Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mari Mengenal Apa Itu Ketimpangan Digital (Digital Divide)

17 April 2017   21:23 Diperbarui: 28 Mei 2019   13:55 2608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Digital Divide - ilustrasi atchub.net

Sejak kemunculan internet di medio 1960-an, dunia menjadi kian sempit. Namun dari aspek sosial, ekonomi, politik dan pendidikan terjadi gap yang begitu lebar. Gap inilah yang kemudian di awal 90-an disebut sebagai 'Digital Divide' (DDiv). 

Wacana DDiv sendiri secara historis dimulai dari isu ketimpangan jaringan kabel antar daerah urban dan rural di US. Lalu berkembang menjadi kepemilikan Personal Computer (PC) baik di rumah tangga, instansi publik/swasta, dan sekolah. Sejak PC yang dibarengi perkembangan spektakuler internet, maka DDiv terjadi secara global.

Pada dasarnya DDiv masih berdiri pada faktor ekonomi, daerah dan pemerataan teknologi. Bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah di desa terpencil, tentu melihat laptop menjadi suatu yang wah. Namun dengan merubah variabel tinggal di kota, maka memiliki smartphone mungkin menjadi barang mewah tersendiri. Jurang yang terjadi dengan kalangan menengah atas yang tinggal di perkotaan tentu akan sangat besar. 

Dalam konteks Indonesia, dengan 82.190 desa DDiv menjadi kentara. Penggunaan media teknologi dan informasi di desa sendiri masih banyak memanfaatkan TV, yaitu 89%. Karena faktanya, akses internet memang relatif rendah di desa. Karena BTS dengan frekuensi 3G sendiri di tahun 2015, hampir 70 ribu dibangun di Pulau Jawa. Sedang hanya seribu lebih BTS dibangun di Papua. Ditambah 63% BTS dengan akses 4G juga dibangun di Jawa.

Secara spesifik, penggunaan internet untuk rumah tangga di daerah rural dan urban juga berbeda secara signifikan. dari survei Kominfo 2015, hanya 20% rumah tangga di desa mengakses internet. Sedang lebih dari 40% rumah tangga di daerah urban mengakses internet. Dari sebaran usia, hampir 50% pengguna internet berusia 16-25 tahun. Sedang pengguna yang berusia 36-65 tahun sebarannya lebih sedikit dari yang berusia 9-15 tahun (38,2%).

Indonesia sendiri memang tidak sebanding jika dikomparasi dengan negara maju. Namun saat negara lain juga berpacu memperkecil jurang ini, teknologi bergerak cukup cepat. Indonesia yang masih bergulat dengan infrastruktur dan konsep ala 'smart-smart-an', negara maju bergerak pada perspektif kritikal (artifak kebudayaan) dan retoris (kajian reflektif). Di banyak negara berkembang, memang wacana fungsional banyak dibahas (infrastruktur dan aplikasi).

DDiv pun bergerak dari sekadar wacana fisik menjadi diskursus. Generasi Z saat ini sudah kenal dengan teknologi. Namun, banyak yang belum memahami diskursus yang teknologi bawa. 

Sebuah riset di tahun 2014 di jurnal Journal of Literacy and Technology menemukan fakta yang unik. Anak usia dini yang dipaparkan pada pelajaran dengan e-book selama 6 minggu memiliki tingkat baca yang rendah.

Faktanya pun, banyak anak usia sekolah pintar dengan internet dan komputer. Namun apakah media ini membuat mereka belajar? Apakah teknologi ICT yang guru ajarkan di sekolah juga guru sendiri gunakan di luar sekolah. 

Sedang akses internet dan medianya sendiri masih relatif mahal dan terbatas. Apakah juga siswa didampingi orang yang faham teknologi di rumah mereka?

Saat DDiv yang terjadi di dunia, terutama Indonesia banyak berfokus pada bentuk fisik dan interkoneksinya. Jangan pernah terlupa konteks kritikal dan retorisnya. Faktanya banyak kita temui sehari-hari. Namun kita saja yang belum ngeh akan hal-hal ini.

Pada konteks kritikal, contoh sederhana adalah berita hoax lewat grup chat. Betapa dahsyat dampak berita yang bagi kita begitu menarik berdasar SARA, pilihan calon pemimpin, parpol, dll. Namun ternyata begitu menipu dan merugikan bagi sebagian orang. Begitupun pada konteks retoris yang mencoba menrefleksi teknologi pada kehidupan manusia. 

Contohnya adalah konflik jasa transportasi online dan konvensional. Saat inovasi teknologi global berbenturan dengan medium ke-lokalan, maka gesekan tidak dapat dielakkan.

Jika kita coba kecilkan gap DDiv di Indonesia ini, katakanlah, 10-15 tahun ke depan ditanggulangi dengan aspek infrastrutur semata. Sehingga kesetaraan akses, teknologi, sumber daya, dll di seluruh Indonesia tercapai. Namun apakah dunia akan berada di tahap yang sama 10-15 ke depan? Apa yang terjadi mungkin saja DDiv yang lebih besar dan kompleks.

Ada baiknya DDiv kontemporer ini dibarengi dengan literasi digital yang baik. Dan semua dimulai dari sekolah. Saat guru tidak sekadar mengaplikasi teknologi dengan pola drill-and-kill, maka wacana holistik ICT bisa difahami. DDiv antar generasi merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Namun jangan sampai DDiv dalam perspektif holistik (fungsional, kritikal, dan retoris), dipelajari secara parsial.

Referensi: Buku Putih Kominfo 2015 | Google and Digital Divide by Elad Segev, 2010 | Multiliteracies for a Digital Age by Stuart A. Selber, 2004 | The Digital Divide by Beth Braverman, 2016 | 

Artikel menyoal literasi digital:

Salam,

Wollongong, 18 April 2017

12:25 am

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun