Mohon tunggu...
Adhi Glory
Adhi Glory Mohon Tunggu... -

Saya seorang maniak "One Piece", penyuka "Purple Cow", saat ini berdomisili di Palembang. Silakan hubungi saya di glory2go@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Manusia Ulat Bulu (06)

4 Juli 2011   07:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:57 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pak RT lantas mengantar Ayah pulang ke rumah. Dari teras depan didapatinya jendela salah satu kamar—yakni kamar tempat Ayah berada, sedangkan Ibu sejak pertama kali menyadari keanehan pada diri Ayah memilih tidur di kamar adikku—terbuka lebar, sementara angin malam menyeru-nyeru dan melambaikan gordennya.

Sejak itu Ayah dikurung Ibu di kamar. Bagai tahanan kakinya dirantai. Setiap pagi dan sore hari Ibu mengambilkannya daun-daunan dan sayuran dari kebun untuk memberinya makan.

Berbanding terbalik dengan tubuh Ayah yang semakin subur, kondisi fisik Ibu sekarang jauh menurun drastis. Tubuhnya kurus dan matanya cekung memikirkan Ayah. Wajah tirusnya melukiskan segalanya; betapa ia merasa tertekan dan depresi menghadapi kondisi penyakit aneh Ayah.

Setiba aku pulang, aku hanya bisa berurai air mata menyaksikan kondisi Ayah. Tubuhnya membengkak dan bulat seperti kerbau bunting. Pipinya merah dan gembil seperti bakpao. Ia tersenyum menatapku, menampakkan gigi-giginya yang kehijauan karena kebanyakan mengunyah dedaunan—seperti orang habis nyirih, hanya saja ini berwarna kehijauan. Kedua matanya tampak segaris dihimpit daging pipinya yang lebar. Persis seperti orang bodoh, mulut mungilnya yang diapit dua pipi tembamnya tak berhenti mengunyah daun-daun kesukaannya.

Ruangan yang ditempati Ayah lebih mirip seperti kandang ketimbang sebuah kamar. Kamar itu begitu menjijikan dan beraroma dedaunan busuk. Sementara kalau tidak hati-hati melangkah, kotoran hijau tampak bertebaran di beberapa sudut. Tampaknya Ayah sudah tak mampu lagi banyak bergerak, selain karena rantai yang mengikat sebelah pergelangan kakinya, juga karena ukuran tubuhnya yang semakin berat untuk digerakkan sehingga ia terpaksa membuang kotorannya di sembarang tempat. Pun Ibu sudah tak sanggup lagi untuk membersihkannya, karena kini ia harus bekerja ekstra untuk mengurus rumah dan juga menoreh karet di pagi hari, belum lagi ia harus mengumpulkan daun-daunan atau sayuran untuk memberi makan Ayah. Kata Ibu, sudah belasan orang pintar didatangkannya dari berbagai pelosok kampung untuk menyembuhkan penyakit Ayah, tapi tak ada satu pun yang berhasil.

Ayah, siluman jenis apa yang mendiami tubuhmu kini… batinku miris.

***

Suatu pagi, beberapa hari kemudian, saat aku hendak memberi makan Ayah dan juga berinisiatif memandikannya aku menemukan Ayah telah terbungkus dalam serat yang menggumpal entah dari mana datangnya, seperti gulungan kapas putih yang sangat besar. Aku dan Ibu lantas hendak mengeluarkannya karena takut Ayah akan kehabisan nafas di dalamnya. Tapi dari dalamnya Ayah berteriak jangan. Katanya, ia akan berpuasa untuk menguruskan badannya dan minta untuk tidak diganggu selama beberapa hari. Maka, saling berpandangan, yang dalam tatapannya kuketahui bahwa Ibu tak terlalu kaget lagi dengan keanehan Ayah kali ini, kami pun terpaksa menuruti permintaan Ayah.

Selama beberapa hari berikutnya sama sekali tak tampak tanda-tanda bahwa Ayah akan keluar dari balik ‘selimutnya’. Sementara gulungan kapas raksasa yang membungkus seluruh tubuhnya semakin tebal. Aku dan Ibu cemas memikirkan keadaannya, tapi Ayah bilang ia tidak apa-apa. Ia akan segera keluar dalam satu atau dua hari lagi dan ia berjanji semuanya akan baik-baik saja setelah ini. Ia juga berpesan padaku agar aku menanam bunga yang banyak di pekarangan rumah. Lebih banyak dari yang telah ditanam Ibu sebelumnya. Aku dan Ibu tak mengerti tapi mengerjakan saja apa yang perintahkannya.

Lusa akhirnya Ayah keluar dari ‘kepompongnya’. Pertama kali melihatnya keluar dari kamar kami semua kaget karena Ayah telah kembali seperti semula. Berdiri di ambang pintu kamar, tubuhnya gagah dan kembali langsing seperti semula. Bukan itu saja, rambutnya juga tampak lebih hitam, dan bahkan kulitnya jauh lebih halus dan bersih, seolah ia baru saja terlahir kembali. Ia tersenyum menatap kami semua yang ternganga. Ia baik-baik saja, katanya. Tidak, malah jauh lebih baik, menurutku dan Ibu. Ibu memeluk Ayah senang. Saat itu aku berdoa dalam hati semoga semua masalah ini telah selesai.

Namun, keesokan harinya, Ayah mulai menunjukkan keanehan lain. Ia begitu menyukai bunga-bunga di pekarangan dan berlama-lama memandanginya. Berjam-jam, bahkan seharian. Setelah itu, ia selalu menyuruh kami untuk menanam lebih banyak bunga. Bahkan membentak bila kami tak segera menuruti perintahnya. Aku benar-benar tak mengerti apa yang ada di pikiran Ayah. Ia tak banyak bicara sekarang, sebenarnya dari dulu juga begitu aku mengenalnya, namun kali ini penyebab ia tak banyak bicara adalah karena perhatiannya habis tersita untuk mengamati bunga-bunga itu dari jarak yang begitu dekat dan sinar matanya tampak begitu terpukau saat mengamati keindahan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun