Tidak terasa kita sudah berada di 2/3 bulan Ramadan. Selama 20 hari ke belakang ini banyak hal yang dilakukan di suasana puasa. Mulai dari sahur, war takjil, bukber bersama kawan lama, tarawih, hingga mencari baju baru untuk persiapan hari raya.
Nah, di 10 hari terakhir ini biasanya akan jauh lebih berkesan karena orang-orang mempersiapkan diri untuk mudik ke kampung halaman. Liputan mudik pun akan menghiasi berita televisi hingga sosial media.
Mudik yang banyak dilakukan orang umumnya menggunakan kendaraan pribadi hingga umum. Kendaraan pribadi dengan motor atau mobil, sementara kendaraan umum meliputi bus, kereta api, hingga pesawat.
Kita tentu paham bahwa lonjakan arus pemudik di momen lebaran akan meningkat drastis yang menyebabkan titik-titik tertentu jadi macet parah. Dan jelas, ini disebabkan oleh kendaraan pribadi.
Meningkatnya jumlah pemudik ini kemudian memberikan efek yang cukup berpengaruh bagi lingkungan, yaitu meningkatnya juga karbon dioksida yang dihasilkan oleh kendaraan.
Jika dilihat dari sisi lingkungan, tentu ini hal yang tidak baik karena jika dibiarkan terus menerus udara yang kita hirup akan semakin kotor dan berpengaruh pada kesehatan pernapasan.
Inilah kenapa pentingnya untuk menerapkan prinsip hijau termasuk ketika kita mudik. Mudik hijau ini dilakukan untuk mengurangi karbon dioksida di udara demi menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat.
Sekarang dengan melihat arus mudik yang didominasi oleh kendaraan pribadi, bisa terbayang berapa banyak karbon dioksida yang dikeluarkan, bukan? Dengan kondisi ini bisa digambarkan bahwa momen-momen mudik ini memang jadi puncak pengeluaran karbon dioksida dari kendaraan.
Untuk menciptakan mudik hijau yang meminimalisir pengeluaran karbon dioksida, sebenarnya bisa beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan publik/umum seperti bus, kereta api, pesawat yang memang memuat banyak penumpang.
Tapi nyatanya realita di lapangan tidak semudah itu. Orang-orang masih nyaman bermacet-macetan meski dalam waktu lama dengan kendaraan pribadi bersama keluarga.
Di satu sisi, mungkin pengalaman seperti ini memang jarang didapat sehingga beberapa orang tetap enjoy terjebak lama di perjalanan. Namun di sisi lain juga, memang kendaraan pribadi lah satu-satunya jalan untuk pergi mudik karena transportasi publik belum mendukung sepenuhnya ke semua daerah.
Hal ini  jadi dilema tersendiri untuk menciptakan mudik hijau dalam rangka mengurangi karbon dioksida dengan keadaan transportasi publik yang belum sempurna. Masih banyak daerah yang belum bisa dilewati oleh transportasi publik sehingga ujung-ujungnya kembali ke kendaraan pribadi.
Belum lagi juga permasalahan mendapat tiket pulang yang harus 'war' dengan pemudik lainnya, menjadikan banyak orang justru tidak kebagian tiket. Ini jadi faktor lain beberapa orang menyerah menggunakan kendaraan umum dari berbagai jenis. Sekalipun memang ada yang pas di perjalanan, kadang harganya lebih mahal dan menjadikan opsi kendaraan pribadi dipilih kembali dengan pertimbangan biaya yang lebih hemat.
Di sinilah seharusnya pembedahan transportasi publik, khususnya pada momen hari raya, lebih diperhatikan agar memberikan efek jangka panjang yang baik untuk lingkungan. Seperti menambah armada, jalur, rangkaian gerbong, hingga pemberhentian baru di titik yang sebelumnya belum ada.
Upaya ini memang akan lebih cepat dilakukan oleh pengelola daerah yang berwenang. Kita sebagai masyarakat pun tentu ingin melakukan mudik yang bebas dari karbon dan tetap nyaman menggunakan kendaraan umum.
Dari sisi pengguna inilah kita juga harus bisa lebih bijak dalam memikirkan mudik ini. Jika memang masih ada waktu kosong baik sebelum ataupun sesudah hari raya, hendaklah memilih momen yang masih kosong. Hal ini bisa meminimalisir kemacetan hingga keberadaan karbon yang ada di udara.
Dengan langkah ini juga secara tak langsung kita bisa lebih peduli pada diri sendiri karena selain memberi kenyamanan saat mudik, bisa juga mengurangi polusi udara yang ada.
Semoga juga dari pihak pemerintah setempat pun bisa lebih memperhatikan permasalahan ini agar kondisi udara, khususnya di kota-kota besar, bisa dikurangi. Apalagi jika melihat jangka panjang dengan kondisi seperti ini, tidak menjanjikan udara yang kita hirup akan sepenuhnya bersih.
Nah, Kompasianer, itu tadilah sedikit ulasan mengenai mudik hijau yang berbenturan langsung dengan transportasi publik yang belum memadai. Untuk kalian yang akan menjalankan mudik nanti, tetap stay safe dan jaga lingkungan ya.
Akhir kata, see ya! Sampai jumpa do tulisan selanjutnya.
-M. Gilang Riyadi, 2025-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI