Salah satu hal yang cukup populer sering digaungkan di dunia internet saat ini adalah banyaknya ajakan untuk bersolo karier, entah membangun bisnis sendiri, ataupun menjadi freelancer yang lebih fleksibel, bisa meraup untung lebih banyak, dan tidak dibatasi sistem jam kerja 9 to 5.
Daya tarik untuk menjadi "bos bagi diri sendiri", mengatur jam kerja sendiri, dan mengejar minat kita telah memicu munculnya konsep solopreneurship dimana kita berkarir sepenuhnya melalui diri kita sendiri.Â
Konsep ini menurut Glints memiliki sedikit perbedaan dengan enterpreneurship, di mana meskipun keduanya dimulai dari diri sendiri, solopreneur tidak membangun "kerajaan bisnis" yang kompleks dan hanya memiliki satu fokus bisnis. Meskipun begitu, keduanya sama-sama menawarkan peluang yang menggiurkan berikut dengan resikonya pula.Â
Solopreneur sendiri umumnya lebih memilih menjadi entitas kecil tetapi tetap stabil dalam bisnisnya. Pengelolaan keuangannya tentunya lebih sederhana dan tidak seberat membentuk perusahaan dengan banyak personel.Â
Ada banyak sekali keuntungan yang dapat dirasakan oleh solopreneur. Meskipun begitu, sebelum kita memulai perjalanan yang konon katanya mengasyikkan dan hanya dilakukan sendirian ini, penting bagi kita untuk memahami risiko yang ada dan juga potensi keuntungannya.
Pertama-tama, mari terlebih dahulu kita mengakui risikonya. Adanya ketidakstabilan keuangan harus menjadi perhatian utama yang perlu dicanangkan. Berbeda dengan adanya pekerjaan tradisional dengan gaji tetap, tentunya kita akan menanggung beban setiap keputusan bisnis yang kita buat, termasuk menghasilkan pendapatan dan menutupi pengeluaran.Â
Hal ini dapat menyebabkan masa-masa "pesta" namun sekaligus juga adanya masa-masa "kelaparan", yang menuntut disiplin keuangan dan kecerdikan yang luar biasa.
Selain itu, dalam bisnis yang kita buat, adanya rangkap jabatan mulai dari pemasaran hingga akuntansi yang kita tangani sendiri, bisa menjadi hal yang sangat melelahkan.Â