Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menyingkap Resah Pesepak Bola di Balik Gemerlap Stadion

29 April 2020   15:33 Diperbarui: 1 Mei 2020   05:34 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lampu stadion sepak bola yang mati, tidak lagi ada pertandingan sejak wabah Covid-19 menyebar| Sumber: Kompas.com/Herpin Dewanto Putro

Berpekan-pekan, selepas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa Covid-19 merupakan sebuah pandemi. Entah berapa juta lampu stadion yang ikut dimatikan. Tak ada pertandingan, bahkan latihan pun tiada. Dalam gelapnya stadion, pemain tentu merasakan ketidakpastian.

Hal tersebut ditegaskan langsung oleh FIFPro, mereka mencatat sekitar 22% pesepak bola wanita dan 13% pesepak bola pria turut serta dalam survei itu mengaku mulai merasakan gejala-gejala depresi diantaranya lemas, kurang nafsu makan, dan kurang percaya diri.

Sementara jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya yang dilakukan pada masa awal pandemi, Desember 2019 dan Januari 2020, jumlah tersebut mengalami peningkatan, sebab di masa tersebut hanya 11% pesepak bola wanita dan 6% saja pesepak bola pria yang mengalami depresi.

Dalam survei tersebut FIFPro berkolaborasi dengan Pusat Medis Universitas Amsterdam dan melibatkan ribuan pesepakbola dari 16 negara, dengan rincian 1.134 atlet pria berusia rata-rata 26 tahun dan 486 wanita berusia 23 tahun.

"Gejala depresi itu dirasakan oleh para pemain muda, baik pria maupun wanita, karena tiba-tiba harus melakukan isolasi diri, yang akhirnya mempengaruhi pekerjaan dan masa depan mereka. Ini adalah masa yang penuh dengan ketidakpastian bagi para pesepak bola beserta keluarganya," pekik Kepala Petugas Medis FIFPro, Vincent Gouttebarge. Seperti dinukil dari Reuters.

Meski begitu, Gouttebarge menyatakan kabar baik sekitar 80% atlet yang di survei itu memiliki akses buat mengatasi kesehatan mental yang mereka alami. Mayoritas akses didapat dari asosiasi pesepakbola setempat/negara yang bersangkutan.

Sementara itu, Sekjen FIFPro, Jonas Baer-Hoffman, menyebut jika survei tersebut bagian dari masalah yang umum di masyarakat luas, sebab pesepakbola juga bagian dari masyarakat. Hanya saja, beberapa salah dalam mengejewantahkan kehidupan para pesepakbola.

"Kami sadar bahwa hasil survei ini merupakan cerminan dari masalah yang terjadi di masyarakat luas, karena sebenarnya mereka [pesepakbola] juga bagian dari masyarakat. Hanya saja, banyak yang salah paham dengan kehidupan yang mereka jalani," pekiknya. 

Ia juga mengungkapkan bahwa tidak sedikit pesepak bola yang kini kesulitan dalam hal keuangan. Sebab mereka juga bekerja tak ubahnya masyarakat pada umumnya. 

Bahkan banyak dari mereka yang hanya bergantung pada skill sepak bola untuk menyambung hidup, mereka tak punya bisnis atau pekerjaan lain disamping bermain bola. Tak heran jika kemudian banyak dari mereka yang kesulitan di masa-masa pandemi Covid-19 ini.

"Mereka dikontrak rata-rata kurang dari dua tahun dengan pendapatan rata-rata yang tidak jauh berbeda dari masyarakat umum. Bahkan, banyak dari mereka yang hanya bergantung pada keterampilan sepak bola, sehingga tidak punya apa-apa jika hal buruk menimpa mereka," tegas dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun