Kelima, peran pemerintah yang kurang optimal. Moderasi bisa dilakukan oleh Cyber Police Indonesia. Namun peran moderasi hanya satu dari peran lain. Pemerintah bisa lebih menggalakan edukasi etika digital (netiket), misalnya. Kampanye literasi digital yang lebih tepat sasaran, menyenangkan, dan aplikatif juga bisa jadi pilihan.
Keenam, rasa penasaran netizen. Manusia memiliki insting mencari dan memahami. Platform medsos yang menawarkan candu visual memperparahnya. Sering di kala ada kecelakaan, bencana, atau pembunuhan, netizen bertanya dan menyebar video atau foto dari kejadian. Padahal aktivitas ini sejatinya nir-empati.
Ketujuh, demi mencari solusi. Konten kekerasan seperti pelecehan seksual misalnya, kadang perlu viral agar diperhatikan Kepolisian. Foto dan video pelecehan kadang menjadi bukti real bagi netizen agar percaya. Walau kadang konten ini disamarkan. Tapi nuansa kekerasan tetap ada dibalik viralnya berita tersebut.
Konten yang dimiliki user memang menjadi hak user itu sendiri. Kebebasan untuk menyebarkannya pun didasari kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun bagi beberapa users, konten ini menyalahi nalar, norma dan nurani publik. Konten kekerasan menjadi salah satu konten tersebut.
Salam,
Wonogiri, 06 Maret 2023
10:49 pm
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI