Pada tahun 2017, tim peneliti dari Stanford University mempublikasikan studi besar berjudul "Large-scale physical activity data reveal worldwide activity inequality" di jurnal ilmiah Nature oleh Althoff et al. Studi ini menganalisis data aktivitas fisik dari lebih dari 717.000 pengguna ponsel pintar di seluruh dunia, menggunakan aplikasi pelacak langkah (Argus by Azumio) yang mencakup 46 negara. Hasilnya cukup mengejutkan, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat aktivitas berjalan kaki paling rendah, dengan rata-rata hanya 3.513 langkah per hari. Angka ini jauh di bawah rata-rata global dalam studi tersebut, yaitu sekitar 4.961 langkah per hari. Angka ini sangat kontras dengan Hong Kong, yang menempati posisi tertinggi dengan rata-rata 6.880 langkah per hari.
Padahal kegiatan sederhana ini sebenarnya memiliki dampak yang sangat signifikan bagi kesehatan dan lingkungan. Studi yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet tahun 2016 yang berjudul "Does physical activity attenuate, or even eliminate, the detrimental association of sitting time with mortality?" menunjukkan bahwa berjalan kaki selama setidaknya 30 menit per hari dapat mengurangi risiko kematian dini sebesar 20--30%, terutama dari penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke. Penelitian ini menyoroti bagaimana aktivitas fisik bisa mengimbangi efek negatif dari duduk terlalu lama dalam keseharian kita. Temuan ini sejalan dengan panduan resmi dari WHO (2020), yang juga merekomendasikan aktivitas fisik sedang---termasuk berjalan kaki---selama 150--300 menit per minggu untuk menjaga kesehatan jantung, otak, dan metabolisme tubuh.
Dari sisi lingkungan, kebiasaan berjalan kaki turut membantu mengurangi emisi karbon, polusi udara, dan kemacetan lalu lintas. Kota-kota dengan budaya berjalan kaki yang kuat cenderung lebih tenang, bersih, dan nyaman untuk ditinggali.
Fenomena rendahnya tingkat aktivitas berjalan kaki di Indonesia ini menjadi cermin permasalahan yang lebih kompleks, mulai dari infrastruktur hingga pergeseran gaya hidup masyarakat modern. Menurut data Kementerian PUPR (2021), hanya 47% kota di Indonesia yang memiliki trotoar yang layak. Bahkan di kota-kota besar, kondisi trotoar sering kali tidak mendukung, dengan banyaknya kerusakan, sempitnya jalur pejalan kaki, dan penyalahgunaan trotoar untuk parkir liar. Tak heran jika, survei ITDP Indonesia (2020) mengungkapkan 60% pejalan kaki merasa tidak aman akibat trotoar yang dipenuhi pedagang kaki lima dan parkir liar. Alih-alih menjadi ruang yang aman dan nyaman, trotoar justru berubah fungsi menjadi lahan parkir dadakan atau tempat usaha informal yang tidak tertata. Situasi ini menciptakan kondisi yang rawan bagi pejalan kaki, baik dari segi keselamatan maupun kenyamanan.
Faktor lain yang tak kalah berpengaruh adalah pergeseran gaya hidup masyarakat urban serta ketergantungan yang tinggi terhadap kendaraan bermotor. Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS (2022), tercatat bahwa sebesar 71,5% rumah tangga di wilayah perkotaan menggunakan sepeda motor untuk perjalanan dengan jarak kurang dari 5 kilometer. Padahal jarak ini sebenarnya sangat memungkinkan untuk ditempuh dengan berjalan kaki atau bersepeda. Data ini memperkuat kenyataan bahwa aktivitas fisik sehari-hari mulai tergeser oleh kenyamanan instan. Perubahan pola hidup yang serba cepat turut berperan dalam menurunnya kesediaan masyarakat untuk melakukan aktivitas yang membutuhkan sedikit usaha fisik. Hal ini tentu menjadi ironi tersendiri, dimana di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya gaya hidup sehat, justru kebiasaan dasar seperti berjalan kaki malah semakin ditinggalkan.
Di sisi lain, perkembangan teknologi transportasi seperti layanan ojek online juga turut berkontribusi pada menurunnya budaya berjalan kaki. Survei JakPat (2020) menunjukkan bahwa sebanyak 54% pengguna ojek online (Gojek/Grab) menggunakan layanan ini untuk jarak di bawah 1 kilometer. Alasan utama yang disebutkan adalah karena merasa lebih cepat, lebih praktis, atau karena sudah terbiasa. Kemudahan dalam memesan kendaraan lewat satu ketukan layar membuat keputusan untuk berjalan kaki seolah tidak lagi relevan. Ini mencerminkan bagaimana inovasi teknologi yang seharusnya meningkatkan efisiensi, justru bisa memperkuat gaya hidup yang pasif jika tidak dibarengi kesadaran akan pentingnya aktivitas fisik.
Melihat kompleksitas permasalahan rendahnya aktivitas berjalan kaki di Indonesia memang tidak bisa disederhanakan sebagai masalah malas semata. Ini adalah hasil dari kombinasi antara buruknya infrastruktur, pola pikir masyarakat, pilihan gaya hidup yang dibentuk oleh keadaan, hingga budaya 'mager' yang dipermudah oleh teknologi.
Tentu, perbaikan dari sisi pemerintah dan pemangku kebijakan sangat dibutuhkan untuk memprioritaskan pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang berpihak pada pejalan kaki. Hal ini mencakup pembangunan trotoar yang lebar, aman, dan terhubung, serta penyediaan fasilitas penyeberangan yang memadai di setiap persimpangan strategis.
Namun di luar itu, perubahan juga bisa dimulai dari kita sendiri. Tak perlu muluk-muluk, cukup dengan memilih berjalan kaki untuk jarak pendek, atau mencoba naik angkutan umum sesekali. Bahkan dengan ikut Car Free Day atau sekadar menikmati ruang publik sambil berjalan, kita sudah berkontribusi pada perubahan budaya ini. Karena pada akhirnya, kota yang ramah pejalan kaki bukan hanya soal beton dan aspal, tapi soal bagaimana kita memilih untuk bergerak.
Perubahan bisa dimulai dari diri kamu, yaitu dengan mulai berjalan kaki untuk jarak dekat, seperti ke warung, halte, atau minimarket terdekat, daripada langsung membuka aplikasi ojek online. Langkah kecil seperti ini, jika dilakukan secara konsisten oleh banyak orang yang perlahan akan membentuk budaya baru yang lebih aktif dan lebih sehat bagi kita semua.
Bagaimana pengalaman berjalan kaki di kotamu? Ceritakan di kolom komentar!