Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Khadafi
Muhammad Irfan Khadafi Mohon Tunggu... -

nama : Muhammad irfan khadafi Sekolah : Sma Smart 01 bogor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu

12 Februari 2015   17:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:20 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

P { margin-bottom: 0.08in; }

“Rindu. Ini cerita tentangmu. Tentang kita berdua, kebersamaan. Terasa begitu menyakitkan. Terkadang membuat seluruh tubuhku bergeming diam sesaat mengingatnya. Rindu. Ia selalu datang setelah sebuah perpisahan yang sungguh perih yang menyesakkan hati”

Aku hampir saja ingin menangis hanya karena seorang pria tiba-tiba memasuki pikiranku. Entah mengapa. Pria itu selalu membuatku menjadi seorang yang melankolis, lembut bahkan seperti anak kecil haknya tidak terpenuhi. Hati terasa menangis kencang dan tak terkendali seketika pria itu datang. Dan aku tidak bisa melupakannya. Sama sekali. Mungkin saja umur dapat memakannya. Namun ingatan ini tidak akan pernah melupakannya. Mungkin juga kelak ia akan menjadi seorang kakek-kakek bungkuk, ompong dan mempunyai banyak kerutan. Namun tetap saja. Dipandanganku ia adalah lelaki tegap, tegas dan berharga.

Aku seperti menemukan alat tercanggih yang tak pernah di temukan oleh siapapun sebelumnya. Aku serasa kembali ke masa lalu. Masa-masa dimana aku dan pria itu bersenda gurau, tertawa dan menangis. Mungkin kebanyakan teman-temanku bertanya “apa keistimewaannya”. Namun, bagiku pertanyaan itu tidak perlu di lontarkan. Sebab jawabannya sudah terbukti secara sendirinya.

Aku ingat sekali, ketika ia duduk bersila di hadapan kami bersembilan,

“Ti, ti, tidak” suaranya putus-putus karena tangisannya yang sudah merebak hingga bagian dalam dadanya. Sesak dan tak bisa di lawan. Mungkin hanya ketenangan yang dapat menjadi obatnya. Namun, saat ini hampir semua yang terjadi sama sekali tidak ada ketenangan. Adanya malah kesedihan.

“Tidak terasa. Waktu begitu cepat berlalu. Padahal rasanya seperti baru kemaren saya menjadi pembina kalian. Dan sekarang kalian dan saya akan berpisah. Menempuh hidup masing-masing” ucapnya sambil membenarkan kacamatanya dan mengisap cairan hidung yang hapir saja keluar. Dadanya bergetar tak tentu. Setiap detiknya dua kali, tiga kali bahkan lebih.

Aku dan teman-teman lainnya hanya bisa terdiam. Terkadang kami menundukan pandangan karena tak kuasa melihat expresi yang tampak di wajahnya. Dan saat itu aku dan sebagian yang lainnya menangis kecil. Air mata sudah membasahi lensa mata. Namun tidak menetes. Dunia ini terasa seperti dunia kaca. Sinar dimana-mana. Baru kali ini aku dapat melihat jelas tanpa memakai alat bantu. Kacamata.

“Walaupun sebentar, saya merasa begitu nyaman dengan kalian semua. Jujur saja, saya sewaktu sma hanya nyaman bersama dua orang saja. Selebihnya...” kalimatnya yang indah itu tiba-tiba terputus karena tangisannya yang kembali datang. Sesak, sakit dan perih.

Kami terdiam membisu. Mungkin inilah terakhir kali kami berjumpa dengannya. Jika ada, mungkin itu skenario dari tuhan. Dan tidak mungkin dari manusia. Ia menunduk. Mengusap kedua matanya dengan lengan bajunya yang panjang. Lengan baju itu terlihat basah.

“Saya begitu nyaman dengan kalian. Dan pesan saya kepada kalian semua. La Lutta Continua. Teruskan hidupmu walau banyak rintangan menghadang. Jalani dengan kerja keras dan sepenuh hati. Dan terima kasih atas kenyamanan yang telah kalian berikan”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun