Mohon tunggu...
Gilang Sunu Aditya Putra
Gilang Sunu Aditya Putra Mohon Tunggu... Guru - Guru Kejuruan Manajemen Perkantoran dan Layanan Bisnis

Menulis dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cetik Cetok Lato-Lato: Belajar dan Berbudaya Masa Kini

17 April 2023   23:12 Diperbarui: 17 April 2023   23:08 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tanggal 18 Maret 2020, Pemerintah memberikan informasi kepada seluruh peserta didik diseluruh penjuru Nusantara untuk menunda pelaksanaan Ujian Nasional pada jenjang SMA/SMK/MA/ sederajat. Mengapa demikian, ada apakah gerangan?. Ternyata pemerintah memutuskan untuk melaksanakan pembelajaran secara daring (dalam jaringan) di rumah dikarenakan adaya bencana non alam yang melanda seluruh dunia berupa Pandemi Covid–19. Hal tersebut lalu berlanjut dengan pelaksanaan Ujian Nasional pada jenjang SMP, dan jenjang Sekolah Dasar yang pada saat itu menggunakan istilah Ujian Sekolah Berstandar Nasional, yang sama-sama ditunda pelaksanaannya. Apakah seluruh peserta didik pada saat itu merasa gembira?. Ada yang merasa lega karena persiapan untuk menghadapi Ujian Nasional belum terlalu matang, menganggap bahwa waktu belajar yang diberikan menjadi lebih banyak. Ada juga yang merasa kesal, karena sudah mempesiapkan secara matang segala sesuatunya untuk menghadapi Ujian Nasional tersebut, ada juga yang merasa biasa saja karena masa “libur” yang diberikan oleh Pemerintah hanya dua minggu.  Bagaimana jika ternyata dua minggu itu berubah menjadi dua tahun?.

Berbicara mengenai rencana pelaksanaan pembelajaran secara jarak jauh yang awalnya direncanakan hanya berlangsung selama dua minggu, ternyata pada kenyataannya berlangsung selama kurang lebih dua tahun. Tidak hanya Ujian Nasional saja yang menjadi batal pada saat itu, namun beberapa agenda kegiatan rutin di sekolah seperti acara perpisahan, acara perayaan hari besar keagamaan, upacara bendera, pentas seni atau bahkan kegiatan rutin yang setiap harinya dilakukan yaitu proses belajar mengajar di sekolah untuk menimba ilmu dan bertemu dengan Guru serta teman-teman di sekolah yang semuanya bersifat tatap muka dan melakukan interaksi secara langsung satu sama lain, menjadi hilang bagai ditelan bumi selama dua tahun. Keadaan pendidikan di Indonesia, bahkan diseluruh dunia dipaksa harus dengan cepat dan mau tidak mau mengikuti situasi dan kondisi tersebut. Larangan berinteraksi secara langsung di luar rumah membuat seluruh elemen Pendidikan mulai dari Pemerintah, Kepala Sekolah, Guru, Peserta Didik sampai dengan Orang tua murid, harus mau bergerak cepat dan melakukan penyesuaian secara instan serta mengubah pembiasaan kegiatan belajar mengajar di sekolah yang biasanya dilakukan secara langsung (tatap muka) menjadi pembelajaran jarak jauh yang berlangsung secara tatap maya. Apakah ini mudah dilakukan oleh semua elemen pendidikan yang meliputi Pemerintah, Kepala Sekolah, Guru, Peserta Didik sampai dengan Orang tua murid ? Tentu tidak!

Pada awal pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) terjadi banyak sekali kendala, mulai dari Guru yang gagap teknologi (gaptek) sehingga tidak dengan mudah dan cepat melakukan perubahan tersebut, atau dari segi peserta didik yang tidak didukung dengan gawai untuk peroses belajar mengajar secara jarak jauh, atau tidak adanya dukungan dan pengawasan dari orang tua selama peserta didik melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di rumah. Selain itu kesiapan dari pelaksanaan PJJ yang dinilai sangat kurang baik dari segi Guru maupun peserta didik membuat proses PJJ kurang dapat berjalan dengan baik sebaik poses pembelajaran secara tatap muka di sekolah.

Beberapa akibat yang ditimbulkan dari proses PJJ tersebut diantaranya adalah, menurunnya semangat belajar peserta didik dikarenakan proses pembelajaran yang monoton dari Guru, selain itu banyak sekali peserta didik kususnya pada jenjang Sekolah Dasar (SD) yang baru saja masuk di kelas 1 (satu) merasa kesulitan untuk melakukan penyesuaian proses pembelajaran. Tidak hanya itu, masalah lain juga terjadi pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dimana prosentase pembelajaran praktik sebesar 80%, dan itu tidak dengan serta merta dapat dilaksanakan jika pembelajaran berlangsung secara virtual, dan banyak masalah lainnya. Beberapa temuan tersebut akhirnya mengerucut pada istilah Learning Loss, yaitu ketidakmampuan peserta didik untuk menangkap materi yang disampaikan oleh Guru secara menyeluruh sehingga esensi dari materi yang disampaikan tidak dapat terserap oleh peserta didik (hilang).

Berbagai upaya dan inovasi pun terus dilakukan oleh Pemerintah terkait hal tersebut, dan berusaha sebisa mungkin meskipun pelaksanaan belajar mengajar dilaksanakan secara tatap maya, namun tetap memiliki hasil yang setidaknya tidak terlalu jauh dengan pembelajaran tatap muka secara langsung di sekolah. Berbagai macam pelatihan secara virtual juga senantiasa dilaksanakan oleh Pemerintah kepada Guru agar tetap bisa melaksanakan peses pembelajaran jarak jauh yang menyenangkan dan bermakna bagi peserta didik. Selain itu, inovasi juga senantiasa dihasilkan oleh Guru di Indonesia untuk mengatasi keterbatasan penyampaian materi yang dilaksanakan secara daring atau dalam jaringan. Salah satunya adalah pembelajaran dengan cara optimalisasi gawai yang dimiliki oleh peserta didik dan juga pengguaan media sosial serta aplikasi lain yang dinilai mudah dalam penggunaannya untuk pelaksanaan PJJ. Kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan aplikasi Zoom atau Google Meet, atau mungkin Google Classroom yang biasa digunakan oleh Guru untuk menyampaikan materi dan pengumulan tugas dari para peserta didik. Selain itu, inovasi lain yang digunakan oleh Guru yaitu penggunaan aplikasi media sosial seperti Instagram dimana biasanya Guru menggunakan menu Live Instagram untuk menjelaskan materi pada peserta didik atau biasanya Guru juga mengunggah vidio pembelajaran melalui kanal YouTube serta meminta peserta didik untuk mengunggah hasil vidio yang dibuatnya. Selain itu yang sampai sekarang masih terus digunakan dan bahkan dinilai mendapat respon positif, yaitu aplikasi TikTok.

TikTok merupakan salah satu media sosial yang tadinya dinilai oleh sebagian besar masyarakat memiliki dampak negatif yang lebih besar dari pada dampak positif. Hal tersebut dikarenakan adanya stigma dari masyarakat yang menganggap bahwa TikTok itu hanya sekadar media sosial yang digunakan untuk joget. Padahal jika dimanfaatkan lebih optimal, banyak sekali fitur dan juga dampak positif yang dapat tersampaikan oleh TikTok tersebut, diantaranya seperti melatih para peserta didik dan Guru untuk membuat dan berinovasi mengenai konten edukasi yang tidak hanya mendidik tapi juga menghibur sehingga ketika digunakan sebagai salah satu media pembelajaran, peserta didik merasa senang dan tidak bosan dalam menggunakannya. Kehadiran aplikasi TikTok juga disambut dengan baik oleh Kemendikbudristek dengan program yang diberi nama #SamaSamaBelajar. Program #SamaSamaBelajar yang diluncurkan pada tahun 2021 tesebut bertujuan untuk memberikan akses dan kesempatan yang sama kepada siapapun untuk belajar dan berbagi inspirasi kepada masyarakat melalui konten edukasi TikTok.

Seiring dengan berjalannya waktu serta keadaan Pandemi yang sudah mulai mereda, maka pemerintah juga mulai berangsur-angsur uuntuk kembali melaksanakan pembelajaran secara tatap muka. Melihat gragfik perkembangan Covid-19 yang mulai menurun dan juga himbauan dai pemerintah, maka proses pembelajaran dilaksanakan tidak lagi secara PJJ, namun secara Tatap Muka Terbatas. Pembelajaran Tatap Muka Terbatas tersebut masih harus mempehatikan prokes, seperti menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker. Mulai tahun ajaran 2022/2023, proses pembelajaran tatap muka terbatas sudah berubah menjadi proses pembelajaran tatap muka menyeluruh. Artinya, peserta didik dan guru sudah diperbolehkan lagi untuk melaksanakan proses belajar mengajar di kelas secara langsung, dan disertai juga dengan pelaksanaan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM).

Adanya Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) dimana dalam pelaksanaannya, pemerintah membebaskan satuan pendidikan (sekolah) untuk memilih metode dari Implementasi Kurikulum Merdeka, yakni mandiri belajar, mandiri berubah, dan mandiri berbagi. Selain itu dalam IKM itu sendiri sering kali kita dengar istilah Merdeka Mengajar, Merdeka Belajar, dan Merdeka Berbudaya. Hal tersebut bukan sekadar istilah semata yang tidak bemakna. Merdeka Mengajar, Guru diberikan keleluasaan untuk menjadi sutradara terbaik pada saat proses pembelajaran. Mengapa Saya katakan bahwa Guru merupakan sutradara dalam proses pembelajaran?. Karena disini Guru mempunyai porsi yang besar untuk dapat merancang skenario pembelajaran mulai dari menentukan metode mengajar yang akan digunakan, kemudian media pembelajaran apa yang nantinya dapat menunjang dalam proses pembelajaran tesebut, straegi pembelajaran yang seperrti apa yang akan dilakukan, sampai dengan proses evaluasi yang akan dipilih. Terdengar menyenangkan bukan jika Guru diberikan keleluasaan untuk menjadi sutradara terbaik pada proses pembelajaran yang dilakukannya, tanpa harus tersekat oleh aturan harus mengikuti materi yang ada dalam buku panduan atau diktat?. Kemudian bicara mengenai Merdeka Belajar, Guru dan Peserta didik sama-sama memiliki peran sebagai manusia yang memiliki kodrat belajar sepanjang hayat. Jadi menurut Saya, merdeka belajar disini tidak hanya berlaku untuk peserta didik saja, namun juga untuk Guru. Keduanya dapat berkolaborasi dalam proses pembelajaran, sehingga nantinya proses pembelajaran bersifat dua arah, saling mengisi dan tidak ada lagi sistem dikte di dalam proses pembelajaran tersebut, dimana peserta didik hanya disuapi oleh materi dari Guru dan tidak diberikan kesempatan untuk mencari serta mengeksplore sumber belajar yang lain dan mendiskusikannya dengan Guru. Kemudian istilah yang terakhir adalah Merdeka Berbudaya. Salah satu keunggulan dari pembelajaran secara langsung dibandingkan dengan PJJ yaitu adanya nilai Budaya yang dapat dicontohkan langsung oleh Guru dan diaplikasikan langsung oleh para peserta didik. Apakah konteks Budaya disni hanya soal adat istiadat dan kebiasaan serta budaya lokal dari suku bangsa yang ada di Indonesia? Tentu tidak, Saya memaknani Merdeka Berbudaya ini lebih kepada bagaimana Guru dapat mengenalkan Budaya masyarakat Indonesia kepada para peserta didik seperti sopan santun, gotong royong, mandiri dan juga kreatif.

 Proses belajar mengajar di sekolah sudah mulai kembali normal, peserta didik dan guru sudah tidak lagi dipaksa untuk melakukan penyesuaian dan berinovasi dengan cepat. Semua kebiasaan pada saat PJJ masih dapat dipergunakan dalam proses pembelajaran secara tatap muka, bahkan menambah pengetahuan dan juga pengalaman belajar yang baru teerlebih tentang bagaimana memanfaatkan teknologi untuk proses pembelajaran sehingga proses pembelajaran menjadi lebih mudah, bermakna dan menyenangkan. Kita tidak perlu membuang kemampuan untuk penggunaan teknologi selama masa PJJ berlangsung kemarin, justru dari sana kita dapat belajar banyak hal. Salah satu hikmah yang bisa diambil dari semua itu adalah, adanya pembiasaan Guru dan juga peserta didik yang menggunakan gawai dan juga aplikasi berbasis teknologi, sehingga memudahkan proses Merdeka Belajar dan Berbudaya yang sekarang mulai digencarkan. Seperti halnya permainan Lato-lato yang belakangan ini sempat gencar karena suara Cetak- Cetok yang dihasilkan sangat tidak ramah dan cenderung mengganggu ketenangan seseorang. Lato-lato merupakan permainan tradisional yang sudah lama ditinggalkan kemudian mulai muncul kembali akhir-akhir ini.

Jika ditelisik kembali dan mengambil makna positif dari permainan lato-lato, bahwa permainan lato-lato memiliki hal positif, salah satunya adalah pada saat seseorang bermain lato-lato. Kedua bola (bandul) harus bergerak dan menyesuaikan kekuatan hentakan agar bola dapat berbunyi. Aktivitas tersebut ternyata dianggap dapat melatih gerak motorik seseorang, karena mata dan tangan harus saling malakukan koordinasi. Namun memang tidak dapat dipungkiri juga bahwa permainan ini jika tidak mendapatkan pengawasan yang cukup dari orang tua maka akan bedampak buruk, seperti suara yang ditimbulkan mengganggu orang lain, bola atau bandul dari lato-lato yang keras jika terkena mata atau anggota tubuh lain akan sangat berbahaya. Perlunya penerapan Merdeka Berbudaya disini dalam permainan lato-lato, dimana budaya menghargai orang lain, kemudian budaya manajemen waktu untuk memilah dan memilih waktu yang tepat saat memainkan lato-lato dapat dimasukan di dalamnya. Serta implementasi dari nilai Merdeka Berbudaya seperti kebersamaan. Pada saat memainkan lato-lato, biasanya dilakukan secara berkumpul sehingga tercipta interaksi antara satu orang dengan orang lainnya, dan sejenak dapat melupakan anak dari kebiasaan penggunaan gadget.

Suara lato-lato yang biasa kita dengar biasanya berbunyi cetak-cetok, namun disini dalam implementasi Merdeka Belajar dan Berbudaya, Saya sedikit merubah istilah cetak-cetok menjadi CeTIK CeTok Lato- Lato. TikTok dan Lato – Lato merupakan dua hal yang menjadi kontroversi pada awal kemunculan di tengah masyarakat. Namun ternyata, melalui dua hal tersebut jika dapat dioptimalkan dengan baik dan melihat hal positif di dalamnya, maka dapat sebagai media untuk implementasi dari Merdeka Belajar dan Berbudaya. Berapa anak bangsa yang sekarang memiliki penghasilan dari hasil pembuatan konten di TikTok?. Berapa banyak juga anak bangsa yang sekarang mulai berani untuk Belajar dan menjadi lebih kreatif karena aplikasi TikTok tersebut?. Saya juga merasa yakin, sudah banyak masyarakat yang menganggap aplikasi TikTok sebagai salah satu media mencari informasi positif dan belajar hal baru, serta sudah berapa banyak para afiliator TikTok yang berhasil menjadi enterpreneur dan memanfaatkan TikTok sebagai media untuk berjualan dan berwirausaha?. Lalu, berapa banyak kemarin kita lihat kebersamaan anak-anak dan juga kebiasaan mereka yang biasanya asyik sendiri dengan gawaai yang mereka punya saat berkumpul, kini tertawa bersama teman-temannya untuk bermain bersama menggerakan lato-lato?. Serta berapa banyak orang tua yang kini lebih peduli untuk mengawasi keberadaan anak-anaknya pada saat bermain lato-lato, terkait kejadian yang kurang menyenangkan akibat memainkan lato-lato?. Sebagai seorang Guru, tugas Saya tidak hanya mendidik peserta didik Saya saja namun juga menciptakan suasana Merdeka Belajar dan Berbudaya menggunakan hal-hal terdekat dengan kehidupan kita, yang selama ini tidak kita sadari.

Gilang Sunu Aditya Putra

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun