langsung ditodong di hari H, disuruh tinggal jalan dulu dan mengikuti saja, dan langsung diberikan kompensasi "tutup mulut" untuk mengisi acara tambahan tersebut. Karena ia sendiri menghargai profesinya dan ia mengetahui para peminat yang telah memiliki nama dan dihormatinya hadir di acara tambahan tersebut, ia terpaksa menerima acara tambahan tersebut. Namun ia berujar kepada saya bahwa ia sendiri kapok dengan kelembagaan di level provinsi tersebut karena tidak adanya transparansi.

Kondisi tersebut mungkin tidak satu dua kali terjadi di dunia profesional. Ada saja orang yang dapat berujar membela bahwa "bisnis itu tidak memiliki aturan baku, tinggal kita memilih mau atau tidak". Benarkah itu? Apakah itu berarti pada akhirnya kita bebas bersikap semau sendiri?

Pernyataan bahwa "tidak ada aturan baku dalam bisnis" sering muncul di kalangan wirausahawan, terutama di lingkungan usaha kecil dan menengah (UMKM) serta sektor kreatif di Indonesia. 

Ungkapan ini terdengar membebaskan, seolah bisnis adalah dunia yang amat cair, penuh kreativitas, dan tidak terikat oleh struktur formal. Namun, di sisi lain, pandangan tersebut juga dapat menimbulkan pemahaman keliru yang berujung pada praktek tidak profesional, ketidakefisienan, bahkan konflik antara pelaku bisnis. 

Secara konseptual, pernyataan "tidak ada aturan baku dalam bisnis" sendiri memang eksis di kalangan praktisi bisnis dan berakar pada pemahaman bahwa setiap model bisnis bersifat unik dan kontekstual. Drucker (1954) menyebut bisnis sebagai "purposeful organization", di mana tujuan, strategi, dan struktur ditentukan oleh konteks pasar dan karakteristik pelaku. 

Tidak ada satu resep universal untuk mencapai sukses. Dalam pengertian ini, ungkapan tersebut benar adanya: strategi bisnis memang memerlukan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Teece, Pisano, & Shuen, 1997).

Namun, ketika fleksibilitas tersebut dipahami secara ekstrem sebagai "boleh semau sendiri," maknanya bergeser dari adaptasi menjadi anarki. Bisnis, betapapun kreatif atau dinamisnya, tetap beroperasi dalam ekosistem yang diatur oleh prinsip dasar manajemen, administrasi, hukum, dan etika.

Fayol (1916) menegaskan bahwa fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian adalah pilar universal dalam setiap bentuk organisasi. Dengan kata lain, tidak ada aturan baku bukan berarti tidak ada prinsip dasar.

Dalam praktiknya, banyak pelaku usaha menggunakan dalih "tidak ada aturan baku" untuk menghindari proses administratif, perencanaan strategis, atau pembuatan kontrak kerja yang jelas. 

Sikap ini sering disertai mentalitas "yang penting jalan dulu." Kondisi ini akan menciptakan eksekusi yang beresiko besar karena ketiadaan pembelajaran mendalam atas kondisi. Padahal, menurut Mintzberg (1994), strategi yang baik bukan hanya hasil perencanaan formal, tetapi juga proses pembelajaran yang disiplin dan reflektif baik di eksternal maupun internal. Tanpa arah strategis, bisnis beresiko berjalan secara reaktif, tergantung pada peluang sesaat, tanpa konsistensi nilai atau tujuan.

Dalam konteks bisnis jasa dan B2B (business-to-business), konsekuensi dari pemahaman keliru ini sangat nyata. Ketika klien berkata "yang penting jalan dulu" tanpa memberi arahan, timeline, dan indikator keberhasilan yang jelas, maka hubungan kerja menjadi multitafsir. 

Vendor mungkin memahami pernyataan itu sebagai kebebasan berkreasi, sementara klien menganggapnya sebagai instruksi minimal untuk "meniru yang sudah ada." Tetapi kondisi ini sering menjadi misalignment of expectations (Robbins & Coulter, 2021), yang sering berakhir pada blame game: klien merasa vendor tidak memenuhi harapan, sedangkan vendor merasa diminta bekerja tanpa panduan.

Bagaimana kondisi di Indonesia sendiri? 

Dari perspektif budaya, Indonesia dikenal memiliki skor power distance yang tinggi dan budaya kolektivisme (Hofstede, 2001). Dalam praktik bisnis, hal ini sering tercermin dalam pola hubungan hierarkis yang kuat antara klien dan vendor, di mana pihak yang memegang uang atau otoritas merasa memiliki kendali penuh atas proses kerja. 

Dalam kondisi seperti ini, "tidak ada aturan baku" sering kali menjadi dalih untuk mempertahankan dominasi satu pihak atas pihak lain. Alih-alih mendorong kreativitas, kondisi semacam ini justru akan semakin melanggengkan ketimpangan relasi dan mengikis aspek profesionalitas bukan hanya di antara kedua oknum yang bekerjasama tetapi seluruh ekosistem bisnis.

Selain itu, dalih bahwa bisnis tidak memiliki aturan baku sering dihubungkan dengan warisan budaya dagang tradisional di Indonesia, di mana kepercayaan personal dan negosiasi informal lebih dihargai daripada kontrak tertulis (Tjiptono & Diana, 2019).

