Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ancaman dan Solusi Hoaks di Pilkada 2020

17 Juli 2019   15:49 Diperbarui: 18 Juli 2019   09:04 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebanyak 270 daerah di Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada Serentak tahun 2020| Ilustrasi: Kompas/Handining

Di tahun 2020 nanti, Pilkada serentak akan digelar di 270 daerah di Indonesia. Pilkada serentak ini memiliki rincian; 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Tepat pada tanggal 23 September 2020 akan dilakukan bersama-sama di daerah tersebut.

Menilik gonjang-ganjing hoaks selama Pilpres 2019 didapati beragam fenomena mengkhawatirkan. Tepat 4 hari usai kampanye dimulai, Polri mencatat 3500 hoaks tersebar di linimasa. Sedang dalam rentang waktu Agustus 2018 - April 2019, ada 1600 lebih hoaks bertema Pemilu menurut Kemenkominfo. Di puncaknya Pemilu, yaitu bulan April 2019, beredar 486 hoaks soal Pemilu.

Perebutan kuasa pemimpin daerah akan sengit di tahun 2020. Dan bukan tidak mungkin muncul oknum atau sindikat picik menuai pundi dengan propaganda kebohongan. Jika gambaran hoaks Pilpres begitu suram. Bagaimana jika per-regional, muncul produsen, penyebar, dan "pemeluk" hoaks demi merebut tampuk pimpinan.

Pernah di tahun 2018 lalu hoaks telah mencederai Pilkada serentak. Lalu apa yang musti kita lakukan jika dengan potensi hoaks regional yang berbahaya tersebut di tahun 2020?

Kita tidak mungkin hanya diam dan menonton kontestasi pemilihan pemimpin kita dinodai dengan hoaks. 

Pilkada Serentak dan Awan Murung Hoaks
Dari angka-angka diatas kita lihat; 1) Terjadi peningkatan eksponensial jumlah hoaks secara umum (dalam rentang Pemilu); 2) Ada gerakan terstruktur, sistematis, dan masif menyebarkan hoaks bertema tertentu (dalam hal ini Pemilu); 3) Peran serta pemerintah, aparat, dan masyarakat wajib menyadari dan menangkal fenomena tersebut.

Pilkada Serentak - Ilustrasi: perludem.org
Pilkada Serentak - Ilustrasi: perludem.org
Pada dasarnya baik Pemilu, Pileg, dan Pilkada bertujuan memilih calon pemimpin. Pilkada pun tak lepas dari ancaman hoaks. Berkaca pada pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2018, ternodai dengan berita bohong. Dengan di tahun 2017, terpaan hoaks TSM kita lihat terjadi pada Pilgub DKI Jakarta. 

Sorotan ramai publik dan media menyoal hoaks Pilkada terjadi di Pilgub DKI tahun 2017 lalu. Pemilihan Gubernur Jakarta dengan dua pasang kontestan, Ahok-Djarot dengan Anies-Sandi dinodai banyak hoaks. Hoaks mundurnya Ahok dari Pilgub Jakarta sempat viral di linimasa. Begitupun, bertebarannya spanduk fitnah berisi Jakarta Bersyariat jika Anies-Sandi menang.

Pada Pilkada serentak 2018, hoaks juga mencoreng kontestasi yang terjadi. Di Pilgub Jateng, ada 4 portal berita menyebar hoaks kalau Ganjar Pranowo akan menjadi tersangka kasus E-KTP. Sudirman Said pun tak lepas dirisak citranya dengan hoaks bernuansa asusila yang beredar di linimasa.

Begitupun di Pilgub Jabar 2018, beredar hoaks mengatakan server KPUD Jabar diserang hacker dari China. Hoaks pun menyerang Ridwan Kamil saat Pilgub dengan melabeli dirinya sebagai pendukung LGBT. Hoaks soal dukungan paguyuban paranormal abal-abal yang mendukung Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi juga sempat viral. 

Dalam rangkaian Pilkada serentak 2018, juga beredar hoaks di daerah Kalimantan Barat akan terjadi kerusuhan usai pencoblosan Pilgub. Di daerah Kintap, Kalimantan Selatan, sempat beredar hoaks meresahkan. Polisi diduga mengamankan seorang yang membagikan sembako dan uang. Padahal hal tersebut tidak benar.

Dalam lingkup lebih kecil Pilkada serentak 2018, Pilwalkot Bekasi juga dirisak dengan hoaks. Cawalkot Rahmat Effendi diduga menandatangani perjanjian untuk membangun 500 gereja selama 5 tahun. Hoaks pada Pilwalkot Kota Makasar 2018 juga sempat menuduh aparat tidak netral. 

Baik Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 nyatanya didera gempuran hoaks. Linimasa kian gaduh dengan polarisasi netizen akibat militansi dukungan Capres sejak 2014. Ruang-ruang personal seperti grup chat sempat tegang karena perbedaan pilihan Cagub, Cabup, sampai Calkades.

171 Daerah Pilkada Serentak 2018 - Ilustrasi: rappler.id
171 Daerah Pilkada Serentak 2018 - Ilustrasi: rappler.id
Badai Hoaks Terstruktur, Sistematis, dan Masif
Data dan tautan di atas didapat karena hoaks sempat viral dan diklarifikasi faktanya. Sedang hoaks sendiri bukan hanya terfokus pada konten, namun distribusinya. Dengan konten hoaks yang diviralkan saat Pilkada banyak terpusat pada sentimen agama, perbuatan asusila, dan etnisitas.

Faktanya distribusi hoaks lebih cepat viral dan populer daripada kounter-faktualnya. Penelitian Sinan Aral dari MIT Massachusetts di tahun 2018 mengungkap fakta mencengangkan soal distribusi hoaks.

Dibutuhkan waktu 6 kali lebih lama untuk sebuah fakta agar bisa dilihat 1500 users. Saat hoaks mencapai sekitar 100.000 users, klarifikasinya hanya mencapai 1% atau sekitar 1.000 users. Dan sebaran hoaks cenderung diviralkan secara sistematis via peer-to-peer diffusion.

Dengan judul berkesan click bait dan konten provokatif atau menyesatkan. Tak jarang hoaks memicu konflik sosial. Seperti Ahmad Fauzi di Kendal yang menjadi korban jiwa akibat salah tuduh sebagai penculik anak. Seorang pria di Jember yang hampir dikeroyok massa karena dituduh penculik anak.

Dalam distribusi hoaks TSM yang tersebar via Facebook juga dikabarkan memantik kerusuhan etnis di Myanmar. Usai membasmi secara brutal kartel narkoba. Kini pendukung militan Duterte di Filipina menyebar hoaks guna memfitnah pihak yang kontra pada pemerintahan.

Sekilas Ekosistem Hoaks Regional
Menangkap produsen hoaks di Indonesia tidaklah mudah. Berbagai negara maju seperti US, Uni Eropa dan banyak negara lain kewalahan atas sebaran disinformasi yang terjadi. Propaganda hoaks pun sudah dikomersilkan murah meriah oleh sindikasi troll dari Rusia. Dengan hanya membayar USD 250, kampanye bohong sudah bisa dilaksanakan.

Pada Agustus 2017, produsen ujaran kebencian dan hoaks, Saracen ditangkap di Jakarta. Sedang oknum pembuat hoaks 7 kontainer suara tercoblos diamankan polisi pada Januari awal tahun ini. 

Jika ditelaah, pihak Kepolisian sulit menangkap produsen hoaks sampai ke akar-akarnya. Usai Saracen atau MCA digerebek tahun 2017 lalu. Nyatanya hoaks masih secara TSM beredar menjelang dan paska Pemilu 2019. Walau seorang oknum diduga membuat hoaks 7 kontainer surat suara tercoblos diciduk polisi. Yang kita rasa, hoaks politik masih riuh beredar di linimasa.

Menangkapi penyebar hoaks pun bukan solusi komprehensif. Pada Mei 2017, penyebar hoaks chat palsu bernuansa SARA antara Kapolri dan Kabid diciduk polisi di Jakarta. Seorang dosen wanita penyebar hoaks pembunuh muazin yang berpura-pura gila diamankan kepolisian Yogyakarta. 

Dalam konteks kontestasi Pemilu 2018, 2 orang diamankan polisi di Jakarta karena menyebarkan hoaks server KPU yang dianggap memenangkan paslon 01. Penyebar hoaks sensasional soal 110 juta warga China membuat E-KTP guna mengalahkan paslon 02 diciduk polisi Jabar.

Solusi Regional dan Jejaring Gerak Bersama
Membayangkan akan muncul oknum atau sindikat produsen dan penyebar hoaks di daerah cukup mengerikan. Kepolisian akan dibuat bingung dengan bejibun hoaks yang masyarakat daerah terima. Propaganda digital yang begitu personal, real time, dan masif akan sulit dideteksi dan dicegah.

Maka solusi terbaik adalah membentuk komunitas sosial yang bergerak melawan hoaks. Karena jika target sindikat hoaks adalah pemilih di daerah. Maka pemilih daerah harus lebih cerdas dengan edukasi literasi digital. Dan yang pasti memiliki kemampuan cek fakta digital yang baik.

Cek fakta atau klarifikasi sudah banyak dilakukan komunitas secara digital. Klarifikasi fakta biasanya dirilis via platform sosial media. Fanspage di Facebook seperti FAFHH, Turn Back Hoax, dan Indonesian Hoaxes Community sudah baik dan teratur dikelola oleh Mafindo.

Dari sisi jurnalistik digital, situs cekfakta.com juga memberikan kontribusi tersendiri. Apalagi saat banyak hoaks memelintir dan memanipulasi isi dan foto berita aktual. Situs ini dibentuk bersama 22 media.

hacker oleh Pete Linforth - Ilustrasi: pixabay.com
hacker oleh Pete Linforth - Ilustrasi: pixabay.com
Namun aktivitas kuratif seperti cek fakta di sosial media saja belumlah cukup menghadapi gurita hoaks. 

Di Jawa Barat, telah ada tim Jabar Saber Hoaks (JSH). Sebuah tim yang didaulat Ridwan Kamil yang khusus bergerak melawan dan mengedukasi warga Jabar soal bahaya hoaks. Kiprah digital tim JSH pun cukup baik dan mumpuni memberi klarifikasi dan edukasi via sosial media mereka.

Mafindo pun telah lama bergerak mengedukasi publik dan melatih cek fakta. Beragam kegiatan yang telah dan akan dilakukan, melibatkan aparatur negara, komunitas lokal, sampai warga masyarakat biasa.

Pemerintah sebagai otorisasi akses internet pun sudah bergerak. Pada saat aksi massa 21-22 Mei 2019 kemarin, pemerintah melalui Kemenkominfo membatasi lalu lintas sosmed guna membatasi perseberan hoaks yang memicu konflik. Walau pembatasan ini memicu pro-kontra. Namun mengorbankan lalu lintas linimasa lebih baik manfaatnya daripada hoaks yang menyulut konflik lebih parah.

Belajar dari paduan gerakan Kementerian terkait, aparat, dan organisasi atau komunitas anti-hoaks. Patutnya terjalin jejaring gerakan seperti:

  • Pelatihan cek fakta untuk personil aparat dan ASN di banyak daerah. Karena posting klarifikasi personil aparat atau ASN lebih bisa dipercaya publik.
  • Training cek fakta dan pemahaman bahaya hoaks untuk pemuka agama. Dapat dilakukan melalui organisasi keagamaan besar yang tersebar banyak di Indonesia.
  • Melatih civitas akademik perguruan tinggi tentang potensi bahaya dan demografi hoaks. Dengan pelatihan cek fakta dan membuat riset sederhana bisa jadi memberi manfaat untuk publik di sekitar universitas di banyak daerah.
  • Pelatihan cek fakta untuk ibu rumah tangga dan kaum Milenials di daerah. Karena sudah banyak pelaku penyebar hoaks adalah emak-emak. Dan anak muda juga memiliki populasi users terbanyak di internet. 
  • Pemberian mapel ekstra literasi media dan digital di sekolah menengah (SMP dan SMA) di daerah. Tanpa perlu menggangu KBM, kegiatan seperti cek fakta dan literasi digital bisa diberikan sebagai ekstrakurikuler usai kelas usai.
  • Melakukan pelatihan cek fakta untuk komunitas di daerah dan desa. Tak dapat dipungkiri, komunitas di daerah juga memiliki peran penting untuk mengedukasi warga masyarakat daerah.

Kita sudah sangat tahu dan merasakan dampak negatif hoaks secara psikologis, sosial, dan regional. Kini, ada baiknya mulai membuat imunitas bersama atas ekses hoaks yang sudah dan sering terjadi. 

Sebenarnya banyak lagi aktivitas atau gerakan menangkal hoaks yang bisa dilakukan. Sehingga meminimalisir potensi bahaya hoaks saat Pilkada 2020 dapat kita lakukan.

Tinggal bagaimana, sekarang kita mau turut dan peduli tidak pada bahaya hoaks pada demokrasi kita?

Salam,

Wonogiri, 17 Juli 2019
03:49 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun