Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Salahkan "Phubbing"

29 Juni 2018   10:38 Diperbarui: 29 Juni 2018   15:52 2167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Phubbing - foto: newportacademy.com

Jangan salahkan perilaku phubbing yang saat ini menjadi sorotan. Phubbing singkatnya berarti mengasingkan diri secara sosial dengan gadget. Saat ada temu kangen reuni, teman kita sibuk sendiri dengan chat grup di WA. 

Seorang anak sibuk melihat YouTube di meja makan saat pesta ulang tahun teman sekolahnya. Atau kita yang memilih mendengar Spotify saat keluarga besar sedang kumpul halal bi halal. Beberapa kegiatan ini pun kita labeli sebagai phubbing.

Phubbing dianggap valid jika kegandrungan pada gadget menggantikan kesepian dalam kerumunan. Lalu mengapa orang melakukan phubbing? 

Pertama, merasa dalam kesepian dalam keramaian. Pernahkah Anda merasa sepi dan sendiri walau berada di stasiun kereta? Tubuh berada dalam kerumunan orang, tetapi pikiran seolah hampa dan meruang. Demi menghilangkan rasa ini, kadang orang beralih ke gadget. Berusaha untuk menyibukkan pikiran dengan aktivitas yang dibiasa. Chat dengan alumni SMA di grup bisa jadi pengisi pikiran kosong tadi.

Gen Z, ataupun para milenials menjadikan gadget dan internet sebagai kebutuhan quasi primer. Saat paket data internet menipis di gadget mereka, kepanikan terjadi. Merasa tertinggal informasi sosmed dan berita menjadi kecemasan tersendiri. Karena sering kesepian saat di kerumunan diobati dengan gadget mereka. Sekadar bermain gim atau nyetatus menjadi pilihan interaksi dan komunikasi.

Kedua, karena kebiasaan yang dibiasakan. Beberapa orangtua saya lihat sering memberi anak mereka gadget. Baik itu saat makan bersama di meja makan. Atau berada dalam pesta atau kondangan. Semua demi membuat anak diam dan tenang. Sehingga saat mereka besar nanti, kebiasaan menggunakan gadget di suatu acara diulang.

Phubbing dalam pikiran anak kecil bisa jadi hal lumrah. Karena dengan begitu seorang anak bisa lebih mudah diatur. Bisa jadi kebiasaan ini dicontohkan orangtua lain, atau memang dbiasakan orangtua sendiri. Tidak dapat dipungkiri anak kecil sekarang menjadikan gadget 'mainan'. Dan alangkah baiknya mainan tersebut juga bisa diatur penggunaannya dan diajarkan manfaatnya oleh orangtua.

Ketiga, phubbing sebagai tren. Walau belum ada riset demografis tren tentang phubbing. Namun dengan melihat orang lain mem-phubbing, maka aktivitas ini ditularkan. Jika seorang teman memilih mojok sendirian saat reuni dengan handphone-nya. Tentunya kita pun bisa melakukan hal tersebut. Selama tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Benarkah?

Phubbing sendiri aktivitas yang secara tidak sadar dimaklumkan publik. Bagi seseorang yang menganggap phubbing buruk, di satu waktu dan tempat bisa melakukannya. Dan saat banyak orang memiliki gadget pribadi, tidak ada larangan tertulis harus dimana dan seperti apa gadget digunakan. Walau kini phubbing secara logis dianggap isolasi diri secara sosial dengan sengaja. 

Adalah dengan literasi, fenomena phubbing bisa dipahami. Ada sisi buruknya, phubbing menjadi sebuah 'gangguan' sosial endemis kaum milenials. Karena kebiasaan lekat dengan gadget sejak kecil. Phubbing menjadi media mencari kesibukan. Pun berinteraksi dengan gadget menjadi artefak sosial orang zaman now, kabarnya. Dan kini, phubbing seolah menjadi konvensi tren tidak tertulis.

Namun di sisi lain, phubbing sendiri menjadi kelumrahan. Bayangkan jika semua orang sibuk dengan gadget mereka di kereta yang penuh sesak. Kita malah sok kenal sok akrab berkenalan dengan orang di kanan kiri kita. Akan mungkin terjadi pengacuhan pada diri kita. Pola interaksi dengan lisan, gestur, dan basa-basi bisa jadi salah konteks saat ini.

Salam,

Solo, 29 Juni 2018

10:48 am

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun