Mohon tunggu...
gina naswa
gina naswa Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN STS Jambi

Infj

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

KKN Bukan Sekadar Kewajiban: Menggali Makna Pengabdian Mahasiswa di Tengah Masyarakat.

26 Agustus 2025   10:00 Diperbarui: 27 Agustus 2025   20:03 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto bersama dengan DPL (dosen pembimbing lapangan)

KKN Bukan Sekadar Kewajiban: Menggali Makna Pengabdian Mahasiswa di Tengah Masyarakat.

Nama: Ghina Nasywa (403220002)
DPL: Yenti, S.S., M.Pd.

Kuliah Kerja Nyata (KKN) sering kali dianggap sebagai salah satu mata kuliah wajib yang harus dijalani mahasiswa untuk bisa lulus. Tak sedikit mahasiswa yang mengeluh saat mendengar kata “KKN”—membayangkan lelah, panas, jauh dari rumah, dan serangkaian aktivitas yang kadang terasa membosankan. Saya pun dulu sempat memiliki pandangan serupa: KKN hanyalah rutinitas, formalitas akademik, dan sekadar program kampus yang harus dijalani.

Namun, pandangan itu berubah total ketika saya benar-benar menjalani KKN Mandiri selama enam minggu di Desa Simpang Sungai Duren Kecamatan Jambi Luar Kota. Dari minggu pertama hingga minggu keenam, saya menyadari bahwa KKN jauh lebih dari sekadar kewajiban. Ia adalah ruang belajar yang sesungguhnya—ruang untuk memahami kehidupan masyarakat, ruang untuk menguji diri, dan ruang untuk mengabdi dengan cara yang paling sederhana sekalipun.

Dari Minggu ke Minggu: Cerita yang Mengubah Pandangan

Perjalanan KKN biasanya berlangsung singkat, hanya sekitar satu hingga dua bulan. Namun, dalam waktu sesingkat itu, mahasiswa justru bisa mendapatkan pengalaman yang tak ternilai. Begitu pula dengan saya.

- Minggu pertama: kami berkenalan dengan perangkat desa, mengikuti rapat, dan mulai menyesuaikan diri. Suasana penuh keramahan warga membuat saya tersadar bahwa pengabdian dimulai dari hal sederhana: membangun kepercayaan.

Membagikan sembako untuk warga yang terkena banjir di Desa Simpang Sungai Duren.
Membagikan sembako untuk warga yang terkena banjir di Desa Simpang Sungai Duren.

- Minggu kedua: kami mulai terjun lebih dalam, mendampingi anak-anak belajar mengaji, membantu administrasi, dan memasak bersama warga. Kegiatan ini memberi pelajaran bahwa pengabdian tidak harus muluk, tapi bisa lahir dari kebersamaan sehari-hari.

Mengajar ngaji anak-anak di RT 06.
Mengajar ngaji anak-anak di RT 06.

Memasak bersama warga dalam rangka menyiapkan makan untuk bapak-bapak yang gotong royong.
Memasak bersama warga dalam rangka menyiapkan makan untuk bapak-bapak yang gotong royong.
- Minggu ketiga hingga kelima: kami melakukan kegiatan gotong royong, membersihkan masjid, menanam pohon, hingga sosialisasi ke rumah-rumah warga. Dari sini saya belajar tentang pentingnya kolaborasi dan keberlanjutan. Apa yang ditanam hari ini bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga tentang menanam harapan bagi generasi berikutnya.

Penanaman lengkuas di toga Desa Simpang Sungai Duren 
Penanaman lengkuas di toga Desa Simpang Sungai Duren 

- Minggu keenam: bertepatan dengan Hari Kemerdekaan, kami ikut memeriahkan lomba 17 Agustusan. Momen ini mengajarkan bahwa kebersamaan bisa terjalin tidak hanya lewat pekerjaan, tetapi juga lewat perayaan dan keceriaan.

Perlombaan 17 Agustus 
Perlombaan 17 Agustus 

Dari minggu ke minggu, saya mulai melihat KKN bukan sebagai “beban akademik”, melainkan sebagai catatan perjalanan hidup yang sarat makna.

Mengapa KKN Masih Penting di Era Serba Digital?

Sebagian orang mungkin bertanya: apakah KKN masih relevan di era modern, ketika mahasiswa sudah bisa belajar banyak hal lewat internet? Bukankah masyarakat desa pun kini mulai akrab dengan teknologi?

Menurut saya, KKN justru semakin penting di era digital. Dunia digital sering kali membuat kita terjebak dalam “gelembung” yang penuh dengan informasi cepat, tetapi miskin interaksi nyata. Mahasiswa bisa pintar berdiskusi di forum daring, bisa kritis di media sosial, tetapi sering kali gagap ketika harus menghadapi masalah langsung di lapangan.

KKN adalah jembatan untuk keluar dari gelembung itu. Dengan KKN, mahasiswa dipaksa untuk:

1. Menyentuh realitas nyata:  belajar langsung dari masyarakat, bukan sekadar dari teori atau berita.

2. Mengasah empati: memahami kesulitan warga, bukan hanya lewat data, tapi lewat cerita dan tatapan mata.

3. Mengaplikasikan ilmu:  menjembatani teori kampus dengan kebutuhan masyarakat, entah itu lewat sosialisasi kesehatan, edukasi lingkungan, atau sekadar bimbingan belajar.

Di sinilah KKN menemukan relevansinya: ia menyeimbangkan kecerdasan digital mahasiswa dengan kearifan sosial yang lahir dari interaksi nyata.

Tantangan Nyata dalam Pelaksanaan KKN

Meski bermanfaat, saya juga melihat bahwa KKN masih memiliki tantangan besar. Beberapa di antaranya:

1. Keterbatasan fasilitas dan dana

   Tidak semua mahasiswa memiliki dukungan yang cukup, apalagi dalam KKN Mandiri. Ada yang harus mengeluarkan biaya pribadi, ada yang kesulitan transportasi, bahkan ada yang terpaksa membagi waktu dengan pekerjaan paruh waktu.

2. Kurangnya perencanaan program

   Di beberapa kasus, kegiatan KKN hanya diisi dengan aktivitas rutin tanpa dampak jangka panjang. Misalnya, sekadar mengajar sehari, membersihkan lingkungan sekali, lalu berhenti. Padahal, seharusnya program KKN dirancang sesuai kebutuhan masyarakat.

3. Kurangnya pembekalan mahasiswa

   Banyak mahasiswa yang turun ke lapangan tanpa persiapan yang matang. Akibatnya, kegiatan jadi tidak maksimal dan mahasiswa kesulitan beradaptasi dengan warga.

4. Kurangnya monitoring dari kampus

   KKN sering kali dianggap selesai begitu mahasiswa turun ke lapangan. Padahal, monitoring dan evaluasi yang intensif justru diperlukan agar kegiatan lebih terarah.

Tantangan ini menunjukkan bahwa meskipun KKN punya nilai besar, pelaksanaannya masih harus banyak dibenahi. 

KKN Sebagai Investasi Sosial dan Karakter

Meski penuh keterbatasan, saya tetap percaya KKN adalah investasi sosial yang sangat berharga. Investasi ini tidak selalu terlihat hasilnya secara langsung, tetapi dampaknya bisa bertahan lama.

- Bagi masyarakat, kehadiran mahasiswa bisa memberi warna baru: anak-anak desa mendapatkan bimbingan belajar, warga mendapat teman diskusi, lingkungan lebih terawat, dan masjid lebih bersih.

- Bagi mahasiswa, KKN menanamkan karakter: kesabaran, kerendahan hati, kepemimpinan, dan kemampuan bekerja sama. Ini semua adalah soft skill yang tidak diajarkan dalam kelas, tetapi dibutuhkan di dunia kerja maupun kehidupan nyata.

Saya meyakini, bahkan jika hanya satu anak desa yang termotivasi untuk lebih giat belajar karena bimbingan mahasiswa, itu sudah menjadi keberhasilan. Pengabdian tidak diukur dari seberapa besar program, tetapi dari seberapa tulus niat kita melakukannya.

KKN yang Seharusnya

Lalu, bagaimana seharusnya KKN di masa depan? Menurut saya, ada beberapa hal penting:

1. Program berbasis kebutuhan masyarakat

   Kampus harus turun mendengar aspirasi warga sebelum mahasiswa diterjunkan. Dengan begitu, program yang dibuat benar-benar menyentuh persoalan nyata, bukan sekadar formalitas.

2. Pembekalan yang memadai

   Mahasiswa perlu dilatih, baik soal komunikasi sosial, manajemen program, maupun keterampilan teknis. Ini akan membuat mereka lebih siap dan percaya diri.

3. Monitoring dan evaluasi yang ketat

   KKN tidak boleh dilepaskan begitu saja. Kampus harus terus mendampingi, memantau, dan mengevaluasi agar program tepat sasaran.

4. Kolaborasi lintas disiplin

   Mahasiswa dari berbagai jurusan sebaiknya digabung dalam satu tim. Dengan begitu, masalah di desa bisa diselesaikan dengan pendekatan multidisipliner.

Jika hal-hal ini diperhatikan, saya yakin KKN akan semakin kuat, bukan hanya sebagai kewajiban akademik, tetapi sebagai model pendidikan karakter yang nyata.

Lebih dari Sekadar Kewajiban

Enam minggu KKN Mandiri telah mengajarkan saya bahwa pengabdian bukanlah hal besar yang harus selalu spektakuler. Ia bisa hadir dalam bentuk sederhana: senyum anak-anak saat belajar, sapaan warga yang ramah, atau tangan-tangan yang bekerja sama membersihkan masjid.

KKN memang hanya satu mata kuliah, tetapi bagi saya ia adalah pengalaman hidup. Ia mengingatkan bahwa ilmu tidak boleh berhenti di kampus, tetapi harus bermanfaat untuk masyarakat.

Karena itu, saya berpendapat bahwa KKN seharusnya tidak dipandang sekadar kewajiban untuk lulus, melainkan sebagai ruang pembelajaran karakter dan pengabdian yang sesungguhnya. Perguruan tinggi harus terus mempertahankannya, bahkan memperkuatnya.

Jika mahasiswa ingin disebut agen perubahan, maka KKN adalah titik awal di mana perubahan itu dilatih dan ditempa. Dari desa kecil tempat kami mengabdi, saya belajar: ilmu menemukan makna sejatinya ketika dipertemukan dengan pengabdian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun