Mohon tunggu...
Julia Maria Van Tiel
Julia Maria Van Tiel Mohon Tunggu... -

Penulis buku Anakku Terlambat Bicara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terlambat Bicara Perlu Dukungan Intervensi Berbahasa

12 Desember 2015   07:41 Diperbarui: 12 Desember 2015   12:26 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pemahaman sehari-hari jika anak terlambat bicara (bukan karena autisme, bisu tuli, atau IQ rendah dan bukan karena kurang pengasuhan berbahasa) orang akan lebih lega. Karena memang prognosisnya baik. Artinya ia juga akan mengalami kematangan bicara dan bahasa.
Saya seringkali membaca curhat orang tua yang menginginkan saran dari teman-teman diskusinya karena anaknya belum bicara di usianya yang kedua.  Dijawab oleh para Bunda: “diajak bicara saja terus Bund, nanti juga dia akan ngomong.”
Persoalannya ternyata tidak hanya sampai bicara saja. Tetapi kelak si anak akan mengalami kesulitan berbahasa.

Sekitar 8 – 16 persen anak-anak sekolah dasar ternyata mengalami masalah berbahasa. Ia mengalami kesulitan berbahasa spesifik atau dalam bahasa linguistik disebut Specific Language Impairment (SLI). Neurolog menyebutnya developmental dysphasia. Anak-anak ini sekalipun mempunyai inteligensi yang baik, namun prestasi di sekolahnya sangat buruk terutama dalam berbagai pelajaran berbasis bahasa.

SLI sudah dipelajari oleh para ahli linguistik sejak tahun 1980-an. Ada sekelompok anak yang oleh para ahli neurologi dinyatakan otaknya tidak mengalami gangguan, tetapi dalam perjalanan pendidikannya selalu mengalami masalah di sekolah. Dahulu anak-anak seperti ini disangka mengalami brain injury, lalu otaknya diperiksa periksa melalui penciteraan otak ternyata tidak mengalami ganggguan, hanya terdapat asymetri perkembangan. Mereka lebih didominasi otak sebelah kanan. Anak-anak ini mempunyai sejarah terlambat bicara.

Selanjutnya anak-anak ini diteliti oleh para ahli linguistik, mengapa di otaknya tidak ditemukan apa-apa, tetapi prestasi sekolahnya buruk. Kesulitan yang bisa dikumpulkan oleh para ahli linguistik adalah bahwa anak-anak ini mengalami masalah pada:  kesadaran phonologis (makna bunyian dan ucapan), masalah pen-dekoding-an dan peng-enkoding-an informasi melalui telinga, masalah diskriminasi suara, masalah pemrosesan informasi melalui telinga (auditive processing problem), masalah pengumpulan jumlah daftar kosa kata, gangguan pemahaman kata-klimat-dan cerita, kesulitan mencari kata dari dalam daftar memori, mempunyai memori jangka pendek atau memory verbal yang lemah, dan kelemahan working memory, kelemahan pemahaman bentuk kata (kata benda, kata ganti orang, kata tanya, kata sambung dlsb), kesulitan tatabahasa, kesulitan menyusun kalimat dalam sebuah cerita, dan kekacauan dalam penyusunan elemen-elemen cerita, serta bermasalah bercerita secara oral. Pendek kata ia mengalami masalah reseptif bahasa dan ekspresif bahasa. Tak jarang juga diikuti dengan gagap dan atau kesulitan menjawab pertanyaan dengan cara mengulang-ulang pertanyaan.

DIAGNOSA YANG DIBUTUHKAN TETAPI TIDAK DITAWARKAN

Diagnosa Specific Language Impairment ini belum popular, dan belum dipelajari oleh ahli-ahli di Indonesia. Karenanya anak-anak terlambat bicara (speech delayed) ini setelah bisa bicara dan sekolah, ia terlunta-lunta tidak mendapatkan intervensi. Banyak diantaranya yang mempunyai IQ luar biasa, tetapi mendapatkan prestasi nomor buncit di kelas. Umumnya mereka lalu mendapatkan vonis gangguan konsentrasi, rentang perhatian pendek, di kelas tukang ngelamun dan bengong, dan atau anak pemalas. Padahal si anak sendiri sudah merasa bahwa ia bersungguh sungguh, tetapi hasilnya tetap jelek. Orang tua-anak-guru mengalami konflik yang tidak jelas. Masing-masing main salah-salahan.  

Karena anak terus menerus tidak bisa mencapai prestasi baik, si anak disangka disleksia (gangguan membaca dan mengeja). Dan jika anak mengalami kefrustrasian karena masalah bahasa, hingga ia mengalami rasa percaya diri rendah, konsep diri jatuh, lalu menjauh dari teman-temannya dan menutup diri, yang berakibat dalam rendahnya pengembangan ketrampilan bersosialisasi. Lalu anak-anak ini  mendapatkan tekanan untuk mendapatkan diagnosa autisme agar segera diberi terapi-terapi autisme. Padahal masalahnya berbahasa. Yang jika masalah berbahasa ini dapat dikuasainya dengan baik, gangguan sekunder seperti masalah-masalah sosial tadi bisa diatasinya. Dengan tidak tertanganinya masalah berbahasa ini, tanpa intervensi yang baik, anak-anak ini mempunyai risiko bukan saja mengalami masalah sosial dan emosional, prestasi rendah, demotivasi dan masalah-masalah psikiatri.

Sekalipun penelitian SLI sudah banyak dilakukan, dan sudah diajukan masuk ke dalam DSM IV, namun dalam DSM V diusulkan agar dikeluarkan lagi. Persoalannya adalah karena dalam kenyataannya manifestasi gangguan linguistik yang ada pada anak-anak ini sangat beragam sekali. Dengan kata lain sangat heterogen, yang disebabkan karena kecepatan perkembangan yang berbeda pada setiap anak dan domain perkembangan yang banyak. Menjadikan manifestasi kesulitan yang bervariasi. Belum lagi ditambah dengan  lingkungan yang bervariasi dari satu budaya bahasa ke budaya bahasa lain. Karena begitu banyak variasi gambaran masalah berbahasa yang muncul  dari satu anak ke anak lain, hingga saat ini para ahli belum dapat membuatkan kriteria yang dapat digunakan dalam pendiagnosisan. Apalagi subtipe-subtipenya. Padahal kriteria dibutuhkan untuk menentukan anak mana yang dapat disebut sebagai SLI, dan subtipe dibutuhkan bagi rencana intervensinya.

Namun karena belum ada kriteria dan subtipenya, SLI ini tidak ditawarkan untuk mengatasi masalah anak. Dengan tidak adanya tawaran ini, kemudian anak-anak ini masuk ke dalam diagnosa lain seperti misalnya autisme dan disleksia, karena beberapa gejalanya overlap. Tetapi padahal akar permasalahannya berbeda. Dan tentu saja tidak memecahkan permasalahannya.

Tidak ada tawaran intervensi, tentu saja tidak etis bagi pihak-pihak yang sesungguhnya merupakan profesi yang seharusnya menyantuninya.  
Dalam hal ini dibutuhkan guru-guru bahasa yang mumpuni dan ahli-ahli linguistik.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun