Mohon tunggu...
gilang adikara
gilang adikara Mohon Tunggu... Akademisi -

Suka menulis, menggemari budaya populer. blog: gilangadikara.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Citra Positif Kunci Regenerasi Petani

13 Mei 2019   15:55 Diperbarui: 13 Mei 2019   16:24 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani bawang merah di Lambu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat sedang menyiram tanaman bawang merah menggunakan boru (kompas.com)

Meskipun sektor pertanian menjadi penyumbang kedua pendapatan domestik bruto Indonesia, sektor ini masih menghadapi tantangan serius. Isu regenerasi petani mencuat karena faktanya, semakin sedikit jumlah penduduk yang bekerja di sektor ini. Jika tak segera bergerak, maka bukan tidak mungkin profesi ini semakin ditinggalkan karena dianggap tak menjanjikan.

Badan Pusat Statistik mencatat sejak 2013 jumlah penduduk petani terus menerus mengalami penurunan. Dari sekitar 39,22 juta petani pada 2013, jumlahnya tersisa 35,7 juta jiwa pada 2018. Tren ini melanjutkan tren penurunan yang juga terjadi sejak 2003. 

Sementara dari sisi usia, Sensus Pertanian BPS 2013 menyebutkan 60,8% petani Indonesia berusia di atas 45 tahun. Penurunan minat petani muda juga dicatat oleh lembaga riset Akatiga. Selama kurun waktu 30 tahun, petani berusia di bawah 30 tahun di Indonesia turun dari 25% menjadi 13%. Sebaliknya petani berusia lanjut di atas 50 tahun meningkat dari 18% menjadi 33%.

Kementerian Pertanian (Kementan) bukannya tak sadar akan fenomena ini. Sejumlah langkah sudah dilakukan dan layak diapresiasi. Sebut saja Gerakan Petani Milenial yang menargetkan pelibatan satu juta petani milenial dari berbagai penjuru negeri. Program ini juga menggandeng kalangan santri sebagai garda terdepan regenerasi petani.

Selain itu, sejumlah program lain seperti pendampingan mahasiswa yang berminat di sektor pertanian, sampai mengembangkan Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian Pembangunan (SMKPP) dan mengubah Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) menjadi Politeknik Pembangunan Pertanian yang akan mendukung program Kementan juga digenjot. Namun langkah ini belum berhasil mengembalikan minat generasi muda pada dunia pertanian.

Citra Negatif

Di mana yang salah? Saya menduga permasalahan rendahnya regenerasi petani ini berakar dari citra yang sudah terlanjur menancap di benak masyarakat. Sektor pertanian lekat dengan citra sebagai pekerjaan yang kotor dan berat. Belum lagi dibutuhkannya lahan yang luas serta alat yang mahal untuk dapat mengeruk hasil panen yang menguntungkan. Modal awal yang besar ini kerap kali dihadapkan pada hasil panen yang terkadang tidak sesuai harapan. Kondisi ini membuat sebagian masyarakat enggan untuk "berjudi" dengan bertani.

Dari sisi sosial, pekerjaan petani diidentikkan dengan kalangan marjinal dan prasejahtera. Petani juga masih selalu dihadapkan pada pilihan sulit ketika harus berhadapan dengan pemodal besar dalam suatu konflik lahan. Tak mengherankan para petani menjadi simbol masyarakat yang tertindas. Di sisi lain, istilah "karyawan" berkonotasi lebih bermartabat ketimbang "petani". Apalagi secara penampilan pekerjaan sebagai pekerja industri dianggap lebih rapi dan menunjukkan kelas yang tinggi. Anggapan ini tentu saja tak sepenuhnya benar. Namun toh citra ini lah yang sudah melekat.

Pelekatan citra ini berdampak tak hanya pada minat generasi muda untuk bertani, melainkan juga minat para orang tua petani untuk mewariskan kegiatan bercocok tanamnya pada sang anak. Banyak orang tua petani yang justru mendorong anaknya untuk meninggalkan sektor ini karena dianggap tidak potensial. Mereka lebih bangga dengan anak yang bekerja di tempat yang bersih dan tak terlalu menguras fisik.

Narasi citra buruk petani ini semakin berkembang seiring semakin masuknya kita ke era industri dan digital pada periode 2000-an. Di masa lalu, pemerintah yang fokus pada sektor pertanian mampu mengemas citra petani sebagai sosok yang heroik dan menjanjikan. Itu sebabnya program transmigrasi dan pembukaan lahan pertanian di luar Jawa cukup sukses. Sayangnya, sudah lama narasi bahwa petani adalah pekerjaan yang menjanjikan hilang di negeri ini.

Jika saya tak salah ingat, Soeharto adalah presiden terakhir yang masih cukup serius menjaga citra dan optimisme petani terlepas dari realitanya yang tak semanis wacana yang dibangun. Setelah itu Indonesia masuk ke era industri di mana sektor pengolahan dan manufaktur semakin menjadi primadona. Hal ini ditandai dengan bertumbuhnya sekolah-sekolah kejuruan yang secara spesifik didirikan untuk memasok sumber daya manusia ke sektor industri. Belakangan ini bahkan fokusnya mulai lebih spesifik mengarah ke industri kreatif dan digital.

Di satu sisi, pergeseran fokus ini tentu saja baik karena mengikuti perkembangan zaman. Namun wacana-wacana ini seakan mengesampingkan wacana di sektor pertanian. Jika tak percaya, silakan ingat-ingat kapan wacana pertanian muncul di media massa arus utama. 

Kalaupun wacana ini muncul, narasinya tak lepas dari kisah sulitnya hidup layak yang dialami para petani, sangat jarang yang mengupas sebaliknya. Narasi ini bahkan dieksploitasi begitu vulgar oleh para politikus. Mau tak mau kita terjebak pada pola pikir bahwa petani adalah masyarakat prasejahtera yang hidupnya serba susah.

Kondisi citra petani yang sudah lama dibiarkan memburuk membuat tantangan untuk memperbaikinya semakin besar. Dalam strategi komunikasi, lebih mudah membuat citra baru ketimbang memperbaiki citra yang keburu buruk.  

Memperbaiki Citra Petani

Persoalan citra ini menjadi penting untuk diperhatikan jika kita berniat menggenjot regenerasi petani. Kebijakan dan program yang diadakan saat ini sayangnya masih bersifat top down dengan memberikan pancingan agar para pemuda mau beralih profesi sebagai petani. Masalahnya, kebijakan top down seringkali tidak mampu memenuhi benar kebutuhan pemuda.

Bisa dipahami, dengan citra yang buruk metode ini yang paling praktis. Namun bila bicara regenerasi berkelanjutan, kebijakan bottom up yang seharusnya disasar. Kebijakan ini akan berangkat dari keinginan para petani muda sehingga pemerintah dapat memberikan fasilitas sesuai yang mereka butuhkan.

Untuk mengejar minat, maka citra positif harus dibangun. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan harus mampu membangun narasi baru untuk membalikkan citra petani yang selama ini melekat. Tantangannya, mengubah citra bukan persoalan sepele yang bisa tuntas dalam satu-dua tahun ke depan. Perlu kontribusi besar. Kementan rasanya tak mungkin secara mandiri mengubah citra yang kadung melekat selama belasan tahun. 

Dukungan dari berbagai pihak mutlak dibutuhkan. Tak hanya dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan pelaksana program. Media massa sebagai amplifikator wacana memiliki peran yang tak kalah penting, begitu pula partisipasi masyarakat untuk turut andil menyebarkan semangat optimisme petani.

Untungnya, Indonesia punya tabungan citra positif di sektor pertanian. Sektor ini memiliki rekam jejak yang cukup baik dalam lima tahun terakhir. BPS mencatat ada tren positif peningkatan volume ekspor produk pertanian sebesar 4,8% per tahun pada periode 2014-2017. Tren ini juga berlanjut hingga 2018 yang membukukan 42,5 juta ton ekspor, meningkat 1,2 juta ton dari 2017. Sumbangan ekspor itu memang masih berasal dari perkebunan, namun ada optimisme bahwa petani berpeluang juga untuk andil.

Tak hanya itu minat bertani juga mulai muncul di kalangan pemuda seiring semakin terbukanya akses informasi terhadap teknologi baru pertanian. Gaya hidup organik juga menjadi peluang bagus bagi para petani modern. Hal ini didukung dengan semangat anak muda untuk bertani juga masih nampak di berbagai tempat.

Saya sempat berbincang dengan pemuda yang bersemangat mengembangkan dan menularkan metode tanam hidroponik. Tak hanya ke kaum urban yang rindu berkebun, melainkan juga kepada para petani sederhana yang masih asing dengan metode ini. Saya juga sempat mengupas kisah tentang petani muda yang banting setir dari dunia industri atas kesadaran sendiri dan berhasil menjadi petani yang mandiri. Bahkan belum lama ini saya berbincang banyak dengan pemuda lainnya yang dengan penuh optimisme tengah merancang sistem pertanian dan peternakan organik yang terintegrasi di wilayah Sleman, Daerah istimewa Yogyakarta.

Upaya ini tak dilakukannya sendiri. Dia menyebut ada kelompok lain yang bergerak dengan semangat yang sama. Tujuan utamanya adalah meminimalisasi buangan limbah pertanian dan memaksimalkan hasil produksi. Mereka mengaku pasar untuk hasil pertanian mereka cukup besar dan selama ini belum tersasar dengan baik.

Tentu saja, perjumpaan saya dengan segelintir pemuda ini belum bisa digeneralisasi untuk menggambarkan minat pemuda secara nasional. Namun semangat mereka rasanya menunjukkan bahwa meregenerasi petani bukan hal yang mustahil. Di setiap sudut Nusantara semangat serupa saya yakin tetap ada dan besar. 

Tinggal apakah kita, bukan hanya pemerintah, bisa jeli mendayagunakan semangat para petani muda sebagai ujung tombak untuk mengubah citra sektor pertanian kita. Percuma mengadopsi berbagai teknologi untuk menggenjot sektor ini jika kita belum mampu mengubah citra petani. Selama petani masih distigmakan sebagai kalangan kelas bawah, selama itu pula profesi ini akan semakin dijauhi. Jadi beranikah kita bertindak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun