Mohon tunggu...
Adhi Glory
Adhi Glory Mohon Tunggu... -

Saya seorang maniak "One Piece", penyuka "Purple Cow", saat ini berdomisili di Palembang. Silakan hubungi saya di glory2go@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Manusia Ulat Bulu (03)

20 Juni 2011   03:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:21 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Selepas tengah hari, begitu pulang Ibu nyaris tak mengenali Ayah karena wajahnya yang bengkak dan kantung matanya berubah menjadi sipit. Belum lagi kedua tangannya, dari siku hingga ujung jari-jemarinya, yang membesar seperti orang yang mengidap penyakit kaki gajah. Tapi dengan senyum mengembang di bibirnya, ia menceritakan pada Ibu bahwa ia telah berhasil membasmi sebagian besar ulat bulu yang menyerang kebunnya. “Mulai besok kita dapat menyadap karet kita lagi, Bu!” katanya pada Ibu yang berdiri di ambang pintu, bangga. Ibu lekas  masuk ke kamar untuk mengambil balsam gosok.

Sepeninggal Ibu tiba-tiba tubuh Ayah terasa bagai tak bertulang dan seketika jatuh pingsan. Seluruh tubuhnya panas dan mengeluarkan keringat dingin. Adik perempuanku yang paling kecil, yang tengah bermain boneka di ruang tengah, yang mendengar suara tubuh Ayah terjatuh ke lantai menjerit.

***

Tengah malam Ayah menggigil hebat. Di sudut kamar, ia menolak berbaring di ranjang dan tengkurap dalam posisi nungging dengan kedua siku terjulur rapat satu sama lain di lantai semen. Seluruh tubuhnya dibungkusnya dengan selimut tebal, kain, handuk, pakaian-pakaian dari tumpukan yang baru selesai dilipat Ibu dan belum sempat dipindahkannya ke lemari karena hari ini terasa sangat melelahkan baginya, serta apa saja yang bisa diraihnya, seolah Ayah sedang membuat sarang untuk menghangatkan tubuhnya. Bersamaan dengan itu mulutnya mulai berkomat-kamit sesuatu yang tak dimengerti, berbaur dengan bunyi gemeletuk gigi-geriginya. Bulir-bulir keringat dingin sebesar butiran jagung membasahi wajahnya. Dan saat diraba dahinya oleh Ibu, suhunya cukup panas untuk menceplok telur mata sapi hingga matang. Ibu merasa sangat takut dan khawatir.

Malam itu juga, jam duabelas lewat, berbekal senter di tangan, di antara bunyi jangkrik dan sesekali ditingkahi suara kukuk burung hantu, Ibu berlari menuju rumah tabib desa yang terletak di ujung lain desa. Dibebatnya rasa cemas dan dipangkasnya rasa takut akan bertemu setan atau kuntilanak di tengah jalan. Ia berlari dan terus berlari, melewati jalan sempit, menerobos kebun cabai milik Pak RT sebagai jalan pintas terdekat di antara hening dan pekat malam. Semua itu ia lakukan demi menyelamatkan suami yang dikasihinya.

Sepuluh menit kemudian, yang terasa bagai sejam perjalanan di tengah gelap gulita, sampailah ia di rumah panggung sederhana milik tabib desa. Pintu digedor. Kasar bunyinya. Berkali-kali, berbalut kalut. Si empu rumah akhirnya menjawab di antara kantuk dan membuka pintu dengan mimik tak senang. Tapi Ibu tak peduli, disuguhkannya segera cerita singkat perihal sakit Ayah dengan wajah memelas dan tatapan penuh harap pada sang tabib tua yang telah beruban itu. Tak tega membiarkan wanita yang berlari setengah kampung di tengah malam demi mengharap pertolongannya, kemudian bersegeralah sang tabib berganti pakaian. Bergegas mereka kembali menuju rumah kami, menjumpai si sakit, Ayahku.

Saat dijumpai Ibu bersama tabib desa di sampingnya, Ayah masih berada dalam posisinya semula. Masih tetap nungging dan bergumul apa-apa-saja-yang-menyelimuti-tubuhnya. Mulutnya komat-kamit dan wajahnya tertunduk menekuri lantai. Sang tabib kaget melihat keadaan Ayah. Ia berjalan mendekat dan mulai mengurut lembut punggung Ayah dari balik selimut tebalnya.

“Kamu kenapa, Yon?” tanya sang tabib lembut. Ia kenal baik Ayahku. Di matanya, Ayah masih sama seperti bocah ingusan yang gemar mencuri rambutan dari pekarangan rumahnya puluhan tahun silam.

“Apa yang kamu keluhkan tentang sakitmu? Katakan.”

Tapi Ayah tak lekas menjawab. Ia hanya bergumam dan mendesiskan sesuatu yang tak dimengerti, seolah itu bukanlah dalam bahasa manusia.

Sang tabib dan Ibu saling menukar pandang. “Ini sungguh aneh! Penyakit yang mendera suamimu ini, sungguh saya tak tahu… Belum pernah ada orang yang disengat ulat bulu sampai seperti ini sebelumnya,” kata sang tabib. Ia menjelaskan, selama puluhan tahun berkiprah sebagai tabib desa, belum pernah ia menjumpai kasus penyakit pasien yang seperti ini. Hal ini semakin mengkalang-kabutkan badai cemas di hati Ibu sedemikian rupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun