Mohon tunggu...
Gloria Fransisca
Gloria Fransisca Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer

My name is Gloria Fransisca Katharina Lawi, I was born in Jakarta. Experienced in media service especially as writer, journalist, researcher, public relation, and social media content for almost 10 years in KONTAN and Bisnis Indonesia. Currently, I am doing my new role as Content Caretaker of political platfom, MOSI.ID.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Indonesia Diterpa Isu Kewarganegaraan Menjelang Hari Kemerdekaan

16 Agustus 2016   01:57 Diperbarui: 16 Agustus 2016   16:02 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang jelas, saya lebih sepakat untuk tidak memakai diksi 'Jokowi mencabut Archandra Tahar' karena Jokowi sendiri yang memilih dan mempertahankannya. Itu jelas menunjukkan Jokowi tidak paham undang-undang, dan parahnya lagi, akui saja, sebagian menteri baru kabinet Jokowi memang tidak memiliki track record yang bagus. Semua yang kita baca di media kadang manis-manis, padahal kenyataannya tak semanis itu. Reputasi Kabinet Jokowi bukan Kabinet Kerja saja, tetapi Kabinet Kerja Ngawur kalau kata Papa saya.

Sebaiknya masyarakat lebih banyak mengasah objektivitas dalam mengolah informasi secara adil dalam berpikir, ketimbang melakukan dukungan tanpa aksi misalnya dengan berasik ria di social media. 

Tidak hanya Archandra yang menjadi korban masalah kewarganegaraan hari ini, ada juga seorang gadis bernama Gloria yang batal menjadi Paskibra karena memiliki paspor Perancis. Maklum, bapaknya si Gloria yang namanya sama dengan nama saya ini, adalah pria Perancis. Kasihan anak itu. 

Di sinilah letak perbedaan definisi atas kewarganegaraan, baik sebagai keturunan tanah air dan sebagai legitimasi administratif. Dua-duanya tidak memberikan jaminan pada rasa cinta tanah air, ataupun kesetiaan membangun bangsa dan negara. Kasihan si Gloria, saya jadi berpikir, dia hanyalah kasus yang sengaja ada untuk memperkuat instrumen kewarganegaraan di Indonesia bahwa yang diakui sebagai WNI adalah mereka yang hanya memiliki KTP Indonesia dan paspor Indonesia. 

Sebentar lagi Kemerdekaan RI, masalah kewarganegaraan ini menjadi sebuah masalah yang sangat reflektif jelang perayaan kemerdekaan. Momentumnya juga sangat tepat, sepertinya Pak Jokowi harus banyak mengajak masyarakat berefleksi ketimbang mengumbar janji pembangunan ini itu. Misal, gencar janji Terminal 3 Ultimate, eh malah terminalnya banjir. Mungkin ya memang kita kurang refleksi dan kurang teliti.

Rasanya, saya ingin mengusulkan kepada Pak Jokowi, buatlah sebuah pidato saat hari kemerdekaan RI dengan falsafah utuh tentang 'Apa Itu Artinya Menjadi Indonesia.' Karena jangan sampai sindiran ayah saya benar, Pak Jokowi dan jajaran kabinetnya adalah struktur pemerintahan yang tak memiliki landasan ideologi tertentu, semua adu jotos, terburu-buru, terkesan ingin punya pencapaian kinerja. Semua memiliki key performance index (KPI). Menjadi Indonesia juga seolah mempunyai KPI. Menjadi Indonesia semakin hilang esensi, bahkan saya sendiri juga semakin tak tahu, apa itu Menjadi Indonesia.


Kalau saya jadi Pak Jokowi, saya pasti malu atas kejadian Pak Arcandra. Istilahnya, saya dikerjai oleh kabinet saya sendiri. Menyedihkan. Bukan hanya reputasi, sekali lagi, kualitas kepemimpinan Pak Jokowi sedang dipertaruhkan.

Saya ingin bertaruh, apakah di masa depan, anak cucu saya akan mengenal nama Arcandra Tahar sebagai menteri paling sebentar menjabat di Kabinet Jokowi. Masyarakat kita sering abai, sengaja lupa pada sejarah. Maklum, sejarah itu konstruksi dari yang berkuasa, kalau yang berkuasa merasa punya malu, mungkin nama Arcandra tak pernah dicatat dalam sejarah sebagai Menteri ESDM. Ya, mana mundur secara terhormat dengan kasus yang tidak terhormat.

Soalnya, angkatan saya saja sering lupa, ada Presiden 207 hari saat Soekarno masih berjaya, namanya Sjafruddin Prawiranegara, yang menjabat saat Indonesia mengalami darurat agresi militer Belanda ke II. Sjafruddin adalah Presiden atau pemimpin tertinggi PDRI atau Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada Desember 1948. 

Sjafruddin Prawiranegara adalah orang kepercayaan Soekarno-Hatta, karena itu pria berdarah campuran Minang dengan Banten ini pernah memegang beberapa jabatan penting, seperti Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Wakil Perdana Menteri dan diberi mandat untuk membentuk PDRI saat Soekarno dan Hatta tertangkap dan diasingkan. 

Nah, yang cuma 207 hari menjabat saja kita sering lupa dalam bingkai sejarah kita, apalagi yang cuma tiga minggu jadi menteri? Ya, kalaupun nanti Arcandra tak ditulis kronologisnya di buku sejarah, saya sendiri yang akan menceritakannya kepada anak-anak saya, karena bisa dikata saya juga adalah saksi sejarah. Saya bertemu dengan Arcandra langsung beberapa jam sebelum dia diturunkan jabatannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun