Seorang rekan saya yang adalah orang profesional lulusan luar negeri mengeluhkan pada saya dan sahabat saya mengenai bagaimana ia dikontrak oleh oknum dari satu kelembagaan level provinsi dengan tidak transparan. Ia diundang mengisi di lembaga tersebut untuk suatu acara selama beberapa hari bersama beberapa narasumber lainnya, namun ia tidak mendapat teknis detail apa yang bakal menjadi agendanya di luar hari H acara puncak sampai menjelang acara.Â
Segala transportasi diatur oleh panitia dan panitia menjelaskan brief kegiatan baru ada ketika H-1 saat rekan saya datang ke kota di mana acara diadakan. Ternyata, oknum yang adalah pengurus utama acara tersebut memberi tahu bahwa ia telah membuat pengaturan sendiri supaya selama acara terdapat acara tambahan lain yang tidak pernah ada kesepakatan tentang rate harga dengan rekan saya.Â
Rekan saya ini langsung ditodong di hari H, disuruh tinggal jalan dulu dan mengikuti saja, dan langsung diberikan kompensasi "tutup mulut" untuk mengisi acara tambahan tersebut. Karena ia sendiri menghargai profesinya dan ia mengetahui para peminat yang telah memiliki nama dan dihormatinya hadir di acara tambahan tersebut, ia terpaksa menerima acara tambahan tersebut. Namun ia berujar kepada saya bahwa ia sendiri kapok dengan kelembagaan di level provinsi tersebut karena tidak adanya transparansi.
Kondisi tersebut mungkin tidak satu dua kali terjadi di dunia profesional. Ada saja orang yang dapat berujar membela bahwa "bisnis itu tidak memiliki aturan baku, tinggal kita memilih mau atau tidak". Benarkah itu? Apakah itu berarti pada akhirnya kita bebas bersikap semau sendiri?
Pernyataan bahwa "tidak ada aturan baku dalam bisnis" sering muncul di kalangan wirausahawan, terutama di lingkungan usaha kecil dan menengah (UMKM) serta sektor kreatif di Indonesia.Â
Ungkapan ini terdengar membebaskan, seolah bisnis adalah dunia yang amat cair, penuh kreativitas, dan tidak terikat oleh struktur formal. Namun, di sisi lain, pandangan tersebut juga dapat menimbulkan pemahaman keliru yang berujung pada praktek tidak profesional, ketidakefisienan, bahkan konflik antara pelaku bisnis.Â
Secara konseptual, pernyataan "tidak ada aturan baku dalam bisnis" sendiri memang eksis di kalangan praktisi bisnis dan berakar pada pemahaman bahwa setiap model bisnis bersifat unik dan kontekstual. Drucker (1954) menyebut bisnis sebagai "purposeful organization", di mana tujuan, strategi, dan struktur ditentukan oleh konteks pasar dan karakteristik pelaku.Â
Tidak ada satu resep universal untuk mencapai sukses. Dalam pengertian ini, ungkapan tersebut benar adanya: strategi bisnis memang memerlukan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Teece, Pisano, & Shuen, 1997).
Namun, ketika fleksibilitas tersebut dipahami secara ekstrem sebagai "boleh semau sendiri," maknanya bergeser dari adaptasi menjadi anarki. Bisnis, betapapun kreatif atau dinamisnya, tetap beroperasi dalam ekosistem yang diatur oleh prinsip dasar manajemen, administrasi, hukum, dan etika.
Fayol (1916) menegaskan bahwa fungsi manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian adalah pilar universal dalam setiap bentuk organisasi. Dengan kata lain, tidak ada aturan baku bukan berarti tidak ada prinsip dasar.