Iklan politik tidak akan berpengaruh banyak juga secara ekonomis pada Twitter. Di tahun 2018, income dari iklan politik di Twitter hanya mendapat 3 juta USD atau dalam rasio pendapatan total Twitter hanya 0,1% saja.Â
Nilai tersebut berbeda dengan Facebook yang mendapat 350 juta USD atau sekitar 0,5% income Facebook di 2018.
Jadi benar saja Facebook tetap mempersilakan iklan politik mengisi linimasa publik. Sedang bagi Twitter, iklan politik kurang strategis dan menguntungkan. Karena pada kenyataannya, linimasa Twitter sudah tidak sehat secara politis.
Pihak yang merekayasa engagement demi ekonomi melalui trolls dan bots sering terjadi. Saat statistik re-tweet, like atau share masih menjadi parameter kepopuleran. Juga ditambah tagar manipulatif pihak berkepentingan politik.Â
Linimasa masih akan tetap jadi perang perebutan kuasa dan pengaruh bebas dan tak terbatas.
Langkah Twitter ini pun bisa dibilang sebagai lelucon, non sequitur. Alih-alih memadamkan api yang membakar rumah users.Â
Twitter malah memanggang sate pada panas baranya. Untuk kemudian satenya diberikan kepada para users agar tidak khawatir rumah mereka akan hangus terbakar.Â
Manuver ini lebih condong kepada strategi PR yang ampuh saat publik gusar pada langkah ekstrim Facebook. Publik pun dibius efek placebo Jack Dorsey untuk menyembuhkan demokrasi.Â
Twitter memang cukup terbuka dalam hal kebebasan berpendapat. Dari segi teknis, sisi API Twitter pun dibuka untuk riset dan analisa. Baru-baru ini pun Twitter telah menerbitkan panduan literasi media dengan UNESCO.Â
Yang diperlukan sekarang bukan sekadar melarang iklan politik. Apalagi hanya di linimasa Twitter saja. Namun keseriusan platform untuk bertanggung jawab atas kelalaiannya selama ini.
Iklim dan ekosistem politik linimasa seperti saat ini tidak mungkin tumbuh subur tanpa pembiaran platform. Apalagi saat platform menjunjung tinggi nilai ekonomis daripada kemaslahatan.Â