Budaya ini, meski fleksibel dan humanis, memiliki kelemahan serius di era digital dan globalisasi: tanpa dokumentasi dan sistem, akuntabilitas menjadi sulit ditegakkan. Barnard (1938) menekankan bahwa organisasi modern hanya dapat bertahan jika memiliki koordinasi sadar (consciously coordinated activities), artinya, kebebasan harus selalu diimbangi dengan struktur.

Dari perspektif etika bisnis, "tidak ada aturan baku" juga tidak dapat dijadikan pembenaran untuk mengabaikan prinsip moral. Carroll (1991) menegaskan bahwa tanggung jawab bisnis mencakup dimensi ekonomi, hukum, etika, dan filantropi. 

Pada dunia phygital saat ini, perusahaan yang mengabaikan struktur formal tetapi juga melanggar etika atau kontrak sosial tidak dapat disebut inovatif, melainkan oportunistik dan "red flag". Bisnis tanpa aturan bukanlah bisnis yang kreatif, tetapi bisnis yang beresiko kehilangan legitimasi sosialnya.

Ilustrasi Kerjasama Bisnis. Sumber: wallpapercave.com
Ilustrasi Kerjasama Bisnis. Sumber: wallpapercave.com

Lebih jauh lagi, dalam era keterhubungan global, bisnis justru dituntut untuk memiliki standard of governance yang lebih kuat, bukan lebih longgar. OECD (2015) melalui Principles of Corporate Governance menekankan bahwa tata kelola yang baik (good governance) adalah prasyarat keberlanjutan dari ekonomi. Kejelasan peran, transparansi laporan, dan akuntabilitas bukanlah penghambat kreativitas, tetapi syarat agar kolaborasi lintas organisasi dapat berjalan sehat.

Secara psikologis dan manajerial, fleksibilitas tanpa struktur juga memicu stres dan ketidakpastian bagi pekerja maupun mitra bisnis. Tanpa SOP dan tujuan yang jelas, keputusan bisnis menjadi bergantung pada intuisi individu atau kekuasaan pemilik modal, yang belum tentu memiliki perspektif tajam di lapangan. 

Katz dan Kahn (1978) menyebut kondisi ini sebagai organizational ambiguity yang mengganggu motivasi dan efektivitas tim. Dalam jangka panjang, sistem kerja semacam ini menurunkan produktivitas dan meningkatkan turnover tenaga kerja.

Dengan demikian, pernyataan "tidak ada aturan baku dalam bisnis" seharusnya dipahami secara proporsional. Pernyataan ini benar sejauh menyangkut kreativitas, inovasi, dan adaptasi terhadap konteks yang terjadi di lapangan. Namun, pernyataan ini akan menjadi salah jika digunakan untuk menolak fundamental struktur, perencanaan, dan etika profesional. 

Seperti ditegaskan Schumpeter (1942), inovasi memang lahir dari disrupsi terhadap kebiasaan lama, tetapi disrupsi itu tetap berada dalam kerangka tanggung jawab sosial dan ekonomi. Tanpa prinsip, kebebasan hanya menjadi bentuk lain dari kekacauan.

Pada akhirnya, bisnis yang sehat bukanlah bisnis yang bebas tanpa aturan, melainkan bisnis yang mampu menyeimbangkan antara kebebasan berinovasi dan disiplin berorganisasi. Prinsip-prinsip universal yang telah terbaku dalam buku-buku teori manajemen bisnis seperti: 

1. Perencanaan strategis (Drucker, 1954)

2. Kejelasan peran (Fayol, 1916)

3. Komunikasi efektif (Barnard, 1938)

4. Pengendalian (Anthony, 1965), 

5. dan etika (Carroll, 1991) 

tetap relevan di era apapun. Maka, "tidak ada aturan baku dalam bisnis" tidak seharusnya ditafsirkan sebagai "boleh semau sendiri," melainkan sebagai ajakan untuk terus menyesuaikan prinsip dasar manajemen dengan dinamika zaman tanpa kehilangan integritas, arah, dan tanggung jawab profesional secara fundamental.

Ilustrasi Perencanaan Bisnis. Sumber: lovepik.com
Ilustrasi Perencanaan Bisnis. Sumber: lovepik.com

Daftar Pustaka (APA 7th Edition)

Anthony, R. (1965) Planning and Control Systems: A Framework for Analysis. Division of Research, Graduate School of Business Administration, Harvard University, Boston.

Barnard, C. I. (1938). The functions of the executive. Harvard University Press.

Carroll, A. B. (1991). The pyramid of corporate social responsibility: Toward the moral management of organizational stakeholders. Business Horizons, 34(4), 39--48.

Drucker, P. F. (1954). The practice of management. Harper & Row.

Fayol, H. (1916) General and Industrial Management. Institute of Electrical and Electronics Engineering, Paris.

Hofstede, G. (2001). Culture's consequences: Comparing values, behaviors, institutions, and organizations across nations. Sage Publications.

Katz, D., & Kahn, R. L. (1978). The social psychology of organizations (2nd ed.). Wiley.

Mintzberg, H. (1994). The rise and fall of strategic planning. Free Press.

OECD. (2015). G20/OECD principles of corporate governance. OECD Publishing.

Robbins, S. P., & Coulter, M. (2021). Management (15th ed.). Pearson.

Schumpeter, J. A. (1942). Capitalism, socialism and democracy. Harper & Brothers.

Teece, D. J., Pisano, G., & Shuen, A. (1997). Dynamic capabilities and strategic management. Strategic Management Journal, 18(7), 509--533.

Tjiptono, F., & Diana, A. (2019). Pemasaran jasa: Prinsip, penerapan, dan penelitian. Andi Publisher.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun