Mohon tunggu...
Gita Pramudya Utami
Gita Pramudya Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis seputar ekonomi, finansial, lifestyle, dan fenomena sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Perempuan Tak Perlu Sekolah Tinggi?": Saatnya Bungkam Stigma Lama

19 Juli 2025   16:28 Diperbarui: 19 Juli 2025   16:28 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Sekolah (Sumber: Yogendra Singh/Unsplash)

"Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi? Kalau ujung-ujungnya di dapur"

Zaman telah berubah, tetapi nyatanya, pandangan seperti ini belum sepenuhnya hilang. Sebuah pandangan yang tak hanya merendahkan perempuan, tetapi juga membatasi masa depan mereka.

Saya pernah mendengar kalimat itu dari guru saya sendiri. Jujur, saya cukup terkejut saat mendengarnya, kok bisa seorang guru berkata seperti itu di depan murid-muridnya. Saya tidak tahu apakah beliau bercanda atau tidak saat mengatakannya. Saya rasa juga kurang etis jika seorang guru berkata demikian, apalagi saat sedang mengajar.

Pola pikir seperti inilah yang merugikan perempuan, dan juga menghambat kemajuan bangsa.

Kenapa Stigma itu Masih Ada Sampai Sekarang?

Meski kita hidup di zaman modern, masih banyak masyarakat Indonesia yang beranggapan bahwa pendidikan tinggi bukan kebutuhan utama bagi perempuan. Pandangan tersebut tumbuh dalam budaya patriarki yang sudah mengakar sejak lama. Mereka menganggap bahwa peran perempuan hanya di dapur dan mengurus anak---seolah-olah mimpi, ambisi, dan pendidikan hanya sebagai pelengkap.

Bahkan, dalam beberapa kasus, orang tua lebih rela menyekolahkan anak laki-lakinya sejauh mungkin, sementara anak perempuan diminta "mengalah" demi alasan keluarga dan tradisi. Celakanya, pandangan seperti ini tidak hanya ditemukan di daerah terpencil atau lingkungan konservatif---lingkungan yang menolak perubahan atau ide-ide baru. Di kota besar pun, masih ada yang percaya bahwa perempuan yang terlalu pintar atau terlalu tinggi pendidikannya akan "sulit mendapat jodoh". Seolah-olah, tujuan utama hidup perempuan hanya dinilai dari siapa yang mau menikahinya.

Data BPS tahun 2024, menunjukkan rata-rata lama sekolah perempuan Indonesia hanya 8,54 tahun, sedangkan laki-laki mencapai 9,17 tahun. Di perdesaan, kondisi terlihat lebih timpang, hanya sekitar 6,3% perempuan yang berhasil menempuh pendidikan tinggi, dibanding 14,08% di perkotaan. Ini bukan hanya soal akses, tetapi soal rintangan sosial dan budaya---bahwa perempuan tak sekolah tinggi---yang menghambat mereka untuk mengejar gelar.

Stigma ini tidak hanya membatasi ruang gerak perempuan secara ekonomi, tetapi juga memengaruhi pola pikir mereka sejak dini. Bahkan, banyak anak perempuan tumbuh dengan perasaan bahwa mereka tidak perlu bermimpi terlalu tinggi.

Di sisi lain, sebagian masyarakat masih percaya bahwa perempuan berpendidikan tinggi akan "sulit diatur" atau "tidak tunduk pada suami". Hal ini memperlihatkan bagaimana pendidikan perempuan sering dipengaruhi oleh norma-norma gender yang tidak adil. 

Ini bukan sekedar soal siapa yang sekolah lebih tinggi. Ini soal siapa yang diberi hak untuk bermimpi, berkembang, dan memilih jalan hidupnya sendiri.

Justru, perempuan dengan pendidikan tinggi akan memiliki bekal untuk menjadi ibu yang baik, istri yang mampu diajak berdiskusi, dan pribadi yang tidak mudah dikendalikan oleh ketidakadilan.

Dampak dari Rendahnya Pendidikan Perempuan

Membatasi pendidikan perempuan bukan hanya mempersempit masa depan mereka, tetapi juga menimbulkan efek domino jangka panjang---bagi keluarga, masyarakat, dan negara.

1. Pernikahan Dini dan Kehamilan Remaja

Banyak anak perempuan yang tidak melanjutkan sekolah justru dinikahkan di usia muda. Berdasarkan data BPS tahun 2024, proporsi perempuan usia 20-24 tahun di Indonesia yang berstatus nikah atau hidup bersama sebelum mencapai usia 18 tahun menyentuh persentase 5,9% (Sumber: Badan Pusat Statistik https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTM2MCMy/proporsi-perempuan-umur-20-24-tahun-yang-berstatus-kawin-atau-berstatus-hidup-bersama-sebelum-umur-18-tahun-menurut-provinsi.html). Pendidikan yang rendah membuat mereka tidak punya cukup pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, risiko hamil di usia dini, dan bagaimana kehidupan rumah tangga yang sehat.

2. Rentan terhadap Kekerasan dan Ketergantungan Ekonomi

Perempuan yang menikah dini biasanya belum matang secara emosional, sehingga rentan terhadap konflik dan kekerasan. Hal ini tentu akan berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental pasangan, serta anak-anak yang terlahir dari pernikahan tersebut. Perempuan sering kali menjadi pihak yang terdampak secara ekonomi karena kurangnya akses pendidikan dan lapangan kerja, serta beban tanggung jawab rumah tangga yang lebih besar.

3. Kurangnya Kesadaran Hukum dan Hak-Hak Dasar

Banyak perempuan tidak tahu bahwa mereka berhak atas perlindungan hukum, hak waris, atau berhak untuk menolak pernikahan yang tidak diinginkan. Ketidaktahuan ini sering membuat perempuan berada di posisi yang tidak menguntungkan saat menghadapi konflik rumah tangga, perceraian, atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Laporan Komnas Perempuan melaporkan bahwa banyak perempuan yang tidak melapor karena tidak tahu tindakan yang mereka alami termasuk tindak pidana.

4. Menurunnya Kualitas Generasi Selanjutnya

Perempuan adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya. Mereka yang memperkenalkan bahasa pertama, mengajarkan nilai-nilai dan norma, hingga membentuk karakter dan pola pikir yang kritis. Jika ibu tidak memiliki bekal pendidikan yang cukup, maka anak-anaknya akan tumbuh dalam keterbatasan yang sama. Akibatnya, lebih mudah terjebak dalam lingkar kemiskinan antar generasi.

5. Kesenjangan Gender yang Terus Berlanjut

Ketika perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan yang sama dengan laki-laki, kesenjangan gender akan berlanjut terus-menerus. Akibatnya, upah perempuan akan lebih rendah dari laki-laki, meskipun di bidang yang sama, serta partisipasi mereka dalam kepemimpinan rendah.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah mengubah cara pandang orang-orang tentang pendidikan bagi perempuan---meskipun bukan hal yang mudah---kita bisa mulai dari orang-orang di sekitar kita. Misalnya, dimulai dari rumah, orang tua harus menanamkan pola pikir kepada anak perempuannya bahwa setiap orang berhak untuk bermimpi, baik laki-laki maupun perempuan. Jangan bedakan harapan antara anak laki-laki dan perempuan.

Selain itu, kita bisa mendorong sekolah-sekolah atau komunitas untuk membuat program literasi gender, supaya bisa mendiskusikan tentang hak perempuan dan pendidikan hukum dasar. Tujuan dibuatnya program ini adalah untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara gender dengan melibatkan semua pihak, perempuan maupun laki-laki.

Pendidikan merupakan hak setiap manusia, tanpa memandang jenis kelamin. Perempuan bukan hanya sekedar soal nilai atau gelar akademik, tetapi tentang bagaimana membentuk karakter dan pola pikir, memperluas sudut pandang, serta menumbuhkan keberanian untuk menentukan arah hidupnya sendiri.

Perempuan yang berpendidikan akan membuka jalan bagi generasi selanjutnya. Ia akan menjadi teladan, pelindung, sekaligus pemimpin dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. Selain itu, menurut World Bank, partisipasi perempuan di dunia kerja akan meningkat pesat jika pendidikan mereka juga meningkat. Peningkatan pendidikan perempuan tidak hanya memperluas peluang karir, tetapi juga meningkatkan nilai mereka di dunia kerja. Hal ini tentu akan berdampak baik terhadap kesejahteraan keluarga dan perekonomian negara.

Perempuan hebat tidak muncul begitu saja. Mereka lahir dari lingkungan yang selalu mendukung mereka untuk tumbuh dan berkembang. Itulah mengapa pendidikan sangat penting. Tanpa akses belajar, mimpi mereka terhenti. Ayo, mulailah percaya pada potensi perempuan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun