Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Bukan Orang Ketiga

16 Juni 2020   08:49 Diperbarui: 28 Juni 2020   17:23 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemakaman | Photo by Rhodi Lopez on Unsplash (unsplash.com/@20164rhodi)

Ayah meninggalkan dunia ini dua tahun lalu, membuat Ibu terpukul yang tak berhenti menangis ketika tubuh itu tertimbun tanah. Di pemakamannya saat orang-orang mengenakan pakaian serba hitam, tidak ada kesedihan dalam diri ini. Aku hanya memeluk Ibu, berusaha memberi ketenangan agar air matanya berhenti mengalir.

Lain halnya dengan dua anak Ayah yang lain, Gian dan Rachel. Kakak adik yang berbeda usia 5 tahun itu terus terduduk di tanah sambil memegang nisan kayu bertuliskan nama Ayah dengan air mata yang tak kalah derasnya dengan Ibu. Wajar saja, mereka kan anak kesayangan Ayah.

Mungkin aku memang orang yang tak punya hati. Bahkan ketika pria itu --yang lagi-lagi harus kupanggil Ayah-- mengembuskan napas terakhirnya di rumah sakit, aku justru merasa tenang. Dia tidak lagi merasa sakit, bukan? Yang artinya telah terbebas dari segala penderitaan.

Tapi sikap keluarganya tidak pernah bersahabat, terutama dua anaknya tadi. Dari dulu mereka memandangku seperti seorang perempuan jahat, bukan sebagai saudara. Bahkan ketika kami berpapasan di pemakaman Ayah, dengan sengaja Gian menabrakku dengan bahunya. Aku hanya diam tanpa melakukan pergerakan mencolok.

Entahlah, hari ini ketika sedang asyik mencari tiket pesawat di situs traveling lokal lewat laptop, aku jadi teringat Ayah lagi. Terutama lagu Spotify ini memainkan lagu Glen Fredly yang jadi favorit Ayah dulu.

Tak berselang lama, ada telepon masuk di ponselku. Dari Gian.
"Gue depan rumah, nih."
Tumben sekali dia menemuiku langsung ke rumah.

Dengan mengikat rambut panjangku menjadi ekor kuda dan dengan pakaian sederhana ini, aku turun dari lantai dua, segera membuka pintu dan melihat sosok Gian di balik pagar.

"Masuk, Bang," kataku ketika menggeser pagar rumah.
"Sendirian aja, Nay? Ibu lo mana?"
"Biasa, di kampus. Banyak mahasiswanya mau bimbingan."

Percakapan basa-basi itu tak berlangsung lama. Begitu Gian duduk di ruang tamu dengan beberapa makanan ringan dan segelas sirup segar yang barusan kusiapkan, raut wajahnya mulai terlihat serius.

"Gue butuh uang Nay buat modal usaha. Ya sekitar lima atau sepuluh juta cukup, lah."

Aku menarik napas sejenak. Ini bukan kali pertama Gian meminta hal yang berhubungan dengan uang. Dan tentu, aku belum bisa menyanggupinya. Maka, ketika mengatakan itu pada Gian dengan senyum yang sedikit dipaksakan, dia malah meresponsnya dengan tidak wajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun