Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Rasa Syukur dan Sikap Tabah Dijadikan Alat Kendali Rakyat

6 Oktober 2025   07:50 Diperbarui: 6 Oktober 2025   07:50 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lansia sedang Berdagang. (Sumber foto: pexels.com/Mijanur Rahman )

Di negeri tercinta kita ini, ada sebuah anomali yang unik sekaligus lucu. Harga-harga barang di sini bisa naik lebih cepat daripada harapan kita. Tapi lucunya, alih-alih ditawarkan kebijakan yang bisa menyesuaikan gap antara upah dan inflasi harga barang oleh pejabatnya, kita malah diminta untuk TETAP BERSYUKUR dan TABAH. Ya, Betul sekali. Kita diminta untuk tetap bersyukur oleh pejabat-pejabat yang harusnya mengusahakan kesejahteraan kita!

Setiap kali masyarakat mengeluhkan soal harga beras, listrik, atau biaya sekolah yang makin tahun semakin mahal, narasi yang muncul bukannya sebuah solusi, tapi malah dakwah moral: "jangan banyak protes, nanti rezekinya seret."

Kita hidup di zaman dimana ketidakwajaran menjadi hal yang wajar, dan kewajaran dianggap sebagai sebuah keluhan. Ketika besaran gaji hanya naik 2-3 persen dan itupun hanya setahun sekali, tapi tagihan dan harga-harga bahan pokok terus naik setiap bulannya. Pada titik ini biasanya pemerintah pasti menjadikan situasi global yang masih tidak stabil karena covid dan perang sebagai alasannya. Ketika daya beli masyarakat terus merosot, pengusaha-pengusaha pun pasti akan bilang pasar sedang dalam masa sulit karena mereka melihat laba bersih perusahaan mereka berkurang jauh.

Semua pihak seolah punya alasan untuk berkelit, tapi tak ada yang pernah mau mengambil tanggung jawabnya. Di tengah keadaan yang semakin absurd ini, rakyat kecil hanya ditenangkan dengan meminta kita selalu kuat dan tabah. Mereka seolah menganggap bahwa tabah dan bertahan adalah sebuah prestasi moral, bukan keterpaksaan yang struktural.

Narasi Bersyukur yang Disalahgunakan

Bersyukur memang penting. Tapi ketika ia dijadikan tameng untuk menutupi kegagalan akan sebuah kebijakan publik, maka maknanya akan berubah menjadi alat kontrol sosial. Kita seolah sedang diarahkan untuk merasa berdosa saat kita mengungkapkan perasaan ingin hidup lebih layak. Seolah-olah menginginkan gaji dan upah yang cukup dan layak itu adalah sebuah ketamakan, bukan sebuah hal yang wajar.

Narasi "terus bersyukur walau dalam himpitan" dijadikan sebagai alat politik halus untuk menjaga stabilitas sosial, di tengah masyarakat yang sedang memupuk rasa frustasi di dalam dadanya. Ketika masyarakat mulai resah, media-media pun seolah kompak menghadirkan berita-berita bertema inspiratif tentang orang-orang miskin yang tetap bisa tersenyum dalam keterbatasannya. Ketika rakyat mulai marah, muncul tokoh-tokoh yang selalu akan berkata bahwa kehidupan mereka di Indonesia ini jauh lebih nyaman dibandingkan dengan negara-negara lainnya di luar sana. Padahal, perbandingannya seringkali keliru. Tidak apple to apple.

Sebenarnya tidaklah perlu pejabat-pejabat itu dan media-media arahannya untuk membandingkan-bandingkan penderitaan kita dengan yang ada di negara lain hanya demi membenarkan sebuah ketimpangan dan menormalisasikan kekurangan di sini. Karena ketika aktivitas sesakral bersyukur dijadikan pembungkus akan ketidakadilan, maka kata-kata itu akan berhenti menjadi sebuah nilai spiritual dan malah akan berubah menjadi sebuah anestesi sosial. Rakyat kecil dibius dengan optimisme kosong, sementara para elitnya terus menumpuk privilege dan kekayaan.

Realitas Ekonomi dalam Angka-Angka Semu

Menurut data Badan Pusat Statistik, tingkat inflasi tahunan Indonesia pada Agustus 2025 tercatat di sekitar 3,1%. Angka ini sekilas memang menunjukkan bahwa inflasi kita dalam keadaan terkendali, tapi sayangnya fakta (yang menurut mereka) gemilang itu tidak mencerminkan kenyataan lapangan sama sekali. Harga beras premium saat ini rata-rata sudah menembus angka Rp18.000 per kilogram (saat tulisan ini dibuat), konon ini adalah rekor harga tertinggi dalam lima tahun terakhir ini. Sementara itu, upah minimum rata-rata nasional hanya naik sekitar 1,5--2% per tahun, atau jika dirata-rata hanya naik sekitar Rp. 100.000 dalam setahun. Dalam satu tahun, mohon diingat. Sungguh kenaikannya jauh di bawah laju kenaikan biaya hidup itu sendiri. Belum lagi biaya pendidikan anak, kesehatan, dan transportasi yang juga ikut terus merangkak naik setiap harinya.

Menurut survei Katadata Insight Center, lebih dari 60% rumah tangga kelas menengah bawah di Indonesia mengaku penghasilan bulanannya kini habis hanya untuk kebutuhan dasar. Tabungan? Hampir tidak ada. Miris!

Namun walaupun fakta sudah seterang benderang itu, narasi yang beredar tetap sama: "Tetap bersyukur, jangan iri, dan jangan baper." Lagi-lagi ketimpangan ekonomi dibungkus dengan moralitas; penderitaan diromantisasi tanpa henti. Pikirnya agar tampak heroik? Tidak, bapak ibu. Justru mereka tanpa sadar sedang memelihara bom waktu dalam batin masyarakat saat ini, yang jika kemudian menemukan pemicunya bisa saja terjadi anarkisme seperti akhir Agustus 2025 yang lalu. Tampaknya mereka tidak pernah belajar dari kejadian itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun