Mohon tunggu...
Gilang Rahmawati
Gilang Rahmawati Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari menjadi kuli tinta.

*** silahkan tinggalkan pesan *** ** http://www.kompasiana.com/the.lion ** #GeeR

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ramadhan Masa Kecil Yoya

22 Juli 2013   14:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:12 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya Yoya, umurnya baru 9 tahun. Selepas menikmati santapan berbuka, ia bergegas masuk kamar. Bukan untuk terlelap tapi menyiapkan perlengkapan shalat taraweh. Dengan wajah tersenyum ia keluar kamar sambil membawa sajadah dan mukena kesayangannya. Ia berlari kecil mendekati ibunya yang tengah merapikan meja makan.

“Ibu…Neng sholat taraweh ya?” tanyanya dengan nada girang.

“Boleh, tapi sama siapa Neng?”

“Sama ibu dooong..”

Ibunya tersenyum lalu mengusap halus rambut Yoya, “Maaf ya sayang..malam ini ibu gak taraweh dulu. Soalnya ibu capek, ini aja sudah ngantuk. Neng Yoya pergi sama mas aja ya..”

Ada kekecewaan yang tergambar dari raut wajah Yoya. Ia tak mengiyakan pertanyaan Ibunya, ia hanya membalikan badan lalu berjalan ke depan televisi. Dilihatnya detak jam masih menunjukan pukul 6 malam, ternyata baru 15 menit waktu berbuka dilewati. Yoya memutuskan untuk menonton televisi bersama Ayahnya sebelum berangkat taraweh.

“Ayah, berita terus yang ditonton..” gerutu Yoya.

“Lha Neng mau nonton apa? Jam segini mana ada kartun..” jawab Ayah.

“Hemmpph..” Yoya hanya melempar suara dari mulut yang mengatup.

Hening pun tercipta, mereka saling menatap layar televisi.

“Yah..Ayah taraweh kan?” tanya Yoya pelan sambil mencolek kemeja Ayahnya.

“Enggak Neng, Ayah capek..” jawab Ayah masih menatap layar televisi.

Yoya terdiam lagi. Sejurus kemudian, ia berdiri dan meninggalkan ayahnya. Ia berjalan masuk ke dalam kamar Mas Shandy. Di lihatnya selimut di atas kasur membulat, seperti tengah menutupi badan kakaknya. Kaki mungil Yoya perlahan menaiki kasur, lalu menggoyangkan badan kakaknya.

“Maasss…Ayo kita taraweh mas..” pinta Yoya.

Kakaknya tak memberi respon sedikitpun dengan jawaban ‘iya atau tidak’, hanya suara dengkur nyaring yang terdengar. Yoya manyun, lalu turun dari kasur dan keluar kamar.

***

Mata Yoya menatap jalanan yang gelap, ada rasa takut yang menghinggapi hatinya. Tapi, ketakutannya tak mengalahkan rasa ingin menginjakan kaki di mesjid komplek rumahnya. Yoya hanya perlu melewati jalan setapak, lalu belokan, dan pertigaan kecil baru bisa sampai ke mesjid. Dalam hitungan lima, Yoya memantapkan langkahnya.

Komplek perumahan ini terletak di tengah kota, tapi kesunyiannya seperti berada di pinggiran kota. Sunyi ini tercipta karena rumah-rumah di komplek ini berpagar tinggi dan lampu jalan berwarna kuning.

Di pertigaan jalan, Yoya bertemu dengan sekumpulan pemuda komplek yang tengah asik main catur. Salah satu pemuda menyapa Yoya,

“Hai Yoya yang manis..mau ke mesjid ya?”

Yoya tersenyum saat mendapati suara itu dari Bang Ilham.

“Iya dong bang! Yuukk..kita bareng” pinta Yoya.

“Nanti aja Yoya..selepas isya, abang ke mesjidnya..”

“Lho kok gitu bang? Kenapa gak sekalian sholat isya di mesjid?” tanya Yoya heran.

Bang Ilham hanya mengusap rambut Yoya, lalu membalikan badan saat temannya memanggil untuk kembali bermain catur. Yoya tertunduk lesu, lagi-lagi berjalan sendiri menuju mesjid. Sesekali kaki mungilnya menendang kerikil di jalan, sambil menggerutu kesal.

Pintu mesjid di depan mata, Yoya melepas pelan sandalnya lalu diletakan di ujung pintu. Dilihatnya sab perempuan masih sepi, baru ada lima orang yang sudah duduk mengenakan mukena. Yoya menggelar sajadahnya di samping seorang nenek. Sang nenek menyapa Yoya, “Wah nduk, rajin ya..”

Yoya tersenyum sambil sibuk mengenakan mukena berwarna jingga. Ia pun duduk manis, di atas sajadahnya yang penuh warna-warni. Ada perempuan datang sudah mengenakan mukena yang menggelar sajadah di samping Yoya. Yoya memperhatikannya tanpa terlihat kalau tengah memperhatikan.

Perempuan itu duduk diam menggenggam handphonenya, bukan untuk menghubungi seseorang justru mematikan handphone. Yoya masih memperhatikan. Sebelum shalat isya berjamaah dimulai, perempuan itu meminta Yoya merapatkan sajadahnya.

“Dek, yuk itu dirapetin sajadahnya sampe ujung sajadah nenek..Biar shalatnya gak digangguin setan.” pinta perempuan itu.

Yoya mengangguk lalu menggeser sedikit sajadahnya,“Digodain setan? Kok bisa kak?” tanya Yoya.

Perempuan itu menolehkan pandangannya pada mata bulat Yoya.

“Iya, kalau masih ada bolong seperti ini (menggeser sajadah) setannya masih bisa godain kita shalat dek..”

“Setan itu wujudnya seperti apa?” tanya Yoya lagi.

“Duh, kakak belum pernah lihat setan, hehe..jadi gak bisa jawab pertanyaanmu,” jawab perempuan itu dengan guyonan.

“Kalau kakak belum lihat. Terus yang bisa lihat setan siapa kak? Cuma Allah ya yang bisa lihat?” Yoya masih bertanya.

Perempuan itu mengelus kepala Yoya dan mengangguk. Pertanyaan tak terjawab dengan kata-kata. Yoya kembali bermain dengan pandangan pada sab perempuan. Datang seorang nenek yang kemudian menggelar sajadah berwarna merah. Yoya lalu menyapanya, “Nenek..”

Yoya kemudian berbisik pada perempuan di sampingnya, “dia nenekku lho..”

Perempuan itu terkejut, “Oh ya? Dia tetangga kakak lhoo..Lha kakak malah gak pernah lihat kamu di rumahnya..”

Yoya pun mulai bercerita, kalau Yoya tinggal memang bukan di rumah nenek itu melainkan berbeda blok tapi masih di komplek yang sama. Perempuan itu asik mendengarkan celoteh Yoya. Ternyata, Yoya adalah adik perempuan dari teman semasa Sekolah Dasar perempuan berjilbab jingga itu.

“Pantesan, kok kamu mirip sama si Sinyo..eheehe..” celetuk perempuan.

“Kakak namanya siapa ya?” tanya Yoya.

Mereka asik bercerita sampai tak ingat berkenalan.

“Nama kakak, Aghil. Kalau kamu?”

“Namaku Yoya kak! Kak, aku puasa lho..” Yoya membanggakan diri.

“Wah hebat! Ada yang bolong gak?”

“Aku dari TK sampai sekarang gak pernah bolong, puasa penuh terus lhoo kak..” Yoya masih membanggakan diri.

Perempuan itu tertegun, mendengar pernyataan Yoya. Ada rasa tak percaya, tapi katanya anak kecil tidak pernah bohong. Samar-samar dari balik kain putih yang membatasi sab perempuan dan lelaki, imam mulai beranjak berdiri.

“Nah yuk..kita shalat isya dulu..”

Yoya mengangguk penuh semangat.

***

Ramadhan masa kecil, Malaikat melindungi

Sedangkan

Ramadhan beranjak masa tua, Setan bergerilya.

*GeeR*

(Hanya sekedar coretan)

**

Palangkaraya, Juli 2013.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun