Ketika kuliah saya pernah berjualan makanan untuk dijual ke teman-teman kampus, khususnya di waktu sarapan. Menu yang saya buat biasanya ada mi goreng, nasi goreng, hingga spageti. Semua menu ini saya buat selalu dengan bantuan Ibu. Biasanya kami berdua bangun jam 4 pagi untuk mempersiapkan semuanya, mengingat jam 6 pagi saya sudah harus berangkat ke kampus agar tidak kena macet.
Lalu saat ibu telah tiada, saya tidak kesulitan lagi untuk menyesuaikan menu di dapur. Semua yang telah diajarkan Ibu saya praktekan untuk membuat sajian di meja makan untuk keluarga. Dipikir-pikir pun, daripada beli masakan yang sudah jadi di luar, lebih hemat memasak sendiri.
Saya pun sudah hapal dengan harga bahan pokok di pasaran, jadi kadang suka pilih-pilih kalau mau belanja. Ah, belinya di supermarket aja lagi promo. Kalau ini di tukang sayur aja biar murah. Kalau ayam jangan beli di sini, mahal. Dengan cara ini pun akhirnya saya bisa lebih menghemat anggaran, hehe.
Kalau Ibu masih ada, pasti ia akan sangat bangga melihat anak laki-lakinya bisa jago masak. Ya nggak jago-jago amat sih sebenarnya. Tapi setidaknya aku bisa membuat menu-menu baru dengan bermodalkan resep di YouTube untuk membuat hidangan tidak membosankan di meja makan.
Di tulisan ini juga aku ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Ibu. Bukan hanya karena telah melahirkan dan merawatku, tapi juga karena menjadi sosok inspiratif yang berhasil memberikan ilmu yang sangat mahal dan tak bisa sembarang orang dapatkan.
Aku juga jadi sadar bahwa memasak ini bukan sebuah kegiatan yang harus terfokus pada gender, melainkan sebuah basic skill yang akan sangat membantu kehidupan di manapun itu.
Sekian diary tulisan ini aku buat.Â
Sekali lagi, terima kasih Ibu.
I love you in every universe...