Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Budaya Balas Dendam Setelah Gajian: Self Reward atau Sekedar Pelarian?

2 Oktober 2025   06:49 Diperbarui: 2 Oktober 2025   06:49 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada semacam sense of justice pada keadaan itu, seolah-olah diri kita sedang menuntut ganti rugi pada sistem kerja yang menguras energi selama ini. Tetapi apakah semua kegiatan konsumtif sehabis gajihan benar-benar mampu membayar rasa lelah itu

Kapitalisme Memanfaatkan Kelemahan Kita

Perusahaan-perusahaan e-commerce, restoran, hingga brand-brand fashion ternama seolah paham betul akan siklus ini. Tidak heran jika setiap akhir bulan atau awal bulan, promo-promo semu selalu bertaburan. Bahkan terang-terangan menargetkan orang yang baru menerima gajihan dengan kalimat-kalimat semacam Gajian sale,” “payday promo,” hingga “treat yourself weekend.”

Mereka tahu bahwa di tanggal-tanggal krusial itu konsumen sedang dalam kondisi emosional tak terkendali. Dompet terisi penuh, hati yang lelah dan muak dengan pekerjaan selama ini, ditambah lagi pikiran yang butuh pelarian, pada momen seperti inilah saat yang paling tepat untuk brand-brand mendorong sikap konsumtif masyarakat, kalau bisa sampai ke titik tertingginya. Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu? Ya karena para kapitalis-kapitalis ini bekerja bukan hanya dengan logika kebutuhan, tetapi juga dengan logika perasaan. Mereka lihai menerapkan strategi-strategi emotional marketing pada titik ini. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kita ditarik untuk membeli bukan karena kita butuh, tetapi karena kita sedang ingin merasa lebih baik saja.

Antara Reward dan Pelarian

Kalau dipikir-pikir, batas antara self reward dan pelarian itu sebenarnya tipis sekali. Self reward terjadi ketika konsumsi masih terkait dengan pencapaian atau kebutuhan akan sehat, misal beli buku karena berhasil menulis konsisten, jalan-jalan singkat setelah pekerjaan berat hari ini sudah selesai. Sedangkan pelarian terjadi ketika konsumsi digunakan untuk menutupi lubang-lubang yang kosong dalam diri; rasa jenuh, stres kerja, bahkan perasaan hampa yang tidak jelas sumbernya. Intinya yang satu menambah nilai, dan yang satunya lagi sekadar menunda rasa sakit.

Sayangnya, banyak orang yang tidak bisa membedakan keduanya. Yang terjadi justru menciptakan sebuah jebakan. Setiap gajian, siklus pelarian itu terus diulang, lagi dan lagi. Akhirnya semua hasil kerja keras habis tak tersisa, kita hanya hidup dari satu tanggal gajian ke tanggal gajian selanjutnya. Itu pun kalau bisa. Uang gaji seringkali justru habis di awal bulan, lalu untuk hidup ditopang dengan utang kecil-kecilan, ke teman, saudara. sampai gajian berikutnya.

Lupa Merawat Diri, Sibuk Melarikan Diri

Fenomena ini menunjukkan dengan sangat gamblang betapa rapuhnya cara kita memperlakukan diri sendiri. Kita sering kali menyebut belanja yang jelas-jelas konsumtif sebagai bentuk self love, padahal kadang itu lebih mirip dengan bentuk self neglect (istilah psikologi untuk orang yang mengabaikan kebutuhan dasar dirinya demi sesuatu yang lain).

Cinta pada diri sendiri yang benar mestinya adalah merawat tubuh dengan baik, menjaga mental agar tetap seimbang dan tenang, menata finansial, dan memberi ruang pada diri untuk bisa berkembang. Tapi kita seringkali lebih tergiur untuk memilih jalan yang cepat: konsumsi instan yang memberi euforia sementara.

Itulah sebabnya sekarang ini banyak orang merasa hidupnya kosong lagi sehari setelah selesai berbelanja banyak barang. Barang-barang yang baru didapatkan sudah kehilangan sisi magisnya, makanan-makanan enak yang kemarin kita beli mahal-mahal kini mungkin sudah jadi kotoran, sementara rutinitas yang kita benci itu tetap menunggu esok hari di meja kerja, seperti hari-hari biasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun