Mohon tunggu...
Humaniora

Kebhinekaan

12 September 2017   11:31 Diperbarui: 12 September 2017   11:36 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ya benar, kita semua INDONESIA. Kita semua merupakan satu dari kurang lebih 237.641.362 manusia yang ada di Indonesia. Bisa dibayangkan betapa banyak perbedaan yang muncul dari masing-masing kepala tersebut, karena manusia telah diberikan kehendak bebas oleh yang empunya kehidupan. Kenyataannya, Indonesia, negara yang merdeka pada tahun 1945 ini dapat mengatasi keberagaman itu dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika-nya (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang terpampang dengan jelas di kaki burung garuda, membuat jiwa patriotisme dan nasionalisme dapat berkorbar demi bangsa dan negara. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana para tokoh pendiri bangsa kita menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kegigihan dan konsistensi mereka (founding fathers of indonesia) tak bisa diuraikan dengan kata-kata, karenanya mereka berhasil membakar semangat rakyat untuk berjuang demi kemerdekaan. Betapa artistik goresan kuas mereka di atas lembaran cerita bangsa Indonesia dari yang awalnya penuh dengan kepedihan sampai akhrinya merdeka. Lagi-lagi, semua ini dapat tercapai karena adanya PERSATUAN.

Namun sayang, setelah 72 tahun merdeka, apa yang terjadi ? Indonesia malah mengalami krisis mental. Intoleransi merajalela di mana-mana, isu SARA menjadi panas belakangan ini. Akibatnya, masyarakat Indonesia tidak dapat berkembang dan negaranya berjalan di tempat, sebagai data tahukah kalian bahwa di Indonesia orang miskin menderita sakit jantung jumlahnya dua kali lebih banyak daripada orang kaya (Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU). India dan Mesir yang umur negaranya 2000 tahun, sampai sekarang masih negara berkembang, sedangkan Aussie dan New Zealand yang baru 150 tahun sudah menjadi negara maju (Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU). Jepang yang 80% adalah tanah subur, sampai sekarang belum semaju Swiss yang tidak memiliki SDA (Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU). 

Melalui data-data ini saya dapat berkata bahwa yang membedakan negara maju dengan tidak, bukanlah ras dan tingkat intelektual seperti yang orang sering katakan, namun yang membedakan adalah attitude (sikap) yang dibingkai oleh education dan karakter, sikap yang bertanggungjawab, bertoleransi, hormat akan HAM dan hukum, tepat waktu, dsb. Inilah yang bangsa kita belum miliki, inilah yang membuat kita miskin, bukan hanya financial namun juga mental, karena kita tidak semua warga negaranya punya attitude, salah satunya bertoleransi.  "Bagaimana negara memposisikan agama dan bagaimana agama menempatkan negara adalah masalah utama penyebab kenapa Indonesia tak bisa bersatu" (Nusron Wahid, S.S., M.E.). Hal ini yang melatarbelakangi mengapa kita (generasi muda) wajib membangun persatuan dan kesatuan dengan merubah sikap, mental, dan pola pikir kita terhadap perbedaan demi terwujudnya Indonesia yang lebih maju.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara kita memelihara Kebhinnekaan Tunggal Ika di era reformasi. Sebuah pertanyaan yang dapat dijawab hanya dengan satu kata, yaitu berpikir dan beraksi. Ya, benar itulah yang harus kita lakukan demi menjaga persatuan. Berpikir kritis, berpikir panjang, berpikir rasional, berpikir realistis. Setelah berpikir, tuangkanlah ide-idemu itu ke dalam suatu aksi yang nyata dan berguna demi masyarakat. Layaknya "paradigma pedagogi reflektif" semua dimulai dari pengalaman yang kita renungkan (berpikir) kemudian melakukan aksi berdasarkan hasil refleksi dan terakhir melakukan evaluasi kegiatan tersebut. Sesimpel itu teorinya, namun yang menjadi tantangan adalah melakukannya secara konkret. 

Saya bisa sarankan yaitu, sebagai generasi muda kita wajib berpikir kritis dalam menanggapi hal-hal yang berbau politik, kita harus tahu bahwa politics exists as a part of common interest and not personal, karena banyak oknum-oknum yang memelintir isu SARA demi politik. Dua, berpikir panjang terhadap sesuatu yang kita lakukan, akankah hal yang kita lakukan memberikan dampak positif atau negatif. Tiga, berpikir rasional dan realistis, dengan kata lain sebelum melakukan sesuatu pastikan hal itu menguntungkan kita dan tidak merugikan orang lain. Keempat, eksekusilah hal yang kamu sudah pikirkan matang-matang, misalnya Kanisius x Al-Izhar yang melakukan kampanye pro pluralisme melalui gerakan RagaMuda. Tidak sulit bukan untuk menjaga kebhinekaan di era modern ini ?    

Tak ada  sesuatu yang bebas hambatan, jalan tol yang katanya bebas hambatan saja kadang suka macet, begitu juga dengan usaha kita menjaga kebhinekaan tentu saja akan banyak menemukan tantangan. Berkembangnya sektarianisme menjadi tantangan terberat. Sektarianisme adalah bigotri, diskriminasi atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu kelompok, seperti perbedaan denominasi agama atau fraksi politik (Wikipedia), sebagai contoh dalam agama Islam, konflik antara Sunni dan Syiah merupakan contoh konflik sectarian, yang mana konflik sectarian biasanya berujung pada konflik kekerasan religious seperti yang terjadi di Irlandia Utara antara Katolik dan Protestan. Menguatnya radikalisme agama yang memiliki paham monolitik juga menjadi tantangan bagi kita, sebagai contoh adalah ISIS (Negara Islam Irak dan Syam) yang menjadi terror bagi seluruh warga dunia akhir-akhir ini. Terakhir, seperti yang saya katakan di paragraf tiga yaitu, politisasi terhadap isu SARA demi kepentingan elit politik. Ketiga hal ini yang patut kita lewati demi menjaga kebhinekaan.

Meredam ancaman kebhinekaan merupakan hal selanjutnya yang kita harus lakukan. Bangunlah kepercayaan (trust building) seperti yang dikatakan oleh Nusron Wahid menjadi kunci penting untuk meredam ancaman. Apabila kita saling percaya maka kecurigaan tidak akan muncul sehingga kita tidak perlu saling mengancam untuk mendapatkan apa yang kita mau. Berpikiran moderat juga menjadi peredam yang baik, karena akan mendorong munculnya paham yang menerima perbedaan atau pluralisme, sehingga ancaman-ancaman terhadap kebhinnekaan akan berkurang.

Kesimpulannya, saat ini Indonesia sedang dilanda krisis mental, khususnya sikap toleransi. Hal ini muncul akibat kurangnya pendidikan dan pembangunan karakter dalam masyarakat. Krisis mental mengarahkan Indonesia menjadi negara yang stagnan dan tidak berkembang atau diam di tempat saja, sehingga masalah ini harus segera diselesaikan agar Indonesia bisa kembali menatap masa depannya yang cerah itu. Saran saya adalah dengan menggencarkan character building yang mengajarkan sikap-sikap kebhinekaan yaitu, bersikap moderat dan seimbang. Dua, bersikap toleran terhadap perbedaan. Terakhir, memberikan kebebasan yang bertanggungjawab terhadap perserta didik. Sekian yang dapat saya sampaikan sebagai manifestasi dari buah pikir saya. Terimakasih.

Belajar matematika dengan Adi
Pusing berkutat dengan angka
Berpikir kritislah engkau muda mudi
Demi Indonesia yang lebih bhinneka

#b e r s a m a  m e r a w a t  p e r b e d a a n

-Giovanni Satrio Putra-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun