Permainan anak-anak selalu menjadi cermin dari perkembangan zaman. Ia bukan sekadar aktivitas untuk mengisi waktu luang, melainkan sarana pembentukan karakter, interaksi sosial, bahkan pembelajaran kehidupan. Jika kita menengok ke belakang, khususnya pada tahun 2015 ke bawah, permainan anak-anak masih sangat kental dengan nuansa kebersamaan dan kedekatan dengan lingkungan sekitar. Namun kini, di era teknologi yang kian canggih, wajah permainan anak telah berubah drastis. Dari permainan yang mengandalkan fisik dan interaksi langsung, kini bergeser ke dunia maya yang serba instan, visual, dan individual.
Dunia Bermain Tahun 2015 ke Bawah
Anak-anak yang tumbuh di era 2015 ke bawah mungkin masih mengenal permainan tradisional dan permainan sederhana yang dimainkan bersama teman-teman sebaya. Petak umpet, kelereng, congklak, lompat tali, benteng-bentengan, hingga layangan, semuanya menjadi bagian dari keseharian. Permainan itu bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana anak belajar bernegosiasi, bekerja sama, dan menerima konsekuensi.
Ruang bermain pun begitu luas. Jalanan kampung, halaman rumah, atau lapangan menjadi tempat anak-anak berlari, berteriak, dan bercanda. Di sana mereka belajar mengatur strategi, membentuk solidaritas, dan mengasah kreativitas untuk menciptakan aturan main yang adil. Bahkan konflik kecil yang muncul dalam permainan, seperti perselisihan siapa yang menang atau siapa yang curang, menjadi latihan penting dalam keterampilan sosial.
Dunia Bermain Anak Zaman Sekarang
Situasi ini berbeda jauh dengan anak-anak zaman sekarang. Perkembangan teknologi digital telah menggeser ruang bermain dari halaman kampung ke layar gawai. Permainan anak kini lebih banyak berupa game online, aplikasi interaktif, atau tontonan digital di media sosial. Ada sisi positif dari pergeseran ini. Permainan digital melatih kecepatan berpikir, koordinasi mata dan tangan, serta daya konsentrasi. Anak-anak juga bisa belajar berbahasa asing, mengenal dunia global, bahkan menjalin pertemanan dengan orang dari berbagai belahan dunia. Tidak sedikit pula anak yang menemukan bakatnya lewat dunia digital, misalnya dalam bidang animasi, desain grafis, hingga e-sport yang kini menjadi industri besar dengan potensi ekonomi yang menjanjikan.
Namun, perubahan ini juga membawa tantangan besar. Permainan digital cenderung membuat anak lebih individualistis. Jika dulu kebersamaan terjalin lewat interaksi fisik, kini pertemanan lebih banyak berlangsung di ruang virtual. Aktivitas fisik berkurang, yang berdampak pada kesehatan tubuh. Belum lagi risiko kecanduan gawai, menurunnya kemampuan komunikasi tatap muka, serta meningkatnya potensi isolasi sosial.
Dua Dunia yang Harus Dihubungkan
Di titik inilah, muncul pertanyaan penting: apakah permainan tradisional harus ditinggalkan sepenuhnya demi permainan digital, atau justru permainan digital harus dilawan demi menjaga tradisi? Jawabannya mungkin bukan salah satu, melainkan bagaimana kita bisa menyeimbangkan keduanya.
Permainan tradisional seharusnya tetap dilestarikan, bukan sekadar demi nostalgia, melainkan karena nilai-nilai sosial dan pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya. Sementara permainan digital tidak bisa dihindari, karena menjadi bagian dari realitas zaman. Anak-anak perlu menguasai teknologi sebagai bekal masa depan, tetapi juga tidak boleh kehilangan akar kebersamaan yang tumbuh lewat permainan tradisional.