Â
     Dalam dunia bisnis modern yang semakin kompleks, integritas menjadi fondasi penting dalam menjaga  keberlangsungan perusahaan. Salah satu cara untuk menjaga integritas tersebut adalah dengan mendorong dudaya whistleblowing, yakni tindakan melaporkan  pelanggaran atau pratik tidak etis di lingkungan  organisasi, baik oleh karyawan internal maupun pihak eksternal.
Whistleblowing merupakan salah satu elemen penting dalam kerangka Good Corporate Governance (GCG), Yang bertujuan menciptakan tata kelola perusahaan yang transparan dan bertanggung jawab.
   Praktik whistleblowing sering kali dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perusahaan (stein, 2021). Namun dalam konteks yang lebih luas, justru tindakan ini mencerminkan kepedulian terhadap keberlangsungan organisasi. Whistleblower adalah individu yang brani bersuara ketika melihat praktik kecurangan, penyalahgunaan aset, suap, atau tindakan-tindakan yang dapat merugikan perusahaan dan masyarakat  luas (Syamsu et al .2204). Menurut Susanti dan Fauzihardani (2024). Whistleblower adalah bentuk komitmen terhadap etika dan integritas profesional.Â
  Namun, Keberanian whistleblower tidak selalu di barengi dengan perlindungan yang memadai. Banyak kasus menunjukan bahwa pelapor justru mendapat tekanan, intimidasi, bahakan kehilangan pekerjaan. Oleh karena itu, keberadaan sistem pelapor yang aman dan anonim sangat penting. Perusahaan harus membanggun mekanisme whistleblowing yang terpercaya, dimana pelapor merasa aman dan yakin bahwa laporannya akan  di tindaklanjuti secara profesional dan adil.
  Indonesia sendiri telah menerapkan Whistleblowing melalui kebijakan whistleblowing system (Wbs) di berbagai instansi pemerintah dan BUMN. Komisi pemberantasan korupsi (KPK) juga menyediakan platfrom bagi masyarakat untuk melaporkan dugaan tindak pidana korupsi. Sayangnya, Efektivitas sistem ini masih menghadapi berbagai tantangan, seperti rendahnya kesadaran pegawai, ketakutan akan balas dendam, serta kurangnya transparansi dalam penanganan laporan.Â
  Dalam konteks budaya sosial Indonesia yang menjunjung tinggi kolektivitas dan harmoni, menjadi whistleblower sering di anggap sebagai tindakan memalukan. Stigma sebagai " Pengadu atau " pemecah solidaritas " membuat banyak individu enggan melaporkan pelanggaran. Maka dari itu diperlukan pendekatan budaya dalam menyosialisasikan pentinggnya Whistleblowing misalnya melalui pelatihan etika kerja, pembentukan agen perusahan di dalam organisasi, kampanye tentang nilai keberanian moral.Â
    Selain Perlindungan hukum, apresiasi terhadap whistleblower juga bisa menjadi pendorong. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, pelapor bahakan bisa mendapatkan kompensasi finansial jika laporannya terbukti menyelamatkan kerugian besar bagi negara atau parusahaan. Hal  ini menunjukan bahwa peran whistleblower tidak hanya penting, tetapi strategis dan menjaga tata kelola yang sehat. perusahaan perlu mengembankan kebijakan whistleblowing yang efektif, termasuk saluran pelaporan rahasia, tidak lanjut investigasi yang transparan, dan pelatihan rutin kepada karyawan. Tidak cukup hanya menyediakan kotak saran atau nomor hotline-yang di butukan adalah komitmen manajemen untuk menjadikan Whistleblowing sebagai bagian dari budaya perusahaan.
   Pada akhirnya, whistleblowing bukan sekedar mekanisme pelaporan atau alat  administrativ belaka. Lebih dari itu, Whistleblowing merupakan cerminan dari kepedulian dan keberanian individu yang memilih untuk berdiri teguh menjaga nilai-nilai luhur organisasi, Seperti intergrasi, kejujuran dan tanggunjawab sosial. Tindakan ini menunjukan komitmen moral seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan dan resiko yang munking timbul akibat mengunkap kebenaran. Di tengah dunia kerja yang penuh tekanan, persaingan, dan godaan untuk mengambil jalan pintas demi keuntungan pribadi atau kelompok, suara kecil seseorang whistleblower sering kali menjadi lentera menerangi praktik-praktik  gelap dan menbantu mengarahkan oranganisasi kembali ke jalur yang benar. Dengan keberadaan whistleblower, perusahaan tidak hanya melindungi diri dari resiko hukum dan finansial,tetapi juga membangun budaya transparansi yang berkelanjutan.
   ReferensiÂ