Mohon tunggu...
Gregorius Aditya
Gregorius Aditya Mohon Tunggu... Brand Agency Owner

Pengamat Industri Kreatif. Pebisnis di bidang konsultan bisnis dan pemilik studio Branding bernama Vajramaya Studio di Surabaya serta Lulusan S2 Technomarketing Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Saat ini aktif mengembangkan beberapa IP industri kreatif untuk bidang animasi dan fashion. Penghobi traveling dan fotografi Landscape

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Benarkah "Bisnis Tidak Punya Aturan Baku"? Boleh Semau Sendiri?

5 Oktober 2025   21:30 Diperbarui: 6 Oktober 2025   06:05 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perencanaan Bisnis. Sumber: lovepik.com

Dalam praktiknya, banyak pelaku usaha menggunakan dalih "tidak ada aturan baku" untuk menghindari proses administratif, perencanaan strategis, atau pembuatan kontrak kerja yang jelas. 

Sikap ini sering disertai mentalitas "yang penting jalan dulu." Kondisi ini akan menciptakan eksekusi yang beresiko besar karena ketiadaan pembelajaran mendalam atas kondisi. Padahal, menurut Mintzberg (1994), strategi yang baik bukan hanya hasil perencanaan formal, tetapi juga proses pembelajaran yang disiplin dan reflektif baik di eksternal maupun internal. Tanpa arah strategis, bisnis beresiko berjalan secara reaktif, tergantung pada peluang sesaat, tanpa konsistensi nilai atau tujuan.

Dalam konteks bisnis jasa dan B2B (business-to-business), konsekuensi dari pemahaman keliru ini sangat nyata. Ketika klien berkata "yang penting jalan dulu" tanpa memberi arahan, timeline, dan indikator keberhasilan yang jelas, maka hubungan kerja menjadi multitafsir. 

Vendor mungkin memahami pernyataan itu sebagai kebebasan berkreasi, sementara klien menganggapnya sebagai instruksi minimal untuk "meniru yang sudah ada." Tetapi kondisi ini sering menjadi misalignment of expectations (Robbins & Coulter, 2021), yang sering berakhir pada blame game: klien merasa vendor tidak memenuhi harapan, sedangkan vendor merasa diminta bekerja tanpa panduan.

Bagaimana kondisi di Indonesia sendiri? 

Dari perspektif budaya, Indonesia dikenal memiliki skor power distance yang tinggi dan budaya kolektivisme (Hofstede, 2001). Dalam praktik bisnis, hal ini sering tercermin dalam pola hubungan hierarkis yang kuat antara klien dan vendor, di mana pihak yang memegang uang atau otoritas merasa memiliki kendali penuh atas proses kerja. 

Dalam kondisi seperti ini, "tidak ada aturan baku" sering kali menjadi dalih untuk mempertahankan dominasi satu pihak atas pihak lain. Alih-alih mendorong kreativitas, kondisi semacam ini justru akan semakin melanggengkan ketimpangan relasi dan mengikis aspek profesionalitas bukan hanya di antara kedua oknum yang bekerjasama tetapi seluruh ekosistem bisnis.

Selain itu, dalih bahwa bisnis tidak memiliki aturan baku sering dihubungkan dengan warisan budaya dagang tradisional di Indonesia, di mana kepercayaan personal dan negosiasi informal lebih dihargai daripada kontrak tertulis (Tjiptono & Diana, 2019).

Budaya ini, meski fleksibel dan humanis, memiliki kelemahan serius di era digital dan globalisasi: tanpa dokumentasi dan sistem, akuntabilitas menjadi sulit ditegakkan. Barnard (1938) menekankan bahwa organisasi modern hanya dapat bertahan jika memiliki koordinasi sadar (consciously coordinated activities), artinya, kebebasan harus selalu diimbangi dengan struktur.

Dari perspektif etika bisnis, "tidak ada aturan baku" juga tidak dapat dijadikan pembenaran untuk mengabaikan prinsip moral. Carroll (1991) menegaskan bahwa tanggung jawab bisnis mencakup dimensi ekonomi, hukum, etika, dan filantropi. 

Pada dunia phygital saat ini, perusahaan yang mengabaikan struktur formal tetapi juga melanggar etika atau kontrak sosial tidak dapat disebut inovatif, melainkan oportunistik dan "red flag". Bisnis tanpa aturan bukanlah bisnis yang kreatif, tetapi bisnis yang beresiko kehilangan legitimasi sosialnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun