Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Menjadi Perokok yang Santun ala Orang Italia

23 Agustus 2016   17:21 Diperbarui: 24 Agustus 2016   11:50 2577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merokoklah pada tempat yang tepat, FOTO: bologna.repubblica.it

Merokok adalah sebuah kecanduan. Makin dilarang, makin rakus. Bahkan, merokok sekarang lebih dari candu. Merokok kini berubah menjadi kebudayaan. Budaya merokok. Dengan menjadi budaya, merokok kini lebih kuat pengaruhnya. Merokok menjadi lebih dari sekadar sebuah candu.

Di Indonesia hari-hari ini sedang hangat diskusi tentang rokok. Peraturan merokok sedang digodok. Tujuannya adalah mengurangi bahkan menghilangkan budaya merokok. Berbagai cara pun mulai didiskusikan. Menaikkan harga rokok, membatasi ruang perokok, dan sebagainya.

Ini masih menjadi isu-isu, belum menjadi bagian dari aturan. Isu-isu ini rupanya membuka mata masyarakat. Di Jakarta masih isu, di berbagai daerah sudah muncul berbagai tips untuk menghalau isu-isu ini. Kalau rokok menjadi mahal, kami siap mengambil jalan lain agar kami tetap bisa bisa merokok. Begini salah satu model dalilnya.

Persoalan merokok di negeri kita memang amat berliku-liku. Ini karena merokok sudah menjadi bagian dari kebiasaan warga Indonesia. Kebiasaan yang aneh kadang-kadang. Saya ditertawakan saat mempresentasikan kebiasaan merokok ini pada teman-teman dari berbagai negara. Ada yang menyindir, merokok kok menjadi budaya.

Boleh jadi kita mengingkarinya. Tetapi, di daerah-daerah di Indonesia,merokok adalah sebuah hiburan. Di kampung-kampung yang pernah saya singgahi di NTT, Sumatera Barat, Sulawesi selatan, Bali, dan Jawa Tengah dan DIY, merokok menjadi bagian dari keseharian warga.

Selain sebagai hiburan, merokok adalah teman perjalanan. Berburu babi hutan di ladang, menjaga padi dari sergapan gerombolan burung, menunggu sarapan pagi, sambil merokok. Maka, benar jika dikatakan, tiada hari tanpa merokok. Atau lebih tepat lagi, tiada waktu tanpa merokok. Bahkan, di tempat yang sakral pun, di gereja dan di masjid, warga tetap merokok.


Apa jadinya jika harga rokok naik atau bahkan merokok dilarang? Pertama-tama tentu ada kebingungan atau mungkin stres di masyarakat. Apalagi di beberapa daerah misalnya di Sumatera Barat, atau di NTT, rokok adalah bagian dari lobi-lobi budaya. Maksudnya, dalam pesta budaya, rokok menjadi satu di antara persembahan untuk tamu.

Saya jadi ingat cerita seorang bule Italia yang dipaksa mengisap rokok di salah satu daerah di Medan. Dia bukan perokok tetapi saat itu dia harus merokok. Dalam sebuah pesta adat, warga memberinya rokok. Budaya setempat mengharuskannya untuk menerima rokok itu dan mengisapnya. Jika tidak, dia dianggap tidak menghormati budaya setempat. Dia memang tidak bisa menolak selain menerimanya. Dia tidak diwajibkan untuk menjadi perokok. Cukup menerima rokok itu dan mengisapnya dalam pesta budaya itu saja.

Budaya seperti ini ada juga di NTT. Di beberapa daerah di NTT, ada budaya mempersembahkan rokok itu kepada tuan rumah atau kepada tamu yang datang. Rokoknya juga bukan murahan. Lebih bagus rokok yang kelas satu. Yang paling tenar dan menjadi sebuah kebiasaan adalah merek Gudang Garam.

Di satu sisi, merokok memang menjadi candu. Candu yang membuat perokok makin tergantung pada rokok. Menghentikannya sulit. Sama sulitnya dengan menghentikan produksi rokok. Di sisi lain, banyak pekerja yang akan kehilangan pekerjaan jika produksinya dihentikan. Dari pihak kesehatan juga ada usulan untuk menghentikan budaya merokok. Merugikan kesehatan. Ini benar dan harus dipatuhi.

Sampai di sini, budaya merokok ini menjadi sebuah persoalan yang menyentuh berbagai segi kehidupan. Dari ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, bahkan sampai etika. Pemecahannya pun mesti menyentuh berbagai aspek ini. Jika tidak, akan terbentur dan tidak sampai pada sasaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun