Perjalanan hidup seseorang terkadang kerap diwarnai dengan dinamika hidup dan pasang surut keadaan. Pernahkah terlintas dalam benak Anda bahwa suatu ketika harus mendekam di balik jeruji besi karena mempertanggungjawabkan atas suatu tindakan? Tentu hal tersebut bukanlah sesuatu yang kita harapkan, sebab yang tergambar nanti hanyalah penderitaan. Akan tetapi, kenyataannya terdapat 278.631 narapidana yang saat ini menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia (Ditjenpas, 2025). Fakta ini menunjukkan bahwa situasi demikian benar-benar dialami oleh sebagian warga negara Indonesia.
      Sebagai makhluk yang berdaulat, manusia tentu memiliki kebutuhan mendasar untuk mendapatkan pemenuhan atas hak-haknya. Kebutuhan tersebut tetap melekat, bahkan ketika seseorang berstatus sebagai narapidana. Indonesia sebagai negara hukum berpegang teguh pada prinsip rechstaat, yakni penyelenggaraan negara yang berdasar pada hukum, bukan semata-mata kekuasaan. Prinsip tersebut tercermin dalam pelaksanaan penegakan hukum melalui Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System). Melalui mekanisme ini, negara berupaya mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat, termasuk memberikan pembinaan bagi pelaku tindak pidana. Upaya pembinaan inilah yang kemudian dikenal dengan Sistem Pemasyarakatan, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
      Pada dasarnya, konsep Sistem Pemasyarakatan berlandaskan pada perlakuan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dengan tetap memberikan pembatasan kebebasan secara proporsional sesuai ketentuan hukum dan norma yang berlaku di masyarakat. Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Satjipto Rahardjo melalui teori hukum progresif yang memandang masyarakat sebagai sebuah tatanan normatif hasil dari interaksi sosial, yang kemudian melahirkan kearifan nilai sosial. Nilai tersebut, baik yang bersifat rasional maupun irasional, ditransformasikan melalui proses normativisasi hukum hingga membentuk tatanan masyarakat yang normatif. Oleh karena itu, Sistem Pemasyarakatan menekankan perubahan paradigma dari sistem kepenjaraan yang represif menjadi sistem pemasyarakatan yang lebih humanis.
      Dalam Sistem Pemasyarakatan, terpidana tidak lagi disebut sebagai narapidana, melainkan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Istilah ini mencakup bagi mereka yang sedang menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan maupun klien pemasyarakatan yang berada dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan. Penggunaan istilah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) menegaskan bahwa orientasi Sistem Pemasyarakatan lebih berfokus pada aspek pembinaan, bukan kepada penghukuman. Perlakuan terhadap WBP melalui Sistem Pembinaan Pemasyarakatan tidak hanya bertujuan untuk mencegah terulangnya tindak pidana serta melindungi masyarakat tetapi juga berupaya mengintegrasikan kembali WBP ke dalam kehidupan sosial yang dinamis. Dengan demikian, mereka diharapkan mampu menjalankan peran dan fungsi sosialnya secara normal di tengah masyarakat. Melalui sistem ini, proses pembinaan yang berkesinambungan diharapkan mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam mendukung keberhasilan pembinaan. Sebab, harus disadari bahwa meskipun pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan baik, keberhasilannya tidak akan tercapai apabila WBP tidak memiliki kesiapan diri atau masyarakat enggan menerima kehadiran mereka kembali.
      Hal tersebut sejalan dengan konsep bahwa masa pidana tidak berakhir di Lembaga Pemasyarakatan, melainkan mencapai titik akhirnya di tengah masyarakat melalui program integrasi WBP. Program integrasi ini dilaksanakan dengan menempatkan WBP kembali ke lingkungan sosial di bawah bimbingan Balai Pemasyarakatan. Agar integrasi WBP dapat berjalan sesuai dengan tujuan Sistem Pemasyarakatan, diperlukan pendampingan yang berkesinambungan. Pendampingan tersebut dilakukan melalui program pembimbingan dengan menekankan peningkatan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesionalitas, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan. Proses inilah yang dikenal sebagai Pembimbingan Kemasyarakatan, yang merupakan tugas pokok dari Balai Pemasyarakatan. Upaya tersebut merupakan bentuk pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan WBP agar dapat berfungsi kembali secara wajar dalam masyarakat. Dengan demikian, negara tidak hanya mengupayakan untuk menegakkan hukum dan HAM sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, tetapi juga berusaha memulihkan martabat manusia yang pernah menyimpang dari jalurnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI