Mohon tunggu...
Gregorius Berthon Mbete
Gregorius Berthon Mbete Mohon Tunggu... Penulis - Cla Pilibi

Misionaris Claretian

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relasi Religi dan Budaya 1

11 Desember 2020   17:37 Diperbarui: 11 Desember 2020   17:47 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum tiba pada hubungan antara religi dan budaya, kita perlu secara tajam memahami konsep budaya. Hemat saya, budaya lahir dari sebuah kekaguman. Ketika intensi manusia tentang kebaikan, keindahan, dan kebenaran ditemukan dalam hidup di saat itu pula lahir budaya. Pada awalnya tidak ada konsep kebaikan, keindahan, dan kebenaran. 

Manusia menjalankan segala sesuatu sesuai dengan apa yang keluar dari hatinya. Konstruksi pengetahuan yang semakin berkembang memungkinkan sekarang kita mengenal deskripsi tiap-tiap perilaku manusia.

Di samping itu, budaya adalah segala sesuatu yang timbul dari alam. Manusia yang memiliki daya apresiatif, mengagumi alam sebagai tempat lahirnya kebaikan, keindahan dan kebenaran. 

Jika yang pertama adalah penjabaran terhadap intensi manusiawi, yang kedua justru berawal secara apa adanya, sekalipun selalu terhubung dengan perkembangan pemikiran yang menamai realitas dimaksud. 

Jika yang pertama manusia berefleksi atas dirinya, yang kedua, alamlah yang membuka dirinya untuk direfleksikan. 'Kekaguman yang saleh' adalah kuncinya.

Tidak dapat dipungkiri untuk mengatakan bahwa adanya pola Barat yang mendominasi sekian banyak pemikiran tentang budaya. Mentalitas eurosentris ini menyebutkan budaya hanyalah fenomena tunggal dengan idealisme Barat, seperti: kaum Greko Roma, Kristiani, Iluminis, Idealis, Positivis, Marxis dan beragam rasionalisasi bahkan banyak kali tanpa 'tendensi iman' religius. Langkah jauh dalam tradisi kekristenan, melalui Paus Yohanes Paulus II menyerukan bagaimana sikap Gereja Katolik di hadapan budaya.

Gereja yang hadir di tempat-tempat terjauh dari mana dia lahir, seolah-olah menekan jangkar tradisi asali bagi para penduduk pribumi. Resistensi datang silih berganti sebagai akibat dari ketidakcukupan kemampuan untuk mempribumisasikan setiap doktrin yang khas 'Barat'. 

Iman akhirnya dapat bertumbuh namun masih dalam bingkai yang bukan milik sendiri, sekalipun term inkulturasi cukup diagung-agungkan bahkan sampai detik ini. Inkulturasi dari mana? 

Dari Sumber Ultim atau justru dari 'Barat'? Kisah Sunan Kalijaga mungkin sedikit banyak memberikan pola baru tentang penyebaran berita suci menurut budaya setempat, yang juga mendapatkan perlawanan dari yang katanya sumber Islam paling asli.

Agama Abrahamistik yang kita kenal (Yahudi, Kristen dan Islam) pun seringkali menciptakan gerakan bawah tanah untuk menumbangkan pengaruh yang tampak mendominasi. 

Kaca pembesar untuk melihat budaya tidak lagi dijadikan alat ukur untuk menilai apakah iman memang hanya merujuk kepada Sang Tunggal itu. Konflik demi konflik bermunculan, korbannya malah budaya setempat. Ketika dominasi memasuki ranah publik, mereka akan bertindak sebagai penindas dengan nama misi pemberadaban

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun