Mohon tunggu...
Goris Lewoleba
Goris Lewoleba Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepentingan Elit Politik dan Kualitas Demokrasi

25 Januari 2020   11:50 Diperbarui: 25 Januari 2020   12:04 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Goris Lewoleba

Belakangan ini mulai  muncul  Diksi Politik yang relatif menyita perhatian publik di Tanah Air yaitu, hal yang berhubungan dengan Dinamika Kepentingan Elit  Politik dan Kualitas Demokrasi.

Pasalnya, ruang publik di negeri ini sedang dijejali dengan dominasi kaum elit politik tentang wacana dan usulan untuk  mengubah sistem pemilu yang selama ini berlaku  sejak era pasca reformasi.

Perubahan dimaksud, bertolak dari Sistem Pemilu Proporsional  Terbuka  menuju ke arah Sistem Pemilu Proporsional Tertutup;  dan  kemudian  menyerahkan pemilihan Kepala Daerah kepada kewenangan politik DPRD.

Langkah ini tak pelak telah mengundang  reaksi dan penilaian banyak pihak sebagai dinamika kepentingan elit  politik untuk semakin mengukuhkan dominasi elit terhadap partai politik.

Hal ini ditanggapi  oleh Refly Harun (2019) bahwa, apapun sistem yang digunakan, tetapi hal  terpenting yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa, sistem pemilu yang dipilih harus bisa menjamin terciptanya pemilu yang jujur dan adil.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa, unsur pengawasan dalam pemilu merupakan hal yang amat penting untuk diperhatikan.

Berkenan dengan hal itu, maka usulan  terkait dengan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup dapat memberikan beberapa kemudahan dalam proses pelaksanaannya, meski mengorbankan beberapa hal prinsip berkaitan dengan relasi personal antara konstituen dengan calon anggota  legislatif yang akan dipilih.

Sedangkan salah satu makna positifnya  adalah  bahwa  unsur pengawasan yang  jauh lebih mudah jika  sistem dan prosedur  Pemilunya lebih dipermudah.

Sedangkan hal yang berlaku  sekarang ini, adalah  dengan Sistem Proporsional Terbuka, dimana satu surat suara itu bisa berisi 160  calon, dan dihitung semua, lalu  bagaimana bisa  mengontrolnya. Di sinilah banyak terjadi manuver dan pergeseran suara dan hal lain yang terkait dengan proses tersebut.

Hal  itulah yang menyebabkan sistem Pemilu Proporsional Terbuka menjadi sangat rumit dalam pelaksanaannya, dan konon dinilai  oleh banyak pihak sebagai Pemilu yang paling rumit di dunia.

Akan tetapi, jika sistem Pemilu dilaksankan secara  Proporsional Tertutup, maka  unit yang akan dihitung  cuma sebanyak  16 kalau partai politiknya 16, sehingga jauh lebih mudah dalam hal pengawasan, demikian basis argumentasinya.

Dominasi Elit Politik

Dinamika kepentingan elit  politik melalui usulan mengubah sistem pemilu dari Sistem Proporsional Terbuka  menjadi Sistem  Proporsional Tertutup dan menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada DPRD dapat dinilai sebagai upaya untuk  mengukuhkan kepentingan elit dan  dominasi partai politik.

Sebenarnya, praktek politik seperti itu sah-sah saja,  meskipun modus operandi politik yang demikian, akan semakin membuat pemilih  seolah sedang  "membeli kucing di dalam karung", lantaran  tidak mengenal secara dekat dan detail  dengan tokoh politik yang akan dipilih, karena cenderung akan sangat ditentukan oleh Ketua Partai Poltik yang bersangkutan.

Beda dengan Sistem Proporsional Terbuka yang berlaku sejak 2004, dimana Calon Anggota Legislatif dengan suara terbanyak  dalam Pemilu Legislatif,  akan mendapat Kursi di DPR. Hal ini disebabkan, rakyat memilih langsung Caleg yang diinginkan berdasarkan aspirasi dan hati nuraninya.

Sedangkan pada Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Caleg terpilih berdasarkan Nomor Urut yang ditentukan oleh Partai, dan pada saat Pemilihan, pemilih hanya  mencoblos Gambar Partai Politik.

Diandaikan bahwa,  jika benar sistem pemilu selama ini  akan berubah dari Sistem  Proporsional Terbuka ke Sistem Proporsional Tertutup, maka sudah dapat diduga  bahwa,  Kualitas Demokrasi di negeri ini  akan semakin merosot, bahkan mungkin akan menjadi  terancam.

Dan ironisnya, wacana perubahan sistem pemilu dari Sistem  Proporsional Terbuka ke Sistem Proporsional Tertutup ini,  justeru diprakarsai oleh dua Partai Politik Besar yang menjadi icon Partai Politik di Tanah Air yaitu,  PDIP dan Partai Golkar.

Hal ini ditunjukkan PDIP dengan merekomendasikannya lewat Forum Rapat Kerja Nasional pada 10-12 Januari 2020, dan Partai  Golkar lewat Musyawarah Nasional pada  4-6 Desember 2019.

Pada hal semua pihak dan publik pada umumnya, sangat berharap supaya Sistem Demokrasi di Tanah Air  yang sudah berjalan selama 21 tahun pascareformasi,  perlu dijaga agar jangan sampai menjadi mundur lewat momentum penataan sistem politik.

Lebih lanjut, disinyalir oleh banyak pihak bahwa, usulan PDIP dan Golkar ini akan semakin memperkuat dominasi oligarki elit politik dalam demokrasi. Sistem proporsional tertutup  akan semakin memperlebar kesenjangan antara anggota DPR dan konstituennya.

Situasi ini senada dengan hal serupa sebagaimana dilaporkan Kompas (16-1-2020), bahwa usulan kedua Partai Besar itu hanya akan memperkuat oligarki elit politik,  dimana Partai punya peran yang amat besar dalam menentukan semua hal di negara ini.

Sebagai konsekuensinya, akan ada gap yang luar biasa, sehingga Anggota DPR bukan hanya tidak dikenal, oleh masyarakat pemilih di akar rumput,  melainkan juga tak ada keterikatan dan tanggung jawab moral dengan pemilihnya.

Seirama dengan hal tersebut di atas, muncul juga wacana yang sama untuk mengembalikan sistem pemilu proporsional tertutup bersamaan dengan dorongan mengkaji pemilihan kepala daerah secara langsung, menjadi sistem pemilihan kepala  daerah secara tidak langsung melalui Parlemen, dalam hal ini  DPRD.

Citra Parlemen di Mata Publik

Merujuk pada sebuah buku klasik karya AF Pollard, The Evolution of Parliament (1920), dikatakan bahwa, keberadaan parlemen sejatinya merupakan salah satu piranti demokrasi. Fungsi dan tujuannya juga untuk menjadi jembatan bagi aspirasi dan kehendak masyarakat yang terbagi dari tiap daerah.

Memperhatikan gagasan dan pemikiran tersebut di atas, tampak  ideal dan memang semestinya demikian. Akan tetapi pada kenyataanya, fakta membuktikan  bahwa, hal seperti itu tidak pernah berjalan secara mulus, bahkan seolah seperti "jauh panggang dari api"

Hal ini disebabkan karena kepentingan politik para elit kerap kali membuat parlemen berjalan tidak atas dasar kepentingan dan aspirasi  masyarakat.

Oleh karena itu adalah merupakan sesuatu  yang wajar dan masuk akal, jika kemudian publik merasa bahwa,  mereka tidak pernah terwakili aspirasinya oleh  anggota  parlemen yang pernah dipilihnya melalui mekanisme Pemilu Legislatif.

Persepsi publik yang demikian, seirama dengan apa  yang dilaporkan Riana A Ibrahim (2019), dimana hal tersebut  dapat mengacu  kepada hasil jejak pendapat Litbang Kompas yang dipublikasikan pada tanggal 23 September 2019.

Laporan tersebut mengetengahkan bahwa,  sebanyak 66,2 persen responden merasa tidak terwakili aspirasinya.  Bahkan sebanyak 62,8 persen responden merasa DPR tidak aspiratif saat memutuskan merevisi UU KPK.

Kemudian, sebanyak 69,2 persen menyatakan bahwa upaya merevisi UU lainnya  yang dilakukan secara tergesa-gesa, juga   hanya ditujukan  untuk kepentingan elit partai politik. Dengan demikian, citra Parlemen pun dinilai buruk oleh responden sebanyak 62,4 persen.  

Padahal mestinya, parlemen sebagai wakil rakyat, bersuara lebih lantang untuk membela nasib dan kepentingan rakyat pada umumnya. Rakyat bukan hanya dilirik ketika pemilu mendekat, karena rakyat bukan hanya lumbung suara, tetapi rakyat adalah pemilik sah negeri ini yang suaranya patut didengar.

Menjaga Kualitas Demokrasi

Di berbagai belahan dunia,  tampaknya demokrasi liberal  sedang mengalami krisis yang semakin  mendalam, yaitu putusnya keterhubungan antara mereka yang memerintah dengan rakyat yang diperintah.

Terkait dengan hal itu, maka dengan meminjam Manuel Castells, dalam Karyanya, Rupture : The Crisis of Liberal Democracy, Polity (2019), mengatakan bahwa, fenomena itu ditandai dengan hilangnya atau menipisnya kepercayaan publik pada institusi-institusi politik.

Jika diproyeksikan ke dalam sistem politik di Indonesia, maka Bagus Laksana (2019), juga mensiyalir  bahwa, di negara  Indonesia, DPR merupakan lembaga yang paling tidak dipercaya rakyat; meski fenomena ini hampir terjadi di banyak negara.

Dengan demikian, maka ketidakpercayaan ini dapat men-delegitimasi representasi politik. Sebagai akibatnya, warga merasa tidak ada yang sungguh-sungguh melindungi mereka atas nama kepentingan umum.

Dalam sudut pandang yang lebih luas, Castells (ibid), menegaskan mengenai krisis demokrasi liberal sebagai akar persoalan.

Pada mulanya demokrasi liberal digagas sebagai benteng terkahir untuk mengatasi bencana perang dan kekerasan. Namun demikian, demokrasi juga dibangun di atas Struktur Kuasa Sosial (Social Power) dari para pihak  yang mendirikannya.

Kemudian, demokrasi liberal menyesuaikan diri dengan perubahan relasi kuasa ini, tetapi tetap mengutamakan kuasa yang sudah terkristalisasi dalam pelbagai institusi tersebut.

Dengan demikian, maka demokrasi selalu mengandung kelemahan mendasar berupa  timbulnya jarak antara yang dikehendaki mayoritas rakyat dan yang dikehendaki "wakil" rakyat yang menjadi pelaku sistem politik.  

Jarak inilah yang mengakibatkan terjadinya krisis legitimasi politik yang harus dikoreksi dengan berbagai  macam sistem pemilu yang jujur, adil dan aspiratif  agar  dapat menjaga kualitas demokrasi itu sendiri.

Menjaga kualitas demokrasi masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan para pemangku kepentingan. Hal ini disebabkan karena adanya kekuatiran akan menurunnya kualitas demokrasi yang  membayangi publik di Tanah Air.

Sebagaimana dilaporkan Arita Nugraheni (Litbang Kompas,  30-12-2019), atas hasil jejak pendapat Kompas, terekam sejumlah hal yang menjadi kekuatiran responden.

Salah satu isu di bidang politik yang dikuatirkan publik adalah menurunnya kualitas demokrasi.

Memperhatikan dinamika dan situasi politik yang berkembang belakangan ini, tampak jelas bahwa,  residu dinamika dan persaingan politik pasca pemilu 2019 lalu,  masih menjadi salah satu faktor determinan.

Sebut saja, soal  koalisi gemuk partai koalisi pendukung pemerintah yang menguasai mayoritas kursi di  parlemen. Hal ini dikuatirkan dapat meminimalkan kekuatan partai politik non-pendukung pemerintah yang menjadi kekuatan penyeimbang.

Pada hal, suatu   sistem demokrasi
yang sehat dan berkualitas, memerlukan berlakunya  mekanisme checks and balances di antara lembaga-lembaga negara.


Kecuali itu, Revisi Undang-Undang  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pada akhirnya tetap berlangsung di tengah penolakan publik, telah membuat publik menjadi gamang akan penegakkan hukum terkait dengan isu pemberantasan korupsi.

Meskipun demikian, dalam sudut pandang  Positive Thinking publik perlu memberikan dukungan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo, dan sebaliknya secara resiprokal  pemerintah (baik Eksekutif maupun Legislatif)  perlu memberikan kayakinan dan harapan  kepada publik melalui komitmen dan kerja yang prima.


Pemerintah perlu meyakinkan publik bahwa, konsolidasi demokrasi yang sudah lebih dari dua dekade ini akan tetap terjaga dengan kualitas yang semakin meningkat. Hal ini dapat diwujudkan lewat perlindungan hak sipil, dan kerja nyata,  baik dari Lembaga Eksekutif maupun Lembaga Legislatif, demi mewujudkan kebaikan bersama bagi semua orang.

Goris Lewoleba

Alumni KSA X LEMHANNAS  RI, Direktur KISPOL kPresidium Pengurus Pusat ISKA, Dewan Pakar VOX POINT INDONESIA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun