Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Yang Luput Kita Pahami dari "Propaganda Rusia"

7 Februari 2019   23:24 Diperbarui: 8 Februari 2019   13:11 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chess oleh Markus Spiske temporausch.com - Foto: pexels.com

Dengan kata lain, di US sendiri munculnya terma PR terbukti setelah ada riset digital forensic yang komprehensif dan longitudinal. Disertai data berupa digital fingerprints mendetail. Maka 'menuduh' ada pihak dari Rusia yang membuat propaganda pada Pilpres US 2016 sudah cukup valid.

Walau sayangnya, kini pihak FCC maupun FBI tidak menganggap intervensi pihak dari Rusia ini adalah kejahatan. Walau bukti jejak digital dan upaya penggiringan opini via sosial media sudah cukup jelas.

Play Stone - Foto: pexels.com
Play Stone - Foto: pexels.com
Sehingga muncul proposisi kedua. Yaitu, masih sangat dini mengasosiasi PR dengan Pilpres 2019 di Indonesia.

Dengan kata lain, pernyataan soal adanya intervensi ala Rusia pada Pilpres 2019 di Indonesia cukup gegabah. Saat bukti secara digital forensic belum cukup memadai. Sistematika pengolahan dan penyajian data pun masih tersebar dan mungkin belum cukup valid.

Pemaknaan terma PR sendiri berarti ada pihak asing atau pihak ke tiga dalam kontestasi Pilpres di US. Seperti yang telah ditelaah Albright dalam setiap laporan riset digitalnya. Ada IRA di Rusia yang mengelola ratusan troll digital untuk menggiring opini publik US saat Pilpres 2016.

Dalam memaknai PR sebagai propaganda 'ala' Rusia sendiri. Harus setidaknya tersirat pola penggiringan opini pihak lain yang campur tangan dalam peta perpolitikan saat Pilpres.

Apakah di Pilpres 2019 di Indonesia terlihat ada pihak asing? Atau adakah pola PR dari pihak ketiga yang terlibat?

Perang tagar yang dihimpun tim Drone Emprit (DE) pimpinan Ismail Fahmi pun belum bisa melihat adanya kaitan asing. Dalam 'perang tagar' antar simpatisan, DE menemukan jika ada kubu yang menggunakan bot dalam perang tagar yang sering terjadi.

Ada yang menarik dari perang tagar #VisiMisiJokowiMenang versus #HaramMemilihPemimpinIngkarJanji. DE menemukan kubu pembuat tagar yang kedua lebih organik dan interaksinya tinggi. Dengan kata lain, akun yang mendongkrak tagar ini bisa disebut akun asli.

Sedang untuk tagar yang pertama, akun yang digunakan diindikasi adalah bot. Akun bot biasanya dibuat masif, sedikit followers, dan sporadis dalam mendukung sebuah tagar. Interaksi untuk mendukung tagar pun dianggap lemah.

Akun pendukung tagar #HaramMemilihPemimpinIngkar diindikasi DE adalah sebagai pendukung HTI. Hal ini diamati dari akun-akun ini juga sempat mengusung tagar #UdahKhilafahAja atau #TerbuktiDustaJadiPetaka. Dan laporan lengkap dari kedua contoh tagar DE bisa dilihat disini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun