Mohon tunggu...
Giovanny Alberta
Giovanny Alberta Mohon Tunggu... Teknologi Sains Data Universitas Airlangga

Future Data Scientist

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Dapat Pacar dari Dating Apps: Antara Malu atau Bersyukur

3 Juni 2022   01:37 Diperbarui: 3 Juni 2022   01:41 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobile app photo created by freepik - www.freepik.com

Memasuki usia kepala 2 membuat saya sering mendengar pertanyaan teman-teman "Aduh, kapan ya dapat ayang?" atau "Aduh, capek kuliah mau nikah aja".

Untungnya, saya bukan salah satu dari teman-teman saya karena saya sudah punya pacar. Hubungan saya dan mas pacar dimulai dari kegiatan swipe right di salah satu aplikasi dating online yang berujung memutuskan untuk pacaran. Kebetulan saya dan mas pacar kini menjalani hubungan jarak jauh, karena saya berkuliah di Surabaya sedangkan ia baru lulus dan harus pulang kampung ke Bekasi.

Ketika saya pertama kali publish hubungan di media sosial, tentu topik percakapan nggak jauh dari "Ih, kenal dimana?" atau "Kok bisa kenal sih padahal kan jauh?". Seringkali jawaban saya yang mengatakan bahwa kami kenal dari aplikasi dating online membuat orang-orang tercengang. Stigma negatif mulai dipertanyakan ke saya tentang cowok dari dating apps yang suka ghosting, cuma main-main, bukan orang asli (faker), dan lain-lain.

Dating apps merupakan aplikasi kencan berbasis online yang dapat digunakan oleh siapa saja dengan kategori sudah cukup umur. Saya nggak bisa memungkiri bahwa memang ada cowok seperti itu, karena hubungan saya sebelumnya dimulai dari dating apps dan berakhir gagal karena diselingkuhi. Cukup tragis, tapi saya kembali ke dating apps tanpa rasa trauma. 

Menurut saya, main dating apps merupakan salah satu usaha saya untuk punya pacar. Terlebih di masa pandemi kemarin, lingkungan pertemanan tidak meluas karena perkuliahan, kepanitiaan, organisasi  dan berbagi kegiatan lainnya dilakukan secara daring. Hal ini tentu saja meminimalisir tumbuhnya benih cinta lokasi, yang membuat saya putar otak bagaimana agar hidup saya tidak terlalu menyedihkan.

Bagi sebagian orang, dating apps bukan sebuah hal tabu karena perkembangan zaman membuat segala hal lebih praktis di mana menambah teman atau bahkan pacar dapat dimulai secara virtual. Namun, layaknya sisi koin yang berseberangan masih ada orang yang menganggap bahwa bermain dating apps merupakan suatu tindakan luar biasa atau bahkan aneh. Pandangan ini yang membuat saya kadang dilema untuk memberi tahu bagaimana perjumpaan saya dan mas pacar.

Di lain sisi saya merasa bangga dari sekian juta pengguna saya berhasil menemukan lelaki yang nyata dan baik. Pertama kali kami berbincang melalui aplikasi, tentu ada sedikit rasa khawatir akan akhir dari hubungan ini. Namun, tidak ada salahnya mencoba bukan? Kalau menjadi pacar ya bersyukur, kalau enggak ya menambah teman. Ternyata setelah masa pendekatan yang cukup singkat yaitu satu bulan, mas pacar memutuskan untuk menembak saya dan kami memulai hubungan yang lebih serius.

Dilema kembali muncul ketika saya dan mas pacar saling memperkenalkan ke orang tua. Apabila generasi muda atau seringkali disebut dengan generasi Z cenderung familiar dengan hubungan yang berasal dari dating apps, generasi baby boomers atau para orang tua merupakan sebuah tantangan. Karakteristik generasi baby boomers yang tidak memahami teknologi dan cenderung konservatif membuat hubungan yang berasal dari dating apps terlihat unsual.

Lalu bagaimana cara menjelaskan ke orang tua? Berdasarkan pengalaman pribadi berikut beberapa tipsnya:

1. Terbuka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun