Mohon tunggu...
Khus Indra
Khus Indra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pecinta Sastra dan Seni |\r\nPengagum pemikiran Friedrich Nietzsche | Pengkritik ulung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Krisis Irak di Ambang Kehancuran Kedaulatan

26 Juni 2014   23:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:44 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlepas dari masalah pemilihan presiden 2014 di Indonesia, dunia luar sedang menghadapi ancaman yang berbahaya yaitu radikalisme. Timur tengah dan afrika sedang mengalami krisis akibat gerakan-gerakan radikal yang terjadi di daerah tersebut. Sebelumnya, masih segar dalam ingatan kita terhadap penculikan 200-an siswi nigeria oleh kelompok militan islam, yaitu Boko Haram yang dipimpin oleh Abubakar Shekau. Kelompok ini berujar bahwa pendidikan barat adalah dosa atau haram. Sebenarnya, boko haram bertujuan untuk menegakkan hukum syariah diseluruh negara yang ada di Afrika. Seperti yang dilansir BBC, menurut kelompok radikal ini  dalam hukum syariah versi mereka, perempuan harus di rumah mengurus anak dan merawat suami mereka, bukan di sekolah belajar membaca dan menulis.

Setelah kelompok radikal di Afrika, kini muncul kelompok radikal yang baru seumur jagung tetapi telah menyebabkan Irak berada pada kondisi kritis, yaitu kelompok Islamic State of Iraq & Levant (ISIL). Dalam bahasa indonesia, kelompok ini dinamakan NIIS (Negara Islam Irak dan Suriah). Kelompok militan ini membombardir dan memorak-porandakan kota-kota di Irak. Bahkan, kota terbesar nomor dua setelah Bagdad, yaitu Mosul berhasil dikuasi oleh kelompok ini. Pemerintah Irak yang dipimpin oleh Perdana Menteri Nuri Kamal Al-Maliki juga tidak menyangka dengan kekuatan dari kelompok militan yang baru berumur jagung ini. PM Maliki juga kewalahan dalam menahan langkah kelompok radikal ini.

[caption id="attachment_330896" align="aligncenter" width="499" caption="Para pendukung NIIS di Mosul (Sumber: AP)"][/caption]

Bagaimana tidak, setelah mengusai Kota Mosul dengan menjarah bank-bank dan menguasai bandara di tempat tersebut, Kelompok ini juga berhasil mengambil salah satu kota penghasil minyak terbesar di irak, yaitu Baiji. Menurut laporan Aljazeera.com, Baiji dapat memproduksi 300.000 barel per hari. Tidak hanya itu, serangan mereka juga mengarah ke ibukota Provinsi Salahuddin yang merupakan kota kelahiran mantan presiden Irak Saddam Hussein, yaitu Tikrit. Selain itu, 85% wilayah dari Provinsi Ninevah juga ikut jatuh ke tangan mereka. Bagdad pun turut bersiaga terhadap gempuran dari pasukan militan NIIS.

Tersulut akibat Sektarian

NIIS telah menjadi ancaman yang mengerikan bagi kedaulatan Irak saat ini. Awalnya, kelompok yang beraliran Sunni ini terus memberikan ancaman bagi Bagdad hingga pada Januari lalu, Falluja dan Ramadi jatuh ke tangan mereka. NIIS sendiri sebenarnya merupakan bagian dari aliansi Al-Qaidah, tetapi akibat dari kelompok ini terlalu brutal dan sering menyerang sesama kelompoknya, mereka berpisah. Akhirnya, pemimpin Al-Qaidah, Ayman Al-Zawahiri memutuskan kelompok ini untuk berfokus ke Irak. Alasannya, karena dianggap melewati batas kewajaran saat membantu kelompok militan di Suriah dalam merebut kembali daerah-daerah Bashar Al-Assad. Tetapi, NIIS yang dipimpin oleh Abu Bakr Al-Baghdadi mengabaikan perintah pemimpin nomor satu di Al-Qaidah tersebut. Tujuan dari Al-Baghdadi yakni dengan jihadnya, dia ingin mendirikan negara Islam yang menerapkan kekhalifan syariah Islam.

Selain itu, NIIS kesal terhadap pemerintahan Irak di bawah Perdana Menteri Nouri Al-Maliki yang beraliran Syiah mengucilkan kubu Sunni dan Kurdi dengan tidak melibatkan sejumlah tokoh dari kedua kubu tersebut untuk terlibat dalam pemerintahan Maliki. Ditambah lagi, sejumlah kebijakan yang dibuat oleh Maliki diduga menyudutkan kelompok Sunni dan Kurdi. Oleh sebab itu, NIIS berusaha untuk mengusai kembali pemerintahan. Sebagian pengamat juga menganggap bahwa, Maliki tidak berhasil melakukan rekonsiliasi antara Syiah, Sunni, dan Kurdi di Irak. Kita tahu bahwa sebagian besar penduduk Irak beraliran Syiah. Akan tetapi, pada saat Saddam Hussein (beraliran sunni) memimpin Irak sebelum AS melakukan invasi besar-besar pada tahun 2003, beliau dapat melakukan rekonsiliasi tersebut.

[caption id="attachment_330900" align="aligncenter" width="499" caption="Pasukan syiah yang siap berperang (Sumber: AFP)"]

1403773495628414574
1403773495628414574
[/caption]

Secara gambaran kasar, yang terjadi saat ini di Irak adalah perang sektarian antara Syiah dengan Sunni. Tetapi, dalam laporan The Guardian mengatakan bahwa Maliki-lah yang kemudian menjadi sebab musabab dari ancaman kedaulatan Irak ini sendiri dan sebagian menganggap Maliki terlalu pro kepada AS. Situasi juga diperparah oleh para tokoh ulama Syiah dan Sunni malah membuat karut marut situasi dengan menyerukan untuk mengangkat senjata mereka dan bersiap untuk berperang. Seperti yang dilakukan oleh Ulama Syiah terkemuka, Ayatullah Ali Al-Sistani, “Mereka yang mampu angkat senjata dan bertempur melawan teroris demi negerinya, harus ikut bergabung dengan pasukan keamanan.” Warga Irak menyambut seruan ini. Irak memang tengah diambang perang sektarian seperti yang terjadi delapan tahun lalu.

Hanya Irak yang Harus Menyelesaikannya

Dalam pertempuran yang bergejolak selama bulan juni ini, PBB mencatat jumlah korban yang tewas akibat pertempuran ini mencapai lebih dari 1.000 orang. PM Maliki yang merasa kewalahan dan tersudutkan akibat serangan demi serangan telah meminta bantuan AS untuk menyerang kelompok militan NIIS melalui serangan udara. AS tidak langsung menanggapi bantuan tersebut. Sejak menarik pasukannya dari Irak tahun 2011, AS lebih berhati-hati memberi bantuan militer ke Irak. Hal ini disebabkan oleh invasi yang dilakukannya telah membuat Negara Paman Sam itu sendiri merugi dan selalu dituduh sebagai biang keladi dari kehancuran Irak.

Oleh sebab itu, AS memilih untuk tidak mengirimkan pasukan militernya lagi. Oleh sebab itu, Irak  sendiri-lah yang harus menyelesaikan permasalahan Negaranya. Tidak semestinya juga AS, atau Negara kawasan regional lainnya membantu. Apabila ada pihak asing yang terlibat dalam pemberontakan ini, maka perperangan ini akan menjadi tambah runyam dan bertambah panjang serta dapat memperkeruh keadaan. Oleh sebab itu, Menlu AS yang berkunjung ke Irak langsung beberapa waktu lalu mengatakan bahwa PM Maliki harus dapat berbagi porsi pemerintahannya dengan kubu Sunni dan Kurdi. Di samping itu, menurut laporan CNN, AS hanya memberi bantuan dengan mengirim 300 penasihat militernya, di mana 120 penasihat tersebut telah berada di Irak saat ini.

Apa yang paling ditakutkan adalah ketika kelompok ekstrimis NIIS ini berhasil menduduki kota pusat pemerintahan Bagdad. Apabila ini terjadi, maka Irak akan berada dalam kendali teroris dengan radikalisme dari gerakan NIIS. Oleh sebab itu, pemerintahan Maliki harus segera mencari solusi terhadap masalah ini. Berbagai solusi telah diberikan seperti bantuan militer dari beberapa Negara tetangga Irak, upaya rekonsiliasi dengan kedua kubu yang ada di Irak. Tetapi, semua itu tetap berada pada keputusan PM Maliki. Jangan sampai NIIS dapat mengumpulkan dana sebanyak mungkin dan kemudian mempersenjatai seluruh relawannya untuk merebut kota-kota di Irak sepenuhnya.

Berdasarkan  dokumen yang didapat dari persembunyian Abdulrahman Al-Bilawi, bahwa nilai aset yang dimiliki oleh NIIS adalah sebesar 875 juta USD. Nilai nominal ini tentu bertambah besar setelah mereka menguasai Mosul dengan menjarah bank dan fasilitas militer serta menguasai kota dengan penghasil minyak terbesar di Irak, yaitu Baiji. Diperkirakan mereka memperoleh dana tambahan mencapai 1,5 miliar USD. Bukan tidak mungkin dengan kekayaan tersebut, mereka dapat merekrut para pejuang jihad yang lain dan membeli senjata-senjata untuk memperkuat armada tempur mereka. Ini mengerikan.

[caption id="attachment_330898" align="aligncenter" width="499" caption="Kota penghasil minyak terbesar, Baiji (Sumber: Reuters)"]

1403773396924443871
1403773396924443871
[/caption]

Meskipun Pemerintah mengatakan bahwa Bagdad telah siap, apabila NIIS secara militan menyerangkan ibukota Irak tersebut. Hal ini tidak menjamin keamanan akan dapat kembali dikendalikan oleh pemerintahan Maliki. Michael Stephens, seorang Deputi Direktur RUSI, dalam laporan di BBC.com mengatakan bahwa jika Baghdad tidak dapat memahami perlunya reformasi politik di Pemerintahan Maliki, maka masalah irak akan bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama. Ya, hanya kesadaran Pemerintahan Irak sendiri yang dapat menyelesaikan pertempuran ini, terutama dalam hal-hal yang mengancam kedaulatan negara tersebt.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun