Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ini 5 Medsos Rawan Dibanjiri Hoaks Pemilu

9 Juni 2023   11:32 Diperbarui: 9 Juni 2023   11:38 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warning Sign oleh  Joaquin Carfagna (pexels.com)

Sejak kepopulerannya sejak 2004, platform medsos digandrungi publik. Facebook yang menjadi beken di Indonesia tahun 2006 ini mengalahkan medsos awal seperti Friendster, Mig33, dan Blogger. Kemudian setelah itu muncul Twitter (2006), Tumblr (2007), Instagram (2010), Pinterest (2011), dst. 

Kini mendefinisikan medsos pun semakin kabur batasnya. Dulu WhatsApp dan Telegram bisa disebut aplikasi chat. Kini banyak fitur-fitur mereka memiliki sifat medsos. Pada WhatsApp, kini dilengkap tab Status, mirip Story pada Instagram. Telegram punya banyak sekali grup hobi, aktivitas, pekerjaan, mirip grup di Facebook. 

Dengan fitur semakin beragam dan fungsional, medsos tidak hanya fokus pada interaksi dan komunikasi. Kini juga telah menjadi media propaganda politik. Medsos menjadi salah satu medium yang sering digunakan untuk berkampanye dalam Pemilu. Entah di linimasa sampai grup khusus relawan dan simpatisan parpol, kanal kampanye mudah dan murah dibuat.

Namun, medsos juga rentan menjadi sumber penyebaran disinformasi dan misinformasi perusak demokrasi dan mempolarisasi masyarakat. Beberapa faktor medsos cenderung rawan dengan hoaks disebabkan beberapa hal berikut:

Minimnya literasi digital dan politik. Di medsos, banyak users yang mudah percaya dengan informasi yang tidak terverifikasi atau tidak sesuai dengan fakta. Informasi salah yang sesuai dengan preferensi politik atau ideologi lebih mudah dipercaya. Tanpa cek fakta atau mencari sumber lain yang kredibel, mereka langsung share begitu saja.

Adanya kepentingan politik dari para aktor dalam Pemilu. Aktor macam ini sering memanfaatkan medsos untuk menyebarkan hoaks politk yang bertujuan untuk menjatuhkan lawan politik. Via buzzer mereka mengubah persepsi publik, atau mepengaruhi emosi dan perilaku pemilih. 

Terbatasnya pengawasan, regulasi, dan SDM dari pihak berwenang terhadap aktivitas kampanye di medsos. Meskipun ada aturan terkait kode etik berkampanye di medsos, namun penerapannya masih lemah dan tidak efektif. Hal ini membuat banyak pelanggaran yang terjadi di medsos tidak ditindaklanjuti dengan tegas atau bahkan luput dari perhatian. 

Ketiga faktor di atas memang perlu ada upaya kolaboratif dari berbagai pihak untuk menangkal hoaks Pemilu. Upaya tersebut dimulai dengan memahami kerawanan sebaran hoaks di beberapa platform medsos berikut. Jika diurutkan kerawanannya, maka ada lima platform medsos, yaitu:

1. WhatsApp (WA). Platform aplikasi chat satu ini memang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. WA memungkinkan usernya berbagi informasi dengan cepat dan mudah via grup atau pesan pribadi. Namun, WA paling juga rentan dan rawan menjadi medium penyebaran hoaks Pemilu.

WA tidak memiliki fitur fact-checking. Tidak seperti platform lain yang mudah mencari informasi dari akun lain, seperti Twitter atau Facebook. Selain itu, WA juga sulit untuk dipantau oleh pihak berwenang karena bersifat enkripsi ujung-ke-ujung yang melindungi privasi user.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun