Anak seyogyanya milik siapa?
Anak seyogyanya untuk siapa?
Anak seyogyanya harus jadi apa?
Baiklah, penyair terkenal seperti Kahlil Gibran dalam salah satu syairnya pernah menyinggung seorang anak. Sebegitu istimewanya anak untuk seorang Kahlil Gibran? Iya, anak adalah anugerah tuhan yang luar biasa bagi sebagian orang dan juga kebalikannya bagi sekelompok orang. Bisa saja anak adalah sebuah beban karena tidak diharapkan. Bagaimana jika anak itu lahir tanpa seorang bapak.
Mungkinkah dia adalah anak yang diharapkan selama ini, meski dia anak pertama dari seorang ibu karena tidak diketahui bapaknya atau memang sengaja tidak mau tahu. Berbeda dengan pasangan suami isteri yang baru menikah dan sudah menantikan kelahiran anak pertamanya sehingga sangat berartinya bagi mereka.
Ada contoh masalah lain katakanlah teman sebayaku yang melanjutkan pendidikan dengan pilihan orang tua. Para orang tua memilihkan tentunya dengan alasan dari pengalaman mereka. Orang tua merasa lebih mengerti soal apa yang terbaik untuk anaknya. Tetapi, pemahaman yang seperti itu sering di salah artikan oleh anak-anak.
Mereka cenderung berpikir orang tuanya bersikap egois atau yang lebih parahnya diktator. Hal itu sering terjadi ketika saya sudah melewati masa abu-abu putih dimana saya harus berlanjut di perguruan tinggi. Banyak teman sebayaku yang mengeluh tidak bisa mengambil jurusan yang ia sukai. Â Dengan latar belakang dari profesi ayah atau ibunya sehingga mereka mengambil jurusan yang sudah dipilihkan. Terkadang orang lebih cenderung memilih zona nyaman. Kemungkinan orang tua berpikir ketika jurusan yang diambil sama dengannya maka anak-anak nya akan lebih mudah dalam menggapai masa depan nya.
Menyikapi tulisan Kahlil Gibran mengenai orang tua sebagai busur dan anakmu sebagai panah adalah pengiasan yang sangat bagus. Satu kesatuan yang tidak bisa dihilangkan. Dimana panah membutuhkan busur untuk menggunakannya dan begitu juga dengan panah akan membidik tepat sasaran dengan baik jika busurnya tepat.
Kahlil Gibran tidak hanya menyinggung mengenai itu saja tapi juga masala masa depan. Masa depan anak dan orang tua sangatlah berbeda. Jadi jangan samakan keberhasilan orang tua di masa yang lampau itu sama dengan masa anaknya. Karena kehidupan akan terus menuju ke depan tidak tenggelam ke belakang.
Biarlah seorang anak menjadi dirinya dengan caranya sendiri karena orang tua cukup memfasilitasi raga dan jiwanya. Karena akhirnya  mereka akan mencari siapa yang telah merawatnya dan kembali kepada sang pemiliknya.