Indonesia dikenal sebagai tanah dengan kekayaan keberagaman, mulai dari agama, budaya, hingga cara pandang terhadap kehidupan. Namun, keragaman itu hanya bisa menjelma menjadi kekuatan bila dirawat dengan toleransi, moderasi, dan tindakan nyata, terutama oleh generasi muda. Semangat itulah yang menghidupi Mini Bootcamp Freedom of Belief and Culture of Tolerance 2025, sebuah forum yang mempertemukan antara tokoh lintas iman, aktivis perdamaian, dan komunitas anak muda untuk bersama-sama menjaga kebhinnekaan.
Suasana acara terasa akrab sejak awal. Peserta disambut dengan registrasi, lalu membubuhkan tanda tangan di banner perdamaian sebelum masuk ke rangkaian utama. Setelah itu, kegiatan berlanjut dengan sesi pembukaan yang hangat, perkenalan antar peserta, serta penjelasan singkat mengenai tujuan bootcamp. Kehadiran berbagai elemen, mulai dari tokoh lintas iman, komunitas pemuda, hingga aktivis perdamaian, membuat atmosfer forum kegiatan semakin hidup.
Sesi inti dimulai dengan talkshow bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Surabaya, Duta Damai Jawa Timur, dan GPYI-Surabaya. FKUB menekankan pentingnya toleransi dan moderasi beragama sebagai fondasi harmoni di mana keduanya menjadi kunci untuk merawat keberagaman agar tidak berubah menjadi perpecahan.. Muhammad Yazid, selaku ketua FKUB Kota Surabaya mengingatkan bahwa ruang aman lintas iman tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan harus terus dijaga melalui dialog, sikap saling menghormati, dan kolaborasi antaragama. Duta Damai Jawa Timur kemudian membahas tantangan kontemporer yang muncul di era digital, yakni intoleransi, radikalisme, hingga terorisme yang mudah menyebar lewat media sosial. Narasi kebencian dan hoaks bisa berkembang pesat hanya dalam hitungan menit, apalagi di tengah kenyataan bahwa anak muda hampir 24 jam tidak bisa lepas dari gawai dan arus informasi yang terus mengalir. Karena itu, literasi digital dan kampanye damai dipandang sebagai senjata utama untuk membentengi generasi muda dari paparan ideologi kekerasan sekaligus mengubah ruang digital menjadi wadah penyebaran pesan perdamaian.
Sementara itu, GPYI-Surabaya menegaskan peran utama generasi muda dalam merawat perdamaian. Mereka bukan sekadar penonton, melainkan aktor utama yang mampu menggerakkan perubahan. Energi, kreativitas, dan keberanian anak muda menjadi modal penting untuk melahirkan terobosan, baik dalam bentuk kolaborasi lintas komunitas, kampanye kreatif, maupun gerakan sosial yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Dalam pandangan GPYI-Surabaya, bahasa dan budaya digital yang akrab dengan anak muda justru menjadi kekuatan tersendiri. Melalui medium itu, pesan perdamaian bisa dikemas lebih segar, lebih dekat, dan lebih mudah diterima oleh publik luas. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa keberlanjutan gerakan ini membutuhkan konsistensi: pemuda harus terus bergerak bersama, menjaga semangat merangkul semua golongan, serta berani menempatkan nilai keadilan dan kemanusiaan di tengah dinamika zaman.
Setelah sesi talkshow, peserta diajak memahami peran mereka sebagai warga dunia. Materi Good Global Citizen membuka kesadaran bahwa setiap orang bertanggung jawab menciptakan perdamaian. Konsep ini menekankan pentingnya berpikir kritis terhadap keterhubungan isu lokal dan global, berempati pada sesama, serta melakukan aksi nyata yang berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. Diskusi mendalam mengarahkan peserta untuk melihat perdamaian tidak sekadar sebagai ketiadaan konflik, melainkan sebagai kondisi yang menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan inklusivitas bagi semua.
Setelah sesi talkshow, peserta diajak menengok peran mereka sebagai warga dunia. Materi Good Global Citizen membuka kesadaran bahwa menjaga perdamaian bukan sekadar tugas segelintir orang, melainkan tanggung jawab bersama. Di sini, peserta diajak untuk lebih peka bagaimana cara kita  berpikir kritis terhadap keterhubungan isu lokal dan global, bagaimana kita menumbuhkan empati, sekaligus bagaimana kita bisa berani bertindak nyata demi keadilan dan kemanusiaan.
Diskusi berlangsung cair, meskipun peserta memiliki [andangan dan pengalaman yang berbeda-beda namun dengan pandangan dan pengalaman itu yang kemudian bisa saling melengkapi. Sedikit demi sedikit, peserta menyadari bahwa perdamaian bukan sekadar berarti tidak adanya pertikaian. Lebih dari itu, perdamaian tercipta saat keadilan berjalan, kesejahteraan dapat dinikmati bersama, dan setiap orang mendapat ruang untuk diterima tanpa pengecualian. Dari suasana itulah peserta belajar, bahwa menjadi warga dunia berarti mengambil bagian sekecil apa pun dalam membangun kehidupan yang lebih damai.
Nilai kepemimpinan kemudian dikupas melalui konsep HARMONI, akronim dari tujuh nilai: Hargai Keberagaman, Aksi Nyata, Regulasi Emosi, Membangun Compassion, Open-Minded, Ngenal Diri, dan Integritas. Peserta belajar bahwa kepemimpinan sejati berawal dari diri sendiri bagaimana cara meregulasi atau mengelola emosi, memahami potensi diri, serta terbuka terhadap perbedaan. Dengan landasan itu, barulah seseorang dapat memimpin orang lain dengan compassion dan penghargaan terhadap keberagaman. Lebih jauh, peserta diperkenalkan pada metode problem tree atau pohon masalah sebagai alat analisis untuk memahami isu secara mendalam. Melalui latihan ini, mereka belajar memetakan gejala, inti masalah, hingga akar penyebab, agar solusi yang dihasilkan lebih tepat dan berkelanjutan. Metode ini kemudian dipraktikkan dalam sesi peace circle, di mana peserta berbagi pengalaman, mendengar dengan setara, dan merancang solusi bersama.
Tidak berhenti di Talkshow dan pemaparan materi, bootcamp ini juga memberi ruang aktivitas kelompok yang menuntut partisipasi dan keaktifan penuh. Sesi Forum Group Discussion (FGD) selanjutnya dijadikan wadah untuk bertukar pikiran, menyelesaikan permasalahan yang ada di sekitar dan Bagaimana melatih problem Solving. peserta diminta merancang proposal rencana aksi yang konkret dan realistis yang bisa mereka terapkan. Alih-alih hanya menjadi pendengar pasif, para peserta diajak mengulik pengalaman pribadi, membaca isu dengan kacamata kritis, hingga merancang aksi nyata yang kelak bisa diimplementasikan di masyarakat.
Banyak peserta mengaku memperoleh perspektif baru dari kegiatan ini. Mereka sadar bahwa perdamaian bukanlah hal abstrak yang jauh dari kehidupan, melainkan dimulai dari tindakan sederhana sehari-hari mulai dari sekecil menghargai teman berbeda keyakinan, tidak menyebar hoaks, hingga berani menyuarakan toleransi. Seorang peserta menegaskan, "Saya belajar bahwa perdamaian bukan hanya tugas pemerintah atau tokoh agama, tetapi tanggung jawab kita semua, bahkan dari cara kita berbicara di media sosial."
Mini Bootcamp ini telah menghadirkan ruang belajar yang berhasil  menyatukan perspektif tokoh lintas iman, aktivis Duta Damai, dan komunitas pemuda, sehingga tercipta pemahaman utuh tentang pondasi keberagaman, tantangan radikalisme, dan aksi nyata anak muda. Keenam materi yang telah disampaikan oleh narasumber menjadi bekal penting untuk merawat kebhinnekaan Indonesia. Sebagaimana kutipan Anne Frank yang menjadi inspirasi kegiatan ini: "How wonderful it is that nobody need wait a single moment before starting to improve the world." Perubahan tidak perlu menunggu, dan generasi muda bisa memulainya sekarang, dari langkah kecil menuju Indonesia yang lebih damai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI