Tiada kasta berupa harta, tingkat pendidikan, atau kedudukan di dunia maya. Seorang profesor bisa seteledor anak SD saat menyebar berita hoaks. Seorang anak SMP bisa seradikal pejuang ISIS saat tahu keyakinannya dihina. Seorang ulama panutan pun bisa seenaknya dicaci tanpa rasa hormat. Bahkan sampai saat ini, seorang Presiden pun dihinakan tanpa kenal waktu dan situasi.
Dunia digital via sosmed adalah katarsis kekalahan kita di dunia nyata. Sejuta akun bisa kita buat. Bak Rahwana dengan seribu wajahnya. Kepahitan hidup tidak ingin kita jumpai di sosmed. Tak heran, isu kritis seperti terorisme akan dilibas informasi baru dalam benak netizen. Bahkan disinformasi kadang membuat isu seperti terorisme bahan lelucon. Faktanya, ada kepsek yang diciduk polisi karena dianggap melecehkan isu teror bom di Surabaya.
Publik kita sudah kebal dan cerdik melawan teror. Faktanya teror kehidupan kita yang semakin sulit, tidak membuat kita lemah. Isu terorisme pun menjadi perhatian kita. Namun kadang concern dan perlawanan kita pada isu ini dideviasi kepentingan oknum. Entah itu dengan dalih kekuasaan atau atas nama SARA.
Bergembira di dunia maya tidak ada yang melarang. Namun jika rasa gembira ditulis menjadi konten/posting kebablasan. Maka konsekuensi dunia nyata tetap akan disemai. Ber-wkwkwk-lah dengan bijak.
Artikel menyoal literasi digital dan ranah sosial lain:
- Kita, Internet dan "Psychosocial Moratorium"
- Hoaks, Naive Realism dan Konsensus Milenials
- Medsos dan Kesepian Kita
Salam,
Solo, 21 Mei 2018
01:13 pm