1. PENDAHULUAN
Air merupakan pelarut universal yang mampu melarutkan berbagai senyawa organik dan anorganik sehingga kualitasnya sangat dipengaruhi oleh zat terlarut di dalamnya. Peningkatan aktivitas industri, urbanisasi, serta pertanian modern menyebabkan berbagai kontaminan masuk ke perairan, termasuk logam berat berbahaya. Timbal (Pb) dan kadmium (Cd) merupakan logam golongan transisi dengan nomor atom masing-masing 82 dan 48 yang memiliki sifat beracun, sulit terdegradasi, serta cenderung terakumulasi dalam jaringan organisme. Kedua logam tersebut dalam bentuk ion larut (Pb dan Cd) mudah berinteraksi dengan biomolekul sehingga menimbulkan efek toksik meski pada konsentrasi rendah. Fenomena ini menimbulkan keprihatinan global karena pencemaran logam berat bukan hanya mengganggu keseimbangan ekosistem, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat luas.
2. SUMBER PENCEMARAN LOGAM Pb dan Cd
Sumber utama pencemaran Pb dan Cd di perairan terbagi menjadi alami dan antropogenik. Pelapukan batuan yang mengandung mineral galena (PbS) dan greenockite (CdS) merupakan sumber alami yang melepaskan ion logam ke badan air. Namun, kontribusi terbesar berasal dari aktivitas manusia. Industri baterai, pelapisan logam, cat, plastik, dan peleburan logam banyak melepaskan Pb ke lingkungan. Sementara itu, Cd banyak berasal dari limbah pupuk fosfat, pestisida, serta industri elektronik. Dalam perairan, kedua logam ini mengalami transformasi kimia seperti kompleksasi dengan ion klorida (Cl) atau hidroksida (OH) yang memengaruhi kelarutan dan mobilitasnya. Tingginya kestabilan kompleks tersebut membuat logam tetap berada di kolom air dalam jangka panjang sehingga meningkatkan risiko bioakumulasi pada organisme akuatik.
3. DAMPAK TERHADAP KESEHATAN DAN LINGKUNGAN
Paparan Pb dan Cd memiliki mekanisme toksisitas spesifik di tingkat molekuler. Ion Pb mampu menggantikan kalsium (Ca) pada protein pengikat kalsium sehingga mengganggu sinyal saraf dan pembentukan tulang. Selain itu, Pb berikatan kuat dengan gugus sulfhidril (--SH) pada enzim sehingga menonaktifkan enzim penting dalam sintesis heme. Kondisi ini menyebabkan anemia, gangguan sistem saraf, serta keterlambatan perkembangan kognitif pada anak. Ion Cd memiliki afinitas tinggi terhadap protein metallothionein di ginjal. Akumulasi kompleks Cd-metallothionein menyebabkan kerusakan tubulus ginjal dan gangguan metabolisme kalsium sehingga menimbulkan osteoporosis dan nyeri tulang kronis, fenomena yang dikenal sebagai penyakit itai-itai di Jepang. Dari perspektif lingkungan, logam berat ini bersifat biomagnifikasi, artinya konsentrasinya meningkat pada tingkat trofik lebih tinggi dalam rantai makanan. Hal ini menimbulkan risiko besar bagi ikan konsumsi dan manusia sebagai konsumen akhir.
4. METODE ANALISI LOGAM Pb DAN Cd
Penentuan kadar Pb dan Cd dalam air memerlukan teknik analisis yang sensitif karena konsentrasinya umumnya berada pada level jejak (trace level). Metode klasik seperti titrimetri kompleksometri dengan EDTA hanya sesuai untuk kadar relatif tinggi dan kurang selektif. Spektrofotometri UV-Vis menggunakan pereaksi kromogen dapat mendeteksi logam tertentu melalui pembentukan kompleks berwarna, tetapi rawan interferensi matriks. Instrumen modern lebih banyak digunakan, misalnya inductively coupled plasma--optical emission spectrometry (ICP-OES) dan inductively coupled plasma--mass spectrometry (ICP-MS) yang mampu mendeteksi logam hingga level ppt dengan keunggulan multi-elemen, meski biayanya tinggi. Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) tetap menjadi metode populer karena kombinasi sensitivitas, selektivitas, dan efisiensi biaya. Prinsip kerjanya didasarkan pada hukum Lambert--Beer, di mana intensitas cahaya yang diserap oleh atom bebas sebanding dengan konsentrasinya. Teknik atomisasi menggunakan tungku grafit (GFAAS) memungkinkan atomisasi sempurna dalam ruang kecil dengan suhu tinggi sehingga meningkatkan sensitivitas hingga nanogram per liter, menjadikannya sangat andal untuk memantau Pb dan Cd dalam air minum maupun air bersih.
5. REGULASI DAN STANDAR MUTU
Upaya pencegahan dampak logam berat telah diatur dalam regulasi nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 menetapkan baku mutu air permukaan berdasarkan kelas peruntukannya, mulai dari kelas I untuk air baku minum hingga kelas IV untuk irigasi. Permenkes Nomor 2 Tahun 2023 secara khusus menetapkan persyaratan teknis kualitas air minum dengan batas maksimum timbal 0,01 mg/L dan kadmium 0,003 mg/L. Batas ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan toksikologi agar paparan jangka panjang tidak menimbulkan risiko kesehatan serius. Regulasi tersebut menjadi acuan penting dalam evaluasi kualitas air, meskipun implementasi di lapangan sering terkendala lemahnya pengawasan dan rendahnya kesadaran industri maupun masyarakat dalam mengelola limbah.
6. KESIMPULAN