Pemikiran kreatif tersebut tampaknya sudah disadari oleh dua kelompok tani di desa Tiron - Kecamatan Banyakan yaitu Kelompok Wanita Tani ‘Budidaya’ di bawah pimpinan Bu Luluk dan Kelompok tani ‘Sumber Mulyo’ yang diketuai Pak Jemu. Dua orang inilah yang memiliki semangat membawa perubahan di dusunnya masing-masing. Memberi inspirasi bagi warga sekitarnya untuk tidak takluk dengan kerasnya alam di lereng gunung Wilis.
Pertama, Kelompok Wanita Tani ‘Budidaya’ yang berlokasi di dusun Sumberbendo ini, telah mendirikan industri rumah tangga olahan mangga podang bekerjasama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency : Lembaga pendanaan dari Pemerintah Jepang), Dinas Pertanian Kabupaten Kediri, dan Universitas Brawijaya. Kedua, Kelompok tani Sumber Mulyo yang berlokasi di dusun Kali Gayam, bekerja sama dengan LSM Internasioanal REI (Resource Exchange International) berhasil melahirkan produk manisan mangga podang yang telah menembus pasar luar negeri.
Bu Luluk: Srikandi dari Dusun Sumber Bendo
Mulai masuk dusun Cowekan yang berjarak sekitar 3 km dari dusun Sumber Bendo, jalan yang semula licin beraspal mulai agak kasar karena beberapa aspal yang mengelupas. Bekas kemarau masih tampak terlihat di persawahan kering di sepanjang jalan. Sedikit rumput yang mulai menghijau karena guyuran hujan gerimis, cukup memberi warna hijau yang menyejukkan mata, membelah coklatnya rerumputan yang kering. Tanaman jagung, rumput gajahan, dan pohon jati, menjadi perlambang nuansa pertanian di lereng gunung yang sangat mengandalkan tadah hujan, terlihat membentang seluas mata memandang.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Bu Luluk ini, beberapa kali saya berpapasan dengan pengendara motor yang membonceng sekeranjang penuh mangga podang. Nampaknya siang itu petani sedang mengangkut hasil panennya ke pasar induk Banyakan. Pasar yang mempertemukan mereka dengan pedagang-pedagang dari seluruh Jawa Timur yang siap memboyong hasil panenan mereka dan mendistribusikannya sampai ke luar Jawa.
Gambar 2 Gerbang Pasar Buah Kecamatan Banyakan: Terlihat kesibukan jual beli mangga podang, gambar diambil sekitar jam 14.00 WIB. Pasar ini hanya ramai ketika musim buah, keramaian puncaknya terjadi ketika musim mangga podang.
Jalan satu jalur yang naik turun dan berbatu seakan membelah kebun mangga podang yang tumbuh ala kadarnya. Lahan di bawahnya di tumpang sari dengan tanaman lain yang tahan panas. Inilah keunikan mangga podang. Mangga ini tidak memerlukan perawatan yang intens, masyarakat membiarkannya tumbuh, bahkan hampir di setiap pekarangan warga bisa dijumpai mangga ini. Buah ini menjadi andalan yang cocok sebagai tanaman konservasi pada lahan kering dan sebagai tanaman pekarangan yang menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di lereng gunung Wilis.
Saya sudah memasuki dusun Sumber Bendo. Jalan yang dilalui semakin menanjak. Di dusun ini, sebagian rumah warga masih berdinding bambu, berlantai tanah, dan beratap genting yang menghitam karena usia. Pertanian tradisional yang menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat, nampaknya masih belum bisa membuat mereka mampu membangun rumah ‘gedong’ dari batu bata.
Gambar 3 Tampak menyeluruh: rumah salah seorang warga di dusun Sumber Bendo,masih berdinding gedek (anyaman bambu) dan berlantai tanah.
Gambar 4 Penulis bersama dengan pemilik rumah
“Tidak nyasar mas? Jalan ke sini memang lumayan sulit, sering ada tamu yang balik kanan begitu sampai ‘bulak’ yang naiknya terjal itu, mereka tidak tahu kalau ada dusun Sumber Bendo setelahnya” ujar Bu Luluk menyambut kedatangan saya.