Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Lestarisiana Artikel Utama

Petani Bukit Jambi Way Kanan Olah Kulit Kopi Jadi Kompos Ramah Lingkungan

25 Agustus 2025   06:09 Diperbarui: 25 Agustus 2025   10:32 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani bernama Alex dari Bukit Jambi menjelaskan proses membuat kompos dari kulit kopi kepada siswa PKL (dok foto: Gregorius Nafanu)

Petani Bukit Jambi di Kampung Gunung Katun, Kecamatan Baradatu, Kabupaten Way Kanan, Lampung, punya inovasi menjaga kesuburan tanah. 

 Mereka sudah terbiasa membuat pupuk kompos dari sumber daya lokal yang mudah ditemukan di sekitar kebun. Bahan utamanya berupa kulit kopi, cincangan gedebog pisang, dan kotoran hewan.

Daripada membuang limbah pertanian, petani memanfaatkannya kembali menjadi pupuk organik.

Cara ini tidak hanya menekan biaya produksi, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem lahan.

Kulit kopi yang biasanya menumpuk saat panen justru menjadi bahan dasar kompos bernutrisi tinggi. Sementara gedebog pisang yang dicacah halus berfungsi sebagai sumber serat organik. 

Kotoran hewan, baik dari sapi maupun kambing, menambah kandungan nitrogen yang sangat dibutuhkan tanaman.

Untuk mempercepat proses fermentasi, petani menggunakan aktivator  berupa EM4 (Effective Microorganisms) yang dicampur dengan molasi dari gula tebu. 

Molasi berfungsi sebagai makanan mikroba sehingga proses penguraian lebih cepat dan hasil kompos lebih matang.

Proses pembuatan pupuk kompos dimulai dengan mencampur kulit kopi, gedebog pisang cincang, dan kotoran hewan dalam perbandingan seimbang. 

Setiap tahun, petani Alex produksi pupuk kompos hingga 5 ton (dok foto: Gregorius Nafanu)
Setiap tahun, petani Alex produksi pupuk kompos hingga 5 ton (dok foto: Gregorius Nafanu)

Kemudian larutan EM4 dan molasi disiramkan secara merata. Campuran itu lalu ditutup terpal agar fermentasi berlangsung optimal.

Dalam kurun waktu 30 hingga 40 hari, bahan-bahan tersebut mulai berubah warna menjadi cokelat kehitaman dengan tekstur gembur. 

Aroma tidak lagi menyengat, melainkan harum tanah segar. Inilah tanda pupuk kompos siap dipakai.

Bagi petani Bukit Jambi, kompos ini menjadi andalan untuk menyuburkan berbagai tanaman. 

Pada sayuran seperti cabai, tomat, dan kangkung, pupuk kompos mampu menjaga kelembaban tanah sekaligus meningkatkan hasil panen.

Untuk tanaman jagung, kompos berbahan kulit kopi terbukti meningkatkan ukuran tongkol serta memperbaiki rasa biji. 

Tanaman jagung yang dipupuk secara organik lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit.

Petani bernama Alex dari Bukit Jambi menjelaskan proses membuat kompos dari kulit kopi kepada siswa PKL (dok foto: Gregorius Nafanu)
Petani bernama Alex dari Bukit Jambi menjelaskan proses membuat kompos dari kulit kopi kepada siswa PKL (dok foto: Gregorius Nafanu)

Tanaman singkong juga merasakan manfaatnya. Pupuk kompos membuat umbi singkong tumbuh lebih besar dan seragam. 

Selain itu, kualitas rasa singkong menjadi lebih manis, cocok untuk kebutuhan konsumsi maupun industri.

Khusus pada tanaman kopi, penggunaan kompos dari kulit kopi menutup siklus alami ekosistem kebun. 

Nutrisi yang diambil buah kopi dikembalikan lagi ke tanah, sehingga produktivitas pohon kopi tetap stabil meski tanpa pupuk kimia.

Penggunaan pupuk kompos juga mampu memperbaiki struktur tanah yang keras menjadi lebih gembur. 

Hal ini memudahkan akar tanaman menyerap nutrisi dan air, terutama pada musim kemarau.

Selain ramah lingkungan, pupuk kompos berbahan lokal ini juga menekan biaya produksi hingga 40 persen. 

Petani tidak perlu lagi membeli pupuk kimia yang harganya terus melonjak setiap tahun.

Manfaat lain yang dirasakan adalah meningkatnya kesuburan tanah secara jangka panjang. 

Mikroorganisme dalam kompos menjaga keseimbangan biologi tanah, membuat lahan lebih produktif meski digunakan bertahun-tahun.

Praktik ini juga membuka peluang tambahan. Sebagian petani Bukit Jambi mulai menjual kompos mereka ke petani lain di sekitar Baradatu. 

Dengan harga yang terjangkau, pupuk organik ini semakin diminati karena terbukti meningkatkan hasil panen.

Kebiasaan sederhana petani Bukit Jambi mengolah kulit kopi, gedebog pisang, dan kotoran hewan menjadi kompos menjadi contoh nyata pertanian berkelanjutan.

Nyoman, petani dari Bukit Jambi Way Kanan sedang membalik kompos agar cepat 'matang' (dok foto: Gregorius Nafanu)
Nyoman, petani dari Bukit Jambi Way Kanan sedang membalik kompos agar cepat 'matang' (dok foto: Gregorius Nafanu)

Mereka membuktikan bahwa dengan memanfaatkan sumber daya lokal, petani bisa mandiri, ramah lingkungan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Lestarisiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun