Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Langkah Non-Sequitur Twitter Melarang Iklan Kampanye Politik

5 November 2019   21:44 Diperbarui: 6 November 2019   04:28 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Twitter Vomit oleh OpenClipart Vectors - Ilustrasi: pixabay.com

Jack Dorsey, sang CEO Twitter dengan tegas melarang iklan kampanye politik di platformnya. Bagi banyak pihak hal ini dianggap baik. Manuver ini dianggap mendukung demokrasi yang sehat. Namun langkah ini juga tak lain adalah lelucon.

Gegap gempita warganet dunia mengapresiasi Twitter dengan langkah ini bukan tanpa alasan. Karena kebalikannya, Facebook yang menganggap iklan politik adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Dan politisi boleh saja beriklan.

Alasan lain adalah tsunami disinformasi global yang mungkin mengglorifikasi langkah Twitter ini. Publik banyak belajar dari propaganda politik di sosmed yang cukup merugikan. Publik tidak ingin kampanye politik sosmed semakin merusak demokrasi.

Pemilu 2016 US diduga kuat dikeruhkan skandal Cambridge Analytica via Facebook. Bolsonaro juga naik ke tampuk pemimpin tertinggi Brazil melalui kampanye negatif via WhatsApp. 

Konflik etnis di Myanmar juga diinisiasi via Facebook dan sampai saat ini, rezim Duterte mengkompromi pihak oposisi melalui perisakan cyber troops-nya via Facebook.

Kemudian konflik horizontal yang kini menggejala global juga menjadi kekhawatiran. Karena kausalitas konflik terkait erat dengan sosial media. Konflik perebutan kembali Hong Kong juga bereskalasi via sosial media. 

Konsentrasi dan kerusuhan massa di Spanyol, Lebanon, Irak, dan Chile juga didorong gaungnya di sosial media.

Sosial media adalah pedang bermata dua. Di satu sisi menjadi alat para pencari dan pemangku kepentingan. Sedang di sisi lain, sosmed adalah media yang murah, efektif, dan langsung publik untuk melawan kesewenang-wenangan.

Kampanye politik negatif suatu rezim akan bertumbrukan dengan demokrasi. Jika terakumulasi, maka bukan tidak mungkin konflik horizontal terjadi. Publik sudah jengah mendapati diri mereka menjadi target politisi buruk dan agendanya yang menyimpang.

Masih menurut Twitter, iklan politik yang dilarang meliputi: 1) iklan dari kandidat atau politisi tertentu; dan 2) iklan yang bertentangan dengan legislasi nasional seperti perubahan iklim, imigrasi, sistem kesehatan, dan keamanan nasional dan pajak. 

Iklan politik tidak akan berpengaruh banyak juga secara ekonomis pada Twitter. Di tahun 2018, income dari iklan politik di Twitter hanya mendapat 3 juta USD atau dalam rasio pendapatan total Twitter hanya 0,1% saja. 

Nilai tersebut berbeda dengan Facebook yang mendapat 350 juta USD atau sekitar 0,5% income Facebook di 2018.

Jadi benar saja Facebook tetap mempersilakan iklan politik mengisi linimasa publik. Sedang bagi Twitter, iklan politik kurang strategis dan menguntungkan. Karena pada kenyataannya, linimasa Twitter sudah tidak sehat secara politis.

Pihak yang merekayasa engagement demi ekonomi melalui trolls dan bots sering terjadi. Saat statistik re-tweet, like atau share masih menjadi parameter kepopuleran. Juga ditambah tagar manipulatif pihak berkepentingan politik. 

Linimasa masih akan tetap jadi perang perebutan kuasa dan pengaruh bebas dan tak terbatas.

Langkah Twitter ini pun bisa dibilang sebagai lelucon, non sequitur. Alih-alih memadamkan api yang membakar rumah users. 

Twitter malah memanggang sate pada panas baranya. Untuk kemudian satenya diberikan kepada para users agar tidak khawatir rumah mereka akan hangus terbakar. 

Manuver ini lebih condong kepada strategi PR yang ampuh saat publik gusar pada langkah ekstrim Facebook. Publik pun dibius efek placebo Jack Dorsey untuk menyembuhkan demokrasi. 

Twitter memang cukup terbuka dalam hal kebebasan berpendapat. Dari segi teknis, sisi API Twitter pun dibuka untuk riset dan analisa. Baru-baru ini pun Twitter telah menerbitkan panduan literasi media dengan UNESCO. 

Yang diperlukan sekarang bukan sekadar melarang iklan politik. Apalagi hanya di linimasa Twitter saja. Namun keseriusan platform untuk bertanggung jawab atas kelalaiannya selama ini.

Iklim dan ekosistem politik linimasa seperti saat ini tidak mungkin tumbuh subur tanpa pembiaran platform. Apalagi saat platform menjunjung tinggi nilai ekonomis daripada kemaslahatan. 

Isu penggiringan opini, manipulasi informasi, sampai bully dan persekusi sudah lama terjadi di linimasa. Publik sudah cukup lama terhanyut dan bersuka ria dalam ekosistem politik dan demokrasi tidak sehat ini.

Salam,
Wonogiri, 05 November 2019
09:39 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